Indonesia Ingin Inklusivitas dalam Perdagangan Global

Oleh: Muhammad Razi Rahman

Mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton pernah menyebut, tidak ada generasi sebelum ini yang memiliki kesempatan seperti sekarang dalam membangun perekonomian global yang tidak meninggalkan seorang pun.

Zaman sekarang, memiliki banyak kemudahan yang tidak dimiliki oleh masyarakat yang hidup beberapa dekade sebelumnya. Sebut saja telepon seluler, internet, hingga "e-commerce" atau perdagangan melalui dunia maya.

Semakin tersambungnya dunia antara timur dan barat, utara dan selatan, membuat perdagangan global juga semakin mengikat hubungan antarnegara, sehingga saat ini ada banyak rumusan perjanjian perdagangan bebas yang sedang dinegosiasikan.

Namun, di balik segala berbagai kemajuan tersebut, tentu saja terdapat sisi negatif, seperti peningkatan penghasilan yang tidak merata di seluruh kalangan masyarakat.

Dengan kata lain, dalam perdagangan global seperti saat ini kerap terdapat pemenang yang benar-benar jumawa dalam hal jumlah kekayaan, tetapi juga ada kelompok yang benar-benar termarjinalkan secara ekonomi.

Untuk itu, tidak salah bila Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen DPR RI Nurhayati Ali Assegaf menegaskan bahwa penerapan konsep inklusivitas harus dimaknai bahwa sistem perdagangan global tidak boleh menjadi "zero-sum game" (kalah-menang).

Dia menegaskan, sistem perdagangan global saat ini mesti lebih bisa bersifat inklusif dan tidak hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi semata tetapi juga perlu memperhatikan penyebaran kesejahteraan secara merata di seluruh kalangan warga dunia.

Nurhayati mengemukakan pendapatnya tersebut saat memimpin delegasi DPR RI dalam Sidang Tahunan Forum Publik Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) 2017 yang berlangsung di Jenewa, Swiss, 26-28 September 2017.

Menurut dia, sistem perdagangan global juga tidak boleh mengabaikan hak sebagian kalangan untuk dapat menikmati keuntungan perdagangan internasional, khususnya masyarakat di negara berkembang dan negara yang kurang maju.

Politisi Partai Demokrat itu juga berpendapat, keuntungan ekonomi dan pembangunan yang ditimbulkan dari perdagangan internasional yang terbagi secara adil merata sangat berperan dalam membantu pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).

Namun saat ini, ia menyayangkan bahwa perdagangan global masih dikuasai oleh sejumlah pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dalam hal akses dan finansial. Ketidaksetaraan posisi tersebut dinilai menjadikan kompetisi antara negara maju dengan negara berkembang-miskin bakal menjadi semakin tidak berimbang.

Defisit Demokrasi

LSM Indonesia for Global Justice (IGJ) menegaskan perjanjian perdagangan bebas yang sedang dibahas pemerintah Indonesia dengan sejumlah pihak mengalami "defisit demokrasi" karena cenderung kurang transparan dan mengancam hak asasi manusia (HAM).

Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti berpendapat, negosiasi tentang perdagangan bebas dan perjanjian investasi umumnya kerap dilakukan di balik pintu tertutup, dengan sedikit akses terhadap informasi dan ruang intervensi bagi masyarakat sipil dan jutaan orang yang bakal terdampak terhadap perjanjian itu. Kondisi tersebut dapat disebut sebagai gejala "defisit demokrasi" yang juga dinilai berpotensi mengancam terhadap perlindungan HAM.

Kalangan LSM di Indonesia mencatat bahwa kerja sama perekonomian saat ini tidak lagi hanya mengatur aspek sempit perdagangan yaitu ekspor-impor, tetapi juga mengatur aspek sosio-ekonomi yang bahkan juga bisa mengancam kedaulatan suatu negara.

Kenyataan tersebut tidak hanya menyimpan potensi ancaman terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi melainkan juga pada pemenuhan hak sosial dan ekonomi warga.

Atas dasar pandangan tersebut Rachmi Hertanti berpendapat bahwa pemerintah dalam konteks perdagangan internasional harus bisa mendorong munculnya keadilan sehingga perjanjian perekonomian tidak hanya menguntungkan pemain besar.

Pemerintah Indonesia harus dapat memperjuangkan kepentingan subsidi pangan bagi kalangan petani kecil dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-11 Organisasi Perdagangan Sedunia (WTO) yang berlangsung di Argentina, Desember 2017.

Proposal subsidi untuk petani kecil ini merupakan bagian dari proposal "Public Stockholding for Food Security" yang diajukan oleh Kelompok Negara 33 atau G33 yang dipimpin oleh Indonesia. Pencapaian kesepakatan dari proposal tersebut sangat penting bagi petani kecil di Indonesia, karena akan membuat Negara memiliki peluang lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraan petaninya.

Masih terkait dengan perjanjian dagang dan sektor pertanian, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak Pemerintah Indonesia dan Komisi Uni Eropa untuk mengeluarkan isu sawit dalam perundingan Indonesia-EU Comprehensive Economic Patnership Agreement (CEPA).

Manager Kampanye Keadilan Iklim Walhi Yuyun Harmono mengatakan bahwa persoalan sawit harus dikeluarkan dari ruang perundingan, karena isu tersebut harus didudukkan dalam konteks kemanusiaan, khususnya terkait dengan perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia dalam rantai pengelolaan perkebunan sawit dari hulu hingga hilir di Indonesia.

Menurut dia, persoalan sawit tidak akan bisa diselesaikan melalui perdagangan antara Indonesia dan EU di bawah CEPA, karena justru perjanjian perdagangan dan investasi akan lebih memperparah kondisi lingkungan dan sosial masyarakat.

Dorong Penyelesaian

Pemerintah Indonesia telah mendorong penyelesaian perjanjian kerja sama internasional baik bilateral maupun multilateral guna meningkatkan kinerja ekspor Indonesia khususnya sektor nonmigas yang pada tahun 2017 yang ditargetkan naik sebesar 5,6 persen.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa Indonesia masih terus berupaya untuk segera menyelesaikan 16 perjanjian, di mana empat di antaranya bisa diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat.

Empat perjanjian tersebut adalah Preferential Trade Agreement (PTA) dengan Iran, Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA), European Free Trade Association (EFTA) CEPA dan kerja sama bilateral dengan Chile termasuk Peru.

Upaya untuk segera menyelesaikan perjanjian kerja sama dengan negara-negara mitra Indonesia itu bertujuan untuk mendorong ekspor nonmigas ke pasar nontradisional, meskipun beberapa perundingan multilateral terbilang sulit untuk mencapai titik temu antara satu negara dengan negara lainnya.

Keinginan yang sama juga disuarakan oleh pihak legislatih, misalnya oleh Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Rofi Munawar yang mengharapkan Pemerintah Australia melakukan relaksasi terhadap hambatan perdagangan bagi produk Indonesia yang akan memasuki negara tersebut.

Rofi Munawar menyebut bahwa Indonesia dan Australia sebenarnya bisa memanfaatkan mekanisme perjanjian Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) yang saat ini tengah dalam proses negosiasi.

Berbeda dengan perjanjian perdagangan lainnya, IA-CEPA tidak hanya sekadar terfokus pada kesepakatan pasar bebas tetapi ada aspek pembangunan dan kerja sama peningkatan kapasitas.

Melalui IA-CEPA, Pemerintah Australia dan Indonesia diharapkan dapat bekerja sama untuk meningkatkan standar produk-produk Indonesia yang selama ini cukup banyak permintaan dari Australia, namun dalam beberapa kesempatan terkendala karena regulasi dan hambatan nontarif yang terlampau ketat.

Politisi PKS itu menjelaskan, berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia selain standardisasi, hambatan perdagangan yang saat ini mempengaruhi produk Indonesia antara lain standar karantina yang dinilai terlalu tinggi, praktik dumping, serta persyaratan pengemasan dan pelabelan.

Hambatan tersebut menyebabkan distorsi performa ekspor Indonesia ke Australia dan mengakibatkan belum maksimalnya kapasitas produksi ekspor di Indonesia untuk memenuhi permintaan impor dari Australia. Di lain pihak, Indonesia merupakan pasar terbesar kedua bagi produk gandum Australia selain pasar terbesar ternak hidup, produk daging dan kapas.

Proses perundingan perjanjian dagang IA-CEPA tersebut juga ditargetkan selesai pada tahun ini sehingga dapat mulai diberlakukan tahun depan, dengan harapan mampu membuka pasar baru dan peluang bisnis bagi produsen utama, penyedia jasa, dan investor.

Harapan untuk membuka sebanyak mungkin kemudahan perdagangan dengan berbagai negara di era globalisasi memang bagus, tetapi juga harus dipastikan bahwa manfaat yang diperoleh bukan hanya mengucur kepada mereka yang berpenghasilan tinggi, tetapi juga kepada mereka yang selama ini kerap termarjinalkan. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…