China Terjebak Utang?

Negara China yang terkenal berpenduduk terbesar di dunia dan memiliki kekuatan ekonomi yang lumayan tangguh, ternyata terperangkap dalam beban utang yang maha dahsyat. Tahun ini China memasuki periode ketidakpastian akibat beban pokok dan bunga utang yang makin tidak terkendali.

Sampai seberapa kuat negeri Tirai Bambu itu bertahan menghadapi krisis utang? Tahun 2017 merupakan tahun penentuan, apakah akan lolos dari perangkap utang (big trap debt) atau terlilit krisis yang sudah di depan mata? Ini merupakan dampak dari kebijakan China yang sejak 2008 melakukan pembangunan infrastruktur jalan dan properti yang besar-besaran dengan fasilitas utang.

Menyimak laman www.financialsense.com yang bertajuk, Debt Crisis: Why 2017 Will Be Decisive Year for China’s Economy, terungkap bahwa tahun ini menjadi tahun yang menentukan nasib perekonomian China ke depan.

Bagaimana krisis ekonomi China seperti ini bisa terjadi? Tampaknya perekonomian China selalu bergantung pada investasi ke aset tetap (infrastruktur) sangat masif seperti jalan, rel kereta api dan kompleks apartemen. Sebagian besar investasi Beijing, ternyata dibiayai oleh utang, baik dalam bentuk pinjaman, obligasi atau jenis pinjaman formal dan informal lainnya. Sebagian besar berasal dari bank-bank BUMN setempat.  Pada 2015, outstanding pinjaman bank setara dengan 141% dari PDB, sementara outstanding obligasi mencapai 63% dari PDB.

Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Jepang, yang cenderung memacu pertumbuhan dengan merangsang ekuitas atau menaikkan pola belanja pemerintah. AS dan Jepang melakukan pengendalian cukup ketat terhadap sektor perbankan untuk membentuk biaya modal dan menentukan di mana dan seberapa cepat arus tersebut mengalir.

Tidak mengherankan, jika bagian terbesar dari hasil perputaran uang di perbankan AS dan Jepang disalurkan ke perusahaan besar milik pemerintah China, bahkan perusahaan atau perbankan milik negara menyumbang lebih dari 55% dari utang tersebut, walaupun hanya menyumbang 20% dari PDB.

Selain getolnya pemerintah dan korporasi China menggenjot pembangunan dengan utang, pemerintah daerah China juga aktif menggenjot penerbitan obligasi daerah (municipal bond). Utang pemerintah daerah (Pemda), yang pada saat ini dianggap sebagai sumber risiko keuangan sistemik terbesar bagi negara tersebut, menjadi perhatian serius. Ini tidak ada hubungannya dengan besarnya utang pemerintah daerah, yang tidak pernah melebihi 40% dari PDB.

Lagipula, hampir semua utang pemerintah daerah dipinjam dan diinvestasikan oleh perusahaan semu (special purpose vehicle—SPV) yang dikenal sebagai kendaraan pembiayaan pemerintah daerah yang tidak memiliki aset atau struktur manajemen fungsional apapun.

Pada 2013, Beijing memang mulai menindak serius pembelanjaan lokal yang boros, yang memaksa sebagian besar perusahaan semu ini menutup pintu mereka. Beijing secara bersamaan meluncurkan rancangan reformasi fiskal untuk mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap utang untuk membayar kebutuhan infrastruktur dasar mereka.

Termasuk dalam reformasi ini adalah sebuah program yang memungkinkan pemerintah daerah menukar utang mereka dengan obligasi kota jangka panjang yang lebih murah. Program yang telah berkembang pesat sejak pertengahan 2014, sebagian telah mengurangi kekhawatiran akan krisis utang lokal yang muncul, walaupun belum menyelesaikan masalah mendasar, yaitu kurangnya transparansi sehingga akan terus membuat pemerintah daerah memiliki risiko keuangan.

Namun dengan inisiatif debt-swap dan tindakan lain untuk membantu kota-kota dan wilayah melunasi pinjaman mereka, utang lokal sepertinya tidak akan menjadi sumber utama kesengsaraan ekonomi China. Berbeda dengan utang perusahaan China. Utang yang dibuat oleh perusahaan China tersebut kemungkinan akan jatuh ke utang korporasi, terutama yang dipegang oleh perusahaan-perusahaan di industri berat dan konstruksi, yang banyak dijalankan oleh negara.

Melihat kondisi perekonomian China cukup riskan tersebut, alangkah baiknya pemerintah Indonesia lebih jeli menghadapi tawaran pinjaman dari China, mengingat risiko domino effects yang setiap saat dapat terjadi, yang berdampak muktidimensi terhadap ekonomi Indonesia. Waspadalah!

 

BERITA TERKAIT

Jaga Stimulus UMKM

Pengalaman badai Covid-19 selama 2 tahun lebih di waktu lalu ternyata tidak hanya berdampak terhadap kesehatan anak bangsa, tetapi juga…

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Jaga Stimulus UMKM

Pengalaman badai Covid-19 selama 2 tahun lebih di waktu lalu ternyata tidak hanya berdampak terhadap kesehatan anak bangsa, tetapi juga…

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…