Benahi Distribusi Pangan


Baru di awal bulan Ramadhan tahun ini, masyarakat kembali mulai was-was terhadap meningkatnya harga sejumlah komoditas pangan. Harga pangan melonjak seolah menjadi rutinitas dan ritual. Meski dari jauh-jauh hari pemerintah sudah membentuk Satgas Pangan dan kebijakan penetapan harga pangan oleh Kementerian Perdagangan, kondisi harga pangan tetap berfluktuasi. 


Kita lihat pemerintah kali ini mengintervensi harga pangan secara langsung lewat penetapan harga terbatas terhadap tiga komoditas: gula, minyak goreng, dan daging beku. Ini terlihat dari kebijakan terbatas harga di pasar ritel modern yang menjadi anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Mereka wajib menjual gula pasir, minyak goreng kemasan sederhana, dan daging beku sesuai harga eceran tertinggi (HET) masing-masing Rp12.500/kg, Rp11.000 per liter, dan Rp80.000/kg. Kewajiban itu berlangsung 5 bulan, mulai 10 April hingga 10 September 2017. 


Intervensi harga yang dilakukan pemerintah karena dua hal. Pertama, rantai pasok di ritel modern sederhana dan pendek. Kedua, semua perusahaan berizin dan terdaftar resmi sehingga datanya lengkap. Dengan demikian, apabila mereka tidak patuh, pemerintah dapat langsung memberikan sanksi hukuman.Karena itu, ketika diajak berdialog dan diminta menyepakati tingkat keuntungan wajar, mereka umumnya patuh dengan permintaan pemerintah. Harga gula misalnya, disepakati dari produsen dan distributor dalam kemasan 1 kg Rp11.900 dan dalam kemasan 50 kg Rp10.900/kg. Artinya, saat dijual di ritel modern dengan HET Rp12.500/ kg keuntungan peritel antara Rp600 hingga Rp1.600/kg atau 5% hingga 12,8%.  Sementara daging beku impor dari distributor Rp75.000/kg. Jika dijual di ritel modern dengan HET Rp85.000/kg, keuntungan peritel Rp5.000/kg (5,8%).

 

Pengaturan harga ini patut diapresiasi. Lewat intervensi harga pemerintah menandai telah hadir sebagai wasit. Selama ini elastisitas transmisi harga pangan terlalu rendah. Sistem rantai pasok pangan juga tidak efisien. Biaya transaksi rantai pasok pangan amat tinggi. Ujung-ujungnya, balas jasa tidak dinikmati oleh mereka yang berjasa besar, yakni produsen. 


Intervensi harga oleh pemerintah dimaksudkan untuk mengatur ulang ”bagi-bagi kue” keuntungan yang selama ini banyak dinikmati pedagang, tengkulak, dan free rider. Di satu sisi, penetapan HET akan membuat harga terkendali. Harapannya, inflasi yang didorong folatilitas harga pangan bisa ditekan. Harus diakui, kinerja pengendalian inflasi pemerintah memang kian baik. Inflasi yang rendah disumbang terkendalinya kelompok harga-harga yang diatur pemerintah (administered prices) dan inflasi inti. Sebaliknya, inflasi banyak didorong harga pangan (volatile foods). Ini tercermin dari sumbangan inflasi pangan yang semakin besar.

 

Dari gambaran tersebut, hal ini mengindikasikan pemerintah belum mampu mengendalikan harga-harga pangan. Fluktuasi harga pangan dan inflasi akan menekan daya beli konsumen. Bagi rakyat, terutama yang miskin, inflasi akan menggerogoti daya beli mereka. Inflasi akibat instabilitas harga pangan akan mengekspose warga miskin di posisi rentan. Di sisi lain, harus dipastikan juga jangan sampai penetapan harga pangan justru merugikan petani. Gula pasir misalnya, penetapan HET Rp12.500/kg akan memengaruhi pembentukan harga lelang gula di tingkat petani.


Menurut perhitungan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), biaya pokok produksi gula dengan rendemen 7 tahun 2017 sebesar Rp10.500/kg. Karena itu, APTRI mengusulkan harga patokan pemerintah Rp11.500/ kg gula. Kalkulasi ini menunjukkan, HET gula Rp12.500/kg berpotensi membuat petani tebu merugi. Jangan karena melindungi daya beli konsumen, mengendalikan inflasi, dan mengurangi kemiskinan, kemudian petani tebu malah buntung. 


Selain itu, pemerintah perlu pula memastikan apa pengaruh penetapan harga itu terhadap pedagang di pasar tradisional. Rantai pasok pangan di pasar tradisional rumit, panjang, dan tidak efisien perlu dibenahi tuntas. Karena itu, pemerintah tetap diminta tegas untuk menjaga harga pangan yang wajar sesuai UU No 18/ 2012 tentang Pangan dan UU No 7/ 2014 tentang Perdagangan. Satgas Pangan juga lebih gencar lagi mendeteksi permainan spekulan atau kartel pangan yang makin parah belakangan ini.  

BERITA TERKAIT

Ketahanan Ekonomi Nasional

  UU Cipta Kerja sekarang menjadi terobosan pemerintah dalam menanggulangi hiper regulasi penghambat investasi. Artinya, dengan berlakunya UU tersebut, pelaku…

Impian Ekonomi Hijau

Rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur terus berproses dan Pemerintah terus melanjutkan berbagai proyek strategis di kawasan…

Pelayanan Buruk Birokrasi

Pelayanan publik buruk hingga kini terus menjadi sorotan masyarakat, dan tentunya masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pimpinan birokrasi (K/L)…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Ketahanan Ekonomi Nasional

  UU Cipta Kerja sekarang menjadi terobosan pemerintah dalam menanggulangi hiper regulasi penghambat investasi. Artinya, dengan berlakunya UU tersebut, pelaku…

Impian Ekonomi Hijau

Rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur terus berproses dan Pemerintah terus melanjutkan berbagai proyek strategis di kawasan…

Pelayanan Buruk Birokrasi

Pelayanan publik buruk hingga kini terus menjadi sorotan masyarakat, dan tentunya masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pimpinan birokrasi (K/L)…