Teknologi Industri Hijau Ikut Tekan Emisi GRK

NERACA

Jakarta – Industri merupakan salah satu sektor yang diminta untuk dapat mengganti atau merekayasa teknologi produksinya dengan yang rendah karbon. Hal ini sebagai komitmen Indonesia dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 sebesar 29 persen.

“Komitmen tersebut tercantum dalam Perjanjian Paris yang disepakati negara-negara di dunia pada Negoisasi Iklim ke-21 (COP 21) dari Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan iklim (UNFCCC) tahun 2015,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian, Haris Munandar di Semarang, Jawa Tengah, pekan lalu.

Menurut Haris, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian, industri perlu mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan dalam proses produksinya. “Penerapan prinsip industri hijau ini mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat bagi masyarakat,” tuturnya.

Untuk itu, Kemenperin terus mengembangkan sektor manufaktur di dalam negeri agar menuju industri hijau dan membangun industri baru dengan prinsip industri hijau. Alat yang digunakan untuk menilai suatu perusahaan sudah menerapkan industri hijau adalah dengan Standar Industri Hijau.

“Penggunaan teknologi rendah karbon menjadi salah satu prinsip industri hijau, dengan didukung oleh penerapan 4R (reduce, reuse, recycle, dan return) dan SDM yang kompeten maka akan menghasilkan efisiensi bahan baku, energi, dan air,” papar Haris.

Beberapa upaya di sektor industri yang telah menerapkan teknologi hijau dan sudah dapat dirasakan dampak positifnya, seperti industri semen dengan pemanfaatan biomass sebagai bahan bakar alternatif, pembangunan vertical finish mill yang dapat menurunkan konsumsi energi, pemanfaatan gas panas buang cooler untuk pengeringan material di ball mill, dan pemanfaatan gas buang waste heat recovery power generation (whrpg).

Selanjutnya, di industri pupuk, dengan gasifikasi batu bara sebagai alternative bahan baku pengganti gas alam, pemasangan unit purge gas recovery unit untuk me-recovery sumber daya gas, pemanfaatan ekses gas sebagai make-up bahan bakar, dan pemanfaatan biodiesel dari limbah rumah tangga untuk bahan bakar forklift.

Di industri pulp dan kertas, antara lain pemanfaatan kulit kayu yang dihasilkan pada proses debarking untuk bahan bakar pembangkit tenaga listrik, pemakaian black liquor yang dihasilkan pulp kraft cycle process sebagai bahan bakar, serta peningkatan efisiensi dalam penggunaan energi dan steam melalui penambahan air heater untuk pemanasan awal sebelum ke drier.

Haris meyakini, efisiensi sumber daya tersebut tentunya akan meminimisasi limbah dan mengurangi emisi CO2 yang dihasilkan. “Hal ini tentunya dapat berdampak pada menurunnya biaya operasional sehingga perusahaan tersebut dapat meningkatkan daya saing dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan,” ungkapnya.

Keberhasilan dari pengembangan industri hijau, lanjut Haris, salah satunya bergantung pada inovasi-inovasi yang dapat dilakukan oleh lembaga penelitian. Dalam kaitan tersebut, diharapkan pelaku industri dapat mengidentifikasi pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan untuk mewujudkan industri yang lebih hijau sebagai masukan bagi lembaga litbang di lingkungan Kemenperin.

Salah satunya adalah Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri (BBTPPI) Semarang, yakni Unit Pelayanan Teknis di bawah BPPI Kemenperin yang mempunyai visi menjadi center of excellence (pusat unggulan) untuk litbang teknologi dan layanan teknis di bidang industri hijau.

Haris menyampaikan, hasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh Balai Besar dan Baristand Kemenperin, mempertimbangkan prinsip-prinsip efisiensi, sehingga litbang yang dihasilkan dapat diterapkan oleh perusahaan industri. Pada tahun 2015, sebanyak 56 persen hasil litbang telah diterapkan oleh industri. Total litbang BPPI yang dilakukan tahun 2016 sebesar 198 penelitian, dan pada 2017 direncanakan sebesar 86 penelitian.

Pemerintah melalui berbagai pihak, salah satunya Kementerian Perindustrian (Kemenperin), berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen hingga tahun 2030 melalui upaya mandiri.

Kemenperin melalui Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika, I Gusti Putu Suryawirawan menilai salah satu kontribusi terbesar penurunan GRK adalah kendaraan bermotor di jalan raya yang menyumbang 26 persen dari total emisi dari sektor energi.

BERITA TERKAIT

PIS Siap Jadi Agregator Transportasi dan Logistik CCS

NERACA Jerman – PT Pertamina International Shipping (PIS) memaparkan sejumlah strategi dan kesiapan perusahaan untuk dekarbonisasi di Indonesia, salah satunya…

Tingkatkan Ekspor, 12 Industri Alsintan Diboyong ke Maroko

NERACA Meknes – Kementerian Perindustrian memfasilitasi sebanyak 12 industri alat dan mesin pertanian (alsintan) dalam negeri untuk ikut berpartisipasi pada ajang bergengsi Salon International de l'Agriculture…

Hadirkan Profesi Dunia Penerbangan - Traveloka Resmikan Flight Academy di KidZania Jakarta

Perkaya pengalaman inventori aktivitas wisata dan juga edukasi, Traveloka sebagai platform travel terdepan se-Asia Tenggar hadirkan wahana bermain edukatif di…

BERITA LAINNYA DI Industri

PIS Siap Jadi Agregator Transportasi dan Logistik CCS

NERACA Jerman – PT Pertamina International Shipping (PIS) memaparkan sejumlah strategi dan kesiapan perusahaan untuk dekarbonisasi di Indonesia, salah satunya…

Tingkatkan Ekspor, 12 Industri Alsintan Diboyong ke Maroko

NERACA Meknes – Kementerian Perindustrian memfasilitasi sebanyak 12 industri alat dan mesin pertanian (alsintan) dalam negeri untuk ikut berpartisipasi pada ajang bergengsi Salon International de l'Agriculture…

Hadirkan Profesi Dunia Penerbangan - Traveloka Resmikan Flight Academy di KidZania Jakarta

Perkaya pengalaman inventori aktivitas wisata dan juga edukasi, Traveloka sebagai platform travel terdepan se-Asia Tenggar hadirkan wahana bermain edukatif di…