Penurunan Investasi Migas Berdampak Negatif

 

NERACA

Jakarta-Krisis harga minyak global yang terjadi belakangan ini ternyata berdampak negatif terhadap berbagai sektor di Indonesia. Seperti melambatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah, macetnya industri penunjang migas, pengurangan tenaga kerja hingga dampak sosial lainnya dalam masyarakat.

Berdasarkan data SKK Migas, angka investasi hulu migas di Indonesia terlihat terus menurun tajam, dari semula US$15,34 miliar pada 2015 menjadi US$11,15 miliar pada 2016. "Ini menunjukkan terjadi penurunan investasi migas dalam kurun waktu setahun sebesar 27%,” ujar Marjolijn Wajong, Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) di Jakarta, pekan lalu.

Karena itu, pemerintah dan semua pihak yang terkait memiliki peran penting untuk segera mengambil tindakan yang tepat, sehingga Indonesia dapat terhindar dari krisis energi yang lebih luas dan berkepanjangan. Solusi yang lengkap dan jangka panjang yang dimulai dengan reformasi kebijakan yang sesuai tujuan sangat diperlukan.

 “Saya harus menekankan betapa mendesaknya kondisi saat ini. Tidak ada penemuan ladang minyak baru yang disebabkan oleh rendahnya aktivitas eksplorasi akan memukul kemampuan produksi migas Indonesia di masa mendatang. Penurunan produksi akan bertambah buruk bila kita hanya bergantung pada daerah produksi yang sudah berjalan. Kita perlu menemukan cadangan migas baru di lokasi baru. Untuk itu kita membutuhkan investasi yang sangat besar,” tegas Marjolin.

Pada kesempatan yang sama, Presiden IPA Christina Verchere mengatakan Indonesia harus bersaing secara regional dan global untuk mendapatkan pendanaan untuk investasi saat ini. "Karena itu kondisi industri harus menarik bagi investor untuk mau berinvestasi di Indonesia,” ujarnya.

Seperti diketahui, IPA sebagai wadah perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia, akan mengadakan Konvensi dan Pameran IPA ke-41 pada tanggal 17-19 Mei 2017 di Jakarta Convention Center dengan tema “Accelerating Reform to Re-Attract Investment to Meet the Economic Growth Target”. Ajang IPA Convex ke-41 ini merupakan wadah yang akan mempertemukan pemimpin industri, pelaksana dan pengambil kebijakan, pemerintah dan para tenaga ahli yang berhubungan dengan industri migas, baik dari dalam maupun dari luar negeri.

"Tujuannya untuk bersama-sama mencari solusi yang dapat dilakukan untuk mendorong pertumbuhan dalam industri sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dalam berbagai sektor di Indonesia," ujar Marjolin.

Sebelumnya Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, setiap Rp1 triliun investasi sektor hulu migas dapat menyerap 13.670 tenaga kerja. Selain itu juga dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga melalui gaji sebesar Rp473,76 miliar.

Komaidi meminta pemerintah menaruh perhatian terhadap sektor migas. "Apabila dalam satu bulan tidak ada supply Bahan Bakar Minyak (BBM) di tengah masyarakat, maka akan terjadi kekacauan secara nasional dan distribusi berhenti secara total," ujarnya kepada pers belum lama ini.

Adapun wacana pemerintah untuk memenuhi kebutuhan migas melalui impor, mempunyai banyak konsekuensi yang harus ditanggung. Tidak hanya oleh pemerintah tapi juga oleh rakyat. Pemerintah harus menyiapkan anggaran untuk mengimpor migas sekitar US$50 miliar per tahun, atau sekitar 42% dari total cadangan devisa. Jumlah ini belum termasuk impor elpiji, pelumas dan produk turunan lain. Namun, pemerintah belum tentu siap merealisasikannya.

“Untuk mengimpor migas, Indonesia harus bersaing dengan negara lain yang juga importir migas. Indonesia bersaing dengan Jepang, India dan Cina, yang negaranya tidak punya pasokan energi yang besar," ujarnya.

Adapun konsekuensinya apabila tidak memiliki industri migas, Indonesia akan kehilangan investasi sekitar Rp180 triliun hingga Rp300 triliun setiap tahunnya. Serta Kehilangan penerimaan negara (APBN) dari pajak dan PNBP sekitar Rp 90 triliun hingga Rp350 triliun - tergantung harga minyak dan gas. Selain itu, penciptaan nilai tambah ekonomi terhadap sektor pendukung dan pengguna migas akan berkurang signifikan.

"Apabila seluruh kebutuhan migas dipenuhi melalui impor, ketahanan energi dan ketahanan ekonomi Indonesia menjadi sangat rentan. Indonesia akan sangat bergantung dengan negara lain," ujarnya.

Dilihat dari semua potensi yang ada dan kemampuan sektor migas dalam menghasilkan nilai tambah sebagai katalis pertumbuhan ekonomi Indonesia. Potensi industri migas harus dijaga dan dimaksimalkan. Karena sektor ini penting untuk ketahanan energi nasional. “Saya kira sektor migas masih menjadi sektor yang strategis bagi Indonesia,” ujar Komaidi.

Menurut dia, Indonesia perlu mengubah paradigma dalam melihat peran industri migas bagi Indonesia. Saat ini, industri migas sangat penting untuk pengembangan dan penggerak pertumbuhan ekonomi serta penguat sendi-sendi ketahanan nasional. mohar

BERITA TERKAIT

Kemendag: Barang Impor PMI Tidak Lagi Dibatasi

NERACA Jakarta - Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan bahwa tidak ada lagi pembatasan jumlah maupun jenis pengiriman atau barang impor milik…

BPS: INFLASI APRIL MENCAPAI 0,25 PERSEN: - Migor dan Gula Pasar Dominan Berpengaruh

Jakarta-Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat seluruh komponen mengalami inflasi pada April 2024, sehingga secara bulanan inflasi April mencapai 0,25 persen,…

UU Cipta Kerja Masih Jadi Ancaman Kaum Buruh

NERACA Jakarta - Setahun lebih telah berlalu sejak pengesahan UU Cipta Kerja Omnibus Law, namun suara penolakan dari kalangan buruh…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

Kemendag: Barang Impor PMI Tidak Lagi Dibatasi

NERACA Jakarta - Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan bahwa tidak ada lagi pembatasan jumlah maupun jenis pengiriman atau barang impor milik…

BPS: INFLASI APRIL MENCAPAI 0,25 PERSEN: - Migor dan Gula Pasar Dominan Berpengaruh

Jakarta-Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat seluruh komponen mengalami inflasi pada April 2024, sehingga secara bulanan inflasi April mencapai 0,25 persen,…

UU Cipta Kerja Masih Jadi Ancaman Kaum Buruh

NERACA Jakarta - Setahun lebih telah berlalu sejak pengesahan UU Cipta Kerja Omnibus Law, namun suara penolakan dari kalangan buruh…