Tarik Ulur Perjalanan Revisi UU Migas

Oleh: Afut Syafril

Upaya mencapai ketahanan energi nasional tampaknya tidak mudah untuk dicapai, khususnya dalam hal mengatur kebijakan. Berkali-kali Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) hilir mudik di Mahkamah Konstitusi.

Selama masa itu, banyak pula hal yang dibatalkan dan direvisi. Akan tetapi, tidak kunjung selesai sampai sekarang.

Keinginan untuk merevisi UU Migas sendiri muncul karena banyak yang berpikir bahwa UU tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945 tentang penguasaan kekayaan sumber daya alam negara.

Berkenaan dengan kepentingan tersebut, peneliti senior dari The Habibie Center Zamroni Salim mendorong agar alotnya proses revisi tersebut segera selesai.

Alasan harus disegerakannya adalah tingkat konsumsi migas makin meningkat seiring dengan pembangunan perekonomian. Selanjutnya, produksi dan cadangan dari migas makin menurun.

Belum lagi, saat ini mulai berkembang teknologi migas nonkonvensional yang dapat diperbarui sehingga perlu kejelasan mengenai batasan energi.

"Isu utama ini harus segera dikaji, terutama arahan untuk mencapai ketahanan energi karena migas merupakan modal dasar pembangunan negara. Selain itu, juga aspek kelembagaan harus diposisikan dalam tatanan migas nasional, seperti Pertamina dan PGN," katanya.

Zamroni juga memberikan gambaran perbandingan bagaimana UU No. 8/1971 dan UU No. 2/2001 yang sedang masa revisi. Untuk UU No. 8/1971, Pemerintah lebih memberi peran besar dalam pengelolaan migas. Pemerintah memiliki hak milik SDA dan kuasa penambangan, sedangkan hak bisnisnya dipegang oleh dunia usaha.

Untuk Pertamina, lebih berfungsi sebagai regulator, mewakili pemerintah daripada sebagai perusahaan operator migas di Indonesia. Pada UU No. 22/2001, pengerdilan fungsi perusahaan negara mulai terasa dalam tata kelola migas.

Pertamina hanya menjadi kontraktor migas di antara kontraktor yang lain atau secara posisi sejajar. SKK Migas sebagai pengelola manajemen kontrak hulu migas mewakili pemerintah selaku regulator.

Oleh karena itu, implikasinya adalah meningkatnya impor migas bagi Indonesia sehingga mengurangi devisa negara. Dampak lainnya dari UU ini adalah terancamnya pemenuhan kebutuhan migas nasional dan ketahanan energi nasional terkait dengan keberlanjutan sumber dan pasokan, harga, dan keterjangkauan BBM.

Poin Perdebatan

Sementara itu, perkembangan terkini, Komisi VII DPR RI menyebutkan bahwa ada hal-hal yang masih diperdebatkan dalam RUU Migas. Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha, setidaknya ada tujuh poin yang menjadi perdebatan mengenai revisi UU Migas.

"Masih ada hal-hal yang menjadi perdebatan, dan prosesnya sekarang akan diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR RI," kata Satya Widya Yudha.

Perdebatan tersebut, yakni: pertama, terkait tata kelola sektor hulu. Institusi pelaksana sektor hulu, bentuk, struktur, tugas dan kewenangan serta pemengang kuasa pertambangan masih dibahas pembentukannya.

Kedua, bentuk kontrak. Untuk bentuk kontrak pembahasannya dalam hal jenis kontrak yang dapat dipakai, jangka waktu kontrak, skema bagi hasil, kedaulatan negara, dan klausul yang dapat memberikan kepastian hukum.

Ketiga, "privilege" atau hak istimewa untuk NOC (Pertamina) dan perusahaan domestik. Privilege tersebut, antara lain, untuk mendapatkan wilayah kerja baru dan mendapatkan wilayah kerja yang akan segera habis. Selain itu, juga perhitungan participating interest (PI) atau hak berpartisipasi. Misalnya, berapa persen bagian Pertamina dan definisi perusahaan domestik itu sendiri.

Keempat, hak bagian untuk pemerintah daerah. Contohnya adalah bagaimana bentuk "privilege" yang diharapkan dapat memberikan rasa kepemilikan sehingga dapat mempermudah proses perizinan dan mengurangi tuntutan pemerintah daerah.

Kelima, perdebatan juga menyinggung masalah kesehatan, dampak lingkungan, dan kesejahteraan sendiri bagi pihak terkait.

Keenam, pembahasan RUU migas juga memfokuskan pada "petroleum fund" atau pendanaan bagi upaya pengembangan migas serta pencariannnya.

Pokok perdebatan yang ketujuh adalah pada sektor hilir. Misalnya, untuk penetapan kebijakan harga, privatisasi, berapa persen kewajiban memenuhi kebutuhan dalam negeri (di luar DMO), beroperasi dengan izin, dan pembentukan badan usaha penyangga sebagai induk.

"Bisa jadi nanti dibentuk badan usaha khusus. Akan tetapi, bukan BUMN karena untuk BUMN itu domisi bagi Komisi VI. Nanti bisa bertabrakan karena banyak bersinggungan," kata Satya.

Ia menginformasikan bahwa draf revisi saat ini sampai pada tahap akan diserahkan ke Badan Legislasi DPR RI.

Usulan

Guna mendorong terciptanya ketahanan energi nasional, berbagai upaya sudah mulai dimunculkan agar RUU Migas segera selesai. Anggota Dewan Energi Nasional Andang Bachtiar mengatakan bahwa jika kondisi tidak berubah, pada tahun 2050 kebutuhan migas Indonesia akan mencapai 1.030 mtoe (million tons of oil equivalent).

"Pada 2025, Indonesia akan menjadi importir minyak dan gas terbesar di Asia Tenggara," kata Andang yang juga pernah sebagai Ketua Komite Eksplorasi Nasional.

Usulan serta dorongan yang dia sampaikan adalah memberikan insentif pada kegiatan eksplorasi agar merangsang industri migas, kemudian kepastian keputusan pengelolaan wilayah karya migas kapan akan berkakhir harus jelas, blok migas harus berpotensi dieksplorasi atau dikembangkan baik yang akan berakhir.

Selanjutnya, memprioritaskan crude oil produksi nasional untuk kilang domestik, adanya pendanaan bagi sektor migas (petroleum fund) untuk investasi energi terbarukan, dan lainnya adalah pembangunan infrastruktur migas baik di hulu dan hilir secara masif.

"Dengan berjalannya usulan tersebut, saya yakin ketahanan energi nasional dapat dicapai dengan baik, tentunya didukung dengan kebijakan aturan yang pasti," kata Andang.

Ia menambahkan bahwa UU Migas harus bisa menjawab banyak permasalahan, di antaranya minyak dan gas bumi merupakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, baik langsung maupun tidak langsung, serta mempunyai kedudukan yang vital maupun strategis dibandingkan dengan bahan galian/hasil bumi lainnya.

Kedua adalah migas harus mempunyai peran yang khusus dan jelas dalam konteks geopolitik, ketahanan (energi) nasional, dan hubungan internasional.

Selain itu, harus bisa menjamin kemudahan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan energi fosilnya dalam jangka panjang, terutama migas, yang dari outlook diperkirakan akan menjadi importir terbesar migas di Asia Tenggara, sampai sejumlah volume empat sampai enam kali dari produksi dosmestik.

Permasalahan terakhir adalah jaminan mampu menjaga kemandirian dan kedaulatan pengelolaan sumber daya cadangan migas yang dieksplorasi serta diproduksi dari bumi pertiwi. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…