Mencermati Wacana Moratorium UN 2017

Oleh: Arief Mujayatno

Evaluasi adalah komponen penting dalam pendidikan, baik dilakukan oleh guru sekolah atau dinilai secara nasional. Hasil evaluasi yang valid akan menunjukkan kemampuan belajar para siswa selama menempuh pendidikan.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, melalui ujian nasional didapatkan data mengenai berapa standar kemampuan belajar siswa di suatu negara.

Namun karena pembangunan sarana pendidikan dan kualitas pendidikan di Indonesia belum merata, ditambah kondisi geografis yang berupa kepulauan dan penyebaran penduduk yang terkonsentrasi di Jawa, kesetaraan pendidikan belum bisa dilakukan dari Sabang sampai Merauke.

Ujian Nasional sejatinya adalah uji kemampuan setingkat negara. Apabila diubah menjadi uji setingkat provinsi atau kabupaten/kota, maka penyelenggara pendidikan harus siap dengan dampaknya secara nasional.

Karena tanpa ada kriteria yang standar, akan dihasilkan lulusan unggulan dari provinsi tertentu dan lulusan kurang bermutu dari provinsi lainnya.

Jika itu terjadi, peserta didik tidak lagi memiliki hak yang setara dalam melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya karena standar kemampuan mereka memang ada perbedaan antarwilayah.

Hal inilah yang sesungguhnya menjadi salah satu alasan yang melatarbelakangi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan mengenai Ujian Nasional (UN).

Namun, belakangan ini persoalan UN kembali ramai dibicarakan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) berencana melakukan moratorium atau penghentian sementara UN 2017.

Ibarat "bola panas", wacana tersebut mendapat tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan khususnya di lingkungan pendidikan.

Menghentikan kebijakan berskala nasional yang saat ini sedang berjalan tentu bukanlah persoalan mudah. Apalagi, sekarang para guru dan siswa juga tengah melakukan berbagai persiapan untuk menghadapi Ujian Nasional 2017 yang tidak lama lagi akan tiba.

Tidak hanya guru dan siswa, birokrasi pendidikan di berbagai tingkatan tentu juga sudah separuh jalan mempersiapkan pelaksanaan UN yang kurang dari enam bulan lagi.

Tiga Opsi

Pro kontra terhadap wacana moratorium UN muncul ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengusulkan tiga opsi terkait UN, yakni penghapusan UN dari sistem pendidikan, penghentian sementara UN mulai 2017, atau tetap menjalankan UN dengan teknis pelaksanaan diserahkan kepada daerah.

Khusus untuk opsi ketiga, UN untuk tingkat SMA dan sederajat diusulkan ditangani oleh pemerintah provinsi, sedangkan tingkat SD dan SMP dan sederajat ditangani pemerintah kabupaten/kota.

Namun, ketiga opsi yang ditawarkan Mendikbud kepada Presiden Joko Widodo tersebut masih harus dibahas dalam rapat kabinet terbatas, sebelum diputuskan pemerintah.

"Sudah tuntas kajiannya, dan kami rencana (UN) dimoratorium. Sudah diajukan ke Presiden dan menunggu persetujuan Presiden," kata Muhadjir.

Mendikbud beralasan moratorium UN adalah karena pada saat ini UN berfungsi untuk pemetaan dan tidak menentukan kelulusan peserta didik. Kemendikbud ingin mengembalikan evaluasi pembelajaran siswa menjadi hak dan wewenang guru, baik secara pribadi maupun kolektif.

Sedangkan negara cukup mengawasi dan membuat regulasi supaya standar nasional benar-benar diterapkan di masing-masing sekolah.

Rencana moratorium tersebut juga menyesuaikan dengan peralihan kewenangan pengelolaan sekolah menjadi milik pemerintah daerah.

"Jadi nanti untuk evaluasi nasional itu, SMA/SMK serahkan ke provinsi masing-masing, untuk SD dan SMP diserahkan ke kabupaten atau kota," ucap Mendikbud.

Dalam catatan Kemdikbud, pemetaan berdasarkan hasil UN telah menunjukkan ada 30 persen sekolah yang sudah berada di atas standar nasional, sementara sisanya belum memenuhi standar tersebut.

Oleh karena itu, Kemendikbud akan membenahi terlebih dahulu sekitar 70 persen sekolah-sekolah itu agar dapat didongkrak melampaui standar nasional secara bertahap, dimulai dari yang paling di bawah standar.

Aspek-aspek yang ditingkatkan dalam pembenahan tersebut antara lain kualitas guru, proses bimbingan dan pembelajaran, revitalisasi sekolah dan lingkungan.

Mendikbud mengatakan biaya pembenahan sekolah yang masih di bawah standar tersebut akan menggunakan anggaran yang seharusnya digunakan untuk pelaksanaan ujian nasional.

Dorong USBN

Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, Kamis (1/12), Muhadjir Effendy memaparkan rencana pemerintah melakukan moratorium UN pada 2017 dan mendorong pelaksanaan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) sebagai metode evaluasi capaian belajar siswa menggantikan UN.

Sejak tahun 2015, UN tidak lagi dijadikan penentu kelulusan peserta didik dan hanya berfungsi untuk pemetaan. Berdasarkan hasil UN dalam tiga tahun terakhir, Kemdikbud sudah memperoleh peta kualitas pendidikan di Indonesia, sehingga pemetaan tidak perlu setiap tahun dilaksanakan.

Pada 2017, Kemendikbud berupaya mendorong terlaksananya USBN yang diselenggarakan oleh setiap satuan pendidikan/sekolah dengan mengacu pada standar nasional.

Nantinya, kelulusan siswa akan ditentukan oleh tiap-tiap sekolah dengan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat. Standar tersebut merupakan hasil kajian yang telah disesuaikan dengan hasil pemetaan yang diperoleh dari UN di tahun-tahun sebelumnya.

Menurut Mendikbud Muhadjir, moratorium UN merupakan langkah pemerintah dalam melaksanakan Nawa Cita. Dalam rangka melakukan revolusi karakter bangsa, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berjanji untuk melakukan evaluasi terhadap model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional, termasuk di dalamnya UN.

Sedangkan untuk menjawab kekhawatiran yang timbul di masyarakat terkait standar mutu pendidikan nasional, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang tersebut menyatakan, standar nasional pendidikan tetap dilaksanakan, tetapi kewenangannya didesentralisasikan ke daerah sesuai dengan amanat undang-undang.

Sementara itu, anggota Komisi X DPR RI lebih menyoroti kesiapan pemerintah pusat dan daerah dalam masa transisi moratorium UN dan masalah anggaran yang sudah dialokasikan untuk UN.

Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI I Wayan Koster menyatakan sependapat dengan rencana moratorium UN, karena menggunakan UN sebagai penentu kelulusan dinilai melanggar Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

Namun, Wayan mengingatkan pemerintah untuk menyusun sistem evaluasi yang berjenjang dan alat ukur yang digunakan.

Sedangkan anggota Fraksi Partai Golkar Popong Otje Djundjunan mengingatkan agar pengalihan anggaran UN harus tepat, dan moratorium UN harus sudah dikaji secara akademis.

"Mengembalikan evaluasi peserta didik ke pendidik sudah sesuai undang-undang, sekarang pengalihan anggaran UN yang sudah ditetapkan ini juga harus tepat," ujarnya.

Kaji Ulang

Sementara itu, sejumlah kalangan menilai wacana pemerintah melakukan moratorium UN mulai 2017 perlu dikaji ulang.

Mantan Mendikbud Anies Baswedan meminta agar rencana tersebut dipikirkan kembali secara matang karena jika pelaksanaan UN ditiadakan, bisa menyulitkan sekolah atau perguruan tinggi saat menyeleksi peserta didik.

Sebab, katanya, nilai UN selama ini dijadikan sebagai standar nasional pendidikan.

Senada dengan itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menyatakan kurang sepakat jika Ujian Nasional (UN) dihapus karena selama ini sebagai patokan kelulusan dan meneruskan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.

Jika UN dihapus berarti harus ada parameter lain yang digunakan untuk kelulusan siswa. Kalau misalnya kelulusan menggunakan ujian sekolah, maka dikhawatirkan sekolah akan berupaya semaksimal mungkin membaguskan nilai siswanya. Begitu juga jika ada guru yang curang memanipulasi rapor siswa maka akan timbul kesenjangan dengan sekolah lain.

Sedangkan Bupati Biak Numfor, Papua, Thomas Ondy menyatakan perlu ada kajian khusus dan perlakuan tertentu untuk penghapusan UN pada sekolah di wilayah Papua dan Papua Barat.

Pemkab Biak Numfor, katanya, sangat berharap kebijakan penghapusan UN dipertimbangkan lagi mengingat UN masih dibutuhkan dalam sistem evaluasi akhir siswa.

Meski UN bukan satu-satunya penentu akhir kelulusan siswa tetapi dengan adanya UN, sekolah dapat mengukur tingkat penilaian akhir kepada siswa.

Reaksi pro dan kontra tentang moratorium UN ini mungkin saja tak segera kunjung usai. Namun harapan masyarakat apabila moratorium disetujui presiden adalah penghapusan UN tersebut juga tidak akan membuat orang tua dan siswa malah menjadi stress. Biaya besar untuk UN juga bisa digunakan untuk membangun sekolah-sekolah di daerah terpencil.

Bila memang moratorium jadi dilaksanakan mulai tahun 2017, semoga akan menjadi awal bagi pembenahan sistem pendidikan dasar dan menengah yang menyeluruh, terstruktur dan berkesinambungan, bukan sesuai selera pejabat tertingginya. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…