Antisipasi Bencana Alam

Antisipasi Bencana Alam
Ketika banjir bandang menerjang kawasan "atas" kota Bandung seperti di Jalan Pagarsih dan Pasteur, belum lama ini, banyak pihak terkejut dan bertanya, mengapa hal itu bisa terjadi. Karena biasanya di Bandung Selatan yang sering dilanda banjir di musim hujan saat ini. Sebelumnya banjir bandang juga menewaskan lebih dari 20 orang di kota Garut, Jawa Barat, dan bencana tanah longsor terjadi di beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera dan Kalimantan. 
Banyak korban meninggal dari sejumlah bencana tersebut, dan korban menderita sakit serta kerugian akibat rusaknya properti dan hilangnya harta benda juga cukup banyak. Banjir di wilayah perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah di wilayah selatan, bahkan memutus jalur utama transportasi di sana. Dan hal ini menimbulkan kerugian yang besar karena merupakan salah satu urat nadi perekonomian di provinsi tersebut.
Kita tentu prihatin atas tragedi itu, dan berterima kasih atas respon berbagai lembaga untuk menolong korban, dan antusiasme warga masyarakat dalam ikut memberikan bantuan kemanusiaan bagi para korban.
Namun, kesiapan kita untuk menghadapi bencana dalam beberapa bulan ke depan harus lebih ditingkatkan, mengingat musim hujan masih terus terjadi dan kemungkinan curah hujan akan meningkat. Itu berarti tingkat risiko bencana akibat musim hujan akan meningkat.
Peristiwa bencana di musim hujan ini harus diambil hikmahnya. Kecuali, kita memang akan menghadapi bencana serupa setiap musim hujan datang, bahkan dengan intensitas yang lebih tinggi. Berbagai bencana banjir mungkin tidak mudah dielakkan ketika musim hujan datang, terutama pada kawasan-kawasan yang sebelumnya adalah daerah rawa atau genangan banjir. Ketika kawasan itu berubah menjadi permukiman, maka sangat mungkin menghadapi banjir di musim hujan.
Meski demikian, pemerintah harusnya bisa mencegah untuk tidak jatuh korban lebih banyak, setidaknya mengurangi risiko jatuhnya korban, dan kerugian yang mungkin timbul. Dan hal itu bisa dilakukan dengan bantuan teknologi canggih. Namun yang paling utama, adalah membangun perilaku masyarakat yang aware membentuk budaya antisipasi bencana.
Yang diperlukan adalah upaya antisipasi, bukan sekadar respon saat terjadi bencana, apalagi hanya reaktif. Tentang ini, tampaknya sudah ada data memadai di pemerinta daerah tentang peta kawasan dengan risiko bencana yang mungkin timbul. Namun sering kita hanya berhenti di situ, dan kurang mengembangkan perilaku dan budaya antisipasi bencana.
Bencana terkait sungai biasanya terjadi karena pendangkalan sungai akibat aktivitas penggundulan hutan di kawasan sekitarnya. Demikian juga banyaknya sampah yang dibuang di sungai, bahkan juga bantaran sungai dijadikan kawasan permukiman.
Antisipasi  bencana tidak bisa hanya didasarkan pada sejumlah proyek yang dibuat oleh pemerintah. Basis antisipasi itu adalah perubahan perilaku, dan itu berarti perubahan kebiasaan, dan budaya pada manusia yang ada di kawasan itu dan kawasan yang terkait.
Perubahan perilaku, kebiasaan dan budaya ini bahkan menjadi kata kunci dari antisipasi menghadapi dan menekan risiko bencana. Sebab, hampir sebagian besar bencana yang terjadi adalah karena ulah perilaku manusia. Peristiwa alam, seperti musim kemarau dan musim hujan adalah siklus alam, namun risiko yang timbul pada musim itu justru karena perilaku manusia yang tidak disiplin dan tidak taat aturan.
Ketika musim kemarau datang dan banyak wilayah kekuarangan air, dan pertanian mengalami gagal panen, karena perilaku kita tidak menjaga mekanisme alam dalam menyimpan cadangan air. Bahkan bencana asap terjadi, karena api disulit diatasi oleh tangan manusia.
Juga ketika musim penghujan datang terjadi banjir, karena perilaku kita membuat tanah kehilangan kemampuan menyimpan dan melepas air secara perlahan. Juga yang menyebabkan sungai kehilangan kemampuan untuk menampung debit air yang begitu besar.
Karena itu, antisipasi bencana yang paling mendasar adalah perubahan pada manusia, dan bukan mengubah alam. Hal itu dilakukan sebelum bencana terjadi, dan secara terus-menerus. Itu yang belum banyak kita lakukan, dan berarti membangun perilaku, kebiasaan dan budaya yang menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Dan menjaga ekosistem alam sehingga diharapkan mampu meminimalisasi dampak bencana alam di masa depan. Semoga!

 

Ketika banjir bandang menerjang kawasan "atas" kota Bandung seperti di Jalan Pagarsih dan Pasteur, belum lama ini, banyak pihak terkejut dan bertanya, mengapa hal itu bisa terjadi. Karena biasanya di Bandung Selatan yang sering dilanda banjir di musim hujan saat ini. Sebelumnya banjir bandang juga menewaskan lebih dari 20 orang di kota Garut, Jawa Barat, dan bencana tanah longsor terjadi di beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera dan Kalimantan. 

Banyak korban meninggal dari sejumlah bencana tersebut, dan korban menderita sakit serta kerugian akibat rusaknya properti dan hilangnya harta benda juga cukup banyak. Banjir di wilayah perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah di wilayah selatan, bahkan memutus jalur utama transportasi di sana. Dan hal ini menimbulkan kerugian yang besar karena merupakan salah satu urat nadi perekonomian di provinsi tersebut.

Kita tentu prihatin atas tragedi itu, dan berterima kasih atas respon berbagai lembaga untuk menolong korban, dan antusiasme warga masyarakat dalam ikut memberikan bantuan kemanusiaan bagi para korban.

Namun, kesiapan kita untuk menghadapi bencana dalam beberapa bulan ke depan harus lebih ditingkatkan, mengingat musim hujan masih terus terjadi dan kemungkinan curah hujan akan meningkat. Itu berarti tingkat risiko bencana akibat musim hujan akan meningkat.

Peristiwa bencana di musim hujan ini harus diambil hikmahnya. Kecuali, kita memang akan menghadapi bencana serupa setiap musim hujan datang, bahkan dengan intensitas yang lebih tinggi. Berbagai bencana banjir mungkin tidak mudah dielakkan ketika musim hujan datang, terutama pada kawasan-kawasan yang sebelumnya adalah daerah rawa atau genangan banjir. Ketika kawasan itu berubah menjadi permukiman, maka sangat mungkin menghadapi banjir di musim hujan.

Meski demikian, pemerintah harusnya bisa mencegah untuk tidak jatuh korban lebih banyak, setidaknya mengurangi risiko jatuhnya korban, dan kerugian yang mungkin timbul. Dan hal itu bisa dilakukan dengan bantuan teknologi canggih. Namun yang paling utama, adalah membangun perilaku masyarakat yang aware membentuk budaya antisipasi bencana.

Yang diperlukan adalah upaya antisipasi, bukan sekadar respon saat terjadi bencana, apalagi hanya reaktif. Tentang ini, tampaknya sudah ada data memadai di pemerinta daerah tentang peta kawasan dengan risiko bencana yang mungkin timbul. Namun sering kita hanya berhenti di situ, dan kurang mengembangkan perilaku dan budaya antisipasi bencana.

Bencana terkait sungai biasanya terjadi karena pendangkalan sungai akibat aktivitas penggundulan hutan di kawasan sekitarnya. Demikian juga banyaknya sampah yang dibuang di sungai, bahkan juga bantaran sungai dijadikan kawasan permukiman.

Antisipasi  bencana tidak bisa hanya didasarkan pada sejumlah proyek yang dibuat oleh pemerintah. Basis antisipasi itu adalah perubahan perilaku, dan itu berarti perubahan kebiasaan, dan budaya pada manusia yang ada di kawasan itu dan kawasan yang terkait.

Perubahan perilaku, kebiasaan dan budaya ini bahkan menjadi kata kunci dari antisipasi menghadapi dan menekan risiko bencana. Sebab, hampir sebagian besar bencana yang terjadi adalah karena ulah perilaku manusia. Peristiwa alam, seperti musim kemarau dan musim hujan adalah siklus alam, namun risiko yang timbul pada musim itu justru karena perilaku manusia yang tidak disiplin dan tidak taat aturan.

Ketika musim kemarau datang dan banyak wilayah kekuarangan air, dan pertanian mengalami gagal panen, karena perilaku kita tidak menjaga mekanisme alam dalam menyimpan cadangan air. Bahkan bencana asap terjadi, karena api disulit diatasi oleh tangan manusia.

Juga ketika musim penghujan datang terjadi banjir, karena perilaku kita membuat tanah kehilangan kemampuan menyimpan dan melepas air secara perlahan. Juga yang menyebabkan sungai kehilangan kemampuan untuk menampung debit air yang begitu besar.

Karena itu, antisipasi bencana yang paling mendasar adalah perubahan pada manusia, dan bukan mengubah alam. Hal itu dilakukan sebelum bencana terjadi, dan secara terus-menerus. Itu yang belum banyak kita lakukan, dan berarti membangun perilaku, kebiasaan dan budaya yang menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Dan menjaga ekosistem alam sehingga diharapkan mampu meminimalisasi dampak bencana alam di masa depan. Semoga!

BERITA TERKAIT

Jaga Stimulus UMKM

Pengalaman badai Covid-19 selama 2 tahun lebih di waktu lalu ternyata tidak hanya berdampak terhadap kesehatan anak bangsa, tetapi juga…

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Jaga Stimulus UMKM

Pengalaman badai Covid-19 selama 2 tahun lebih di waktu lalu ternyata tidak hanya berdampak terhadap kesehatan anak bangsa, tetapi juga…

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…