Pengamat: Penegakan Hukum Masih Lemah Ganggu Investasi

Pengamat: Penegakan Hukum Masih Lemah Ganggu Investasi
NERACA
Jakarta-Pengamat ekonomi dan hukum menilai proses penegakan hukum selama ini belum betul-betul melindungi investor yang mau menginvestasikan dananya ke Indonesia. Ketidakpastian hukum ini membuat laju investasi masih rendah. Sementara itu kinerja pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dinilai makin jauh dari target RPJMN 2015-2019.
“Dari kemarin yang ramai diluncurkan itu soal Satuan tugas Saber (sapu bersih). Tapi bentuknya lebih banyak ke proses pelayanan publiknya. Padahal mestinya, apa yang dibuat pemerintah ini harus didukung oleh sistem peradilan juga,”  ujar pengamat hukum investasi Ifdhal Kasim di Jakarta, Sabtu (22/10).
Menurut dia, saat ini laju investasi memang masih berjalan single digit atau dengan kata lain masih cukup rendah mencapai 7%. Padahal, agar proses investasi itu bisa dianggap berdampak ke pertumbuhan ekonomi, minimal bisa mencapai 10%. 
Kondisi ini terjadi, menurut dia, karena investasi itu memerlukan lingkungan hukum yang sehat. Dan perlu penegakan hukum yang bagus termasuk stabilitas politik. Persoalan ini terkait bukan hanya dengan hukum investasi, tapi juga hukum secara keseluruhan.
“Karena seharusnya ada keterpaduan hukum yang bisa membangun iklim investasi yang sehat. Ini masalah besar di Indonesia. Sehingga banyak keraguan bagi investor, karena tak bisa diprediksi. Makanya hingga kini, arus modal yang masuk ke Indonesia relatif masih kecil,” ujarnya. 
Secara terpisah, pengamat ekonomi UI Faisal Basri mengritik kinerja ekonomi pemerintahan Joko Widodo yang pencapaiannya sejauh ini jauh dari target-target di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Perlambatan ekonomi selama tiga tahun terakhir dinilai sebagai buktinya. 
"Laporan pemerintah Indonesia memang hebat, nomor tiga di dunia, tetapi dibandingkan dengan RPJMN justru semakin kacau," ujarnya seperti dikutip  Antara, akhir pekan lalu.  
Apabila mengacu pada RPJMN, pemerintah memasang target rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 6,9% selama periode 2015-2019. Untuk tahun depan, idealnya ekonomi nasional tumbuh 7,1% dan ditargetkan naik menjadi 7,5% pada 2018 dan 8% pada 2019. 
Namun implementasinya, pemerintah hanya berani memasang target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% pada 2017. Sementara pada 2018 dan 2019 hanya naik tipis masing-masing menjadi 5,5% dan 6%.  
Menurut Faisal, perencanaan ekonomi seperti ini tidak bagus. Terlebih, Bank Dunia melaporkan, produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia sejak 2013 hingga 2015 turun signifikan, dari sebesar US$12 ribu menjadi US$10 ribu. 
"Ujung tombak selama ini adalah investasi swasta, bukan dari program pemerintah, namun hal tersebut justru diganggu terus, alhasil pertumbuhan kredit terus turun hingga 6,8%," ujarnya. 
Faisal juga memberikan analogi bahwa, jika ingin menumbuhkan hasil yang bagus belajar seperti atlet: terus berlatih, disiplin, jaga asupan makanan, dan terus berkompetisi. "Contohnya Michael Phelps, yang meraih hasil menakjubkan di olimpiade juga bukan kebetulan, tetapi terus berlatih dan disiplin, begitu juga perekonomian, semua sektor juga harus disiplin, asupan aliran dana juga harus terjaga, tidak bisa hanya fokus di satu sisi saja," katanya.
Dia mengingatkan, negara-negara berkembang di Asia seperti Vietnam dan FIlipina bisa melakukan hal tersebut. Pemerintah Indonesia, seharusnya cepat sadar akan permasalahan yang mengganjal selama ini dan segera dicari penyebab, serta solusinya.
Dengan kondisi hukum yang tak melindungi investor itu, kata dia, pemerintah pun banyak melakukan revitalisasi hukum dengan cara deregulasi yang menghambat proses investasi.
“Cuma masalahnya sistem peradilan kita belum berpihak ke investor. Sekalipun ada tim Satgas, kalau sistem peradilan tak berubah dan tak cukup andal memberikan kepastian hukum bagi para investor, maka akan sia-sia,” ujarnya. 
Artinya, menurut dia, kalau pemerintah berjalan sendiri, tapi dibarengi dengan reformasi hukum, terutama di sistem peradilan, maka akan tetap menganggu laju investasi.
Terapi Kejut
Sebelumnya Wakil Presiden Jusuf Kalla berharap, keberadaan Saber Pungli dapat memberikan terapi kejut untuk oknum pemerintahan yang berniat melakukan praktik itu.
"Pemerintah tidak bermaksud menangkap pegawainya, asal jangan berbuat saja. Tapi ini shock therapy agar masyarakat berani untuk terlibat," ujarnya, Jumat (21/10). 
Selama ini, masyarakat kerap geram dengan praktik pungli yang dilakukan oknum petugas pemerintah. Namun, mereka tidak berani untuk melaporkan praktik tersebut. Dengan adanya Satgas berantas pungli, Wapres berharap masyarakat dapat berperan aktif dalam memberantas pungli.
Wapres menilai, ada andil masyarakat dalam maraknya praktik pungli selama ini. Hal itu disebabkan masyarakat yang malas ketika harus berhadapan dengan petugas yang bertugas memberikan pelayanan publik. "Jadi masyarakat itu pada dasarnya membeli waktu, daripada menunggu," ujarnya. 
Wapres mengingatkan,  tidak mudah memberantas seluruh praktik pungli di Tanah Air. Untuk itu dibutuhkan kerja sama yang baik antara masyarakat dengan pemerintah dalam mewujudkannya. "Sebenarnya (Saber Pungli) ini shock therapy untuk masyarakat (agar) lebih terbuka dan berani memprotes, mengemukakan hal itu," ujarnya. 
Komisioner Ombudsman La Ode Ida menyebut, hampir separuh laporan yang masuk ke lembaganya adalah terkait pungutan liar. Sehingga menurut dia, kasus operasi tangkap tangan di Kementerian Perhubungan belum lama ini, bukanlah hal luar biasa.
“Laporan ke Ombudsman itu ada banyak, bahkan hampir 50% adalah yang begini (pungli), tapi kecil-kecil seperti di bidang pendidikan, pelayanan SIM dan lain-lain,” ujarnya. 
La Ode mengatakan, praktik pungutan liar terjadi karena lemahnya pengawasan internal dalam suatu institusi. Pengawasan yang buruk tersebut, juga diperburuk dengan adanya toleransi antara pimpinan instansi yang cenderung korup.
“Nah itu terjadi karena pemimpin tidak terlalu banyak miliki integritas. Pak Tito (Kapolri) misalnya, akan membuat suasana baru di internal Polri, tapi bagaimana di instansi lain, ” ujarnya.
La Ode menuturkan, praktik pungli merupakan bukti pengawasan internal yang tidak efektif. Menurut dia, tugas pengawasan seharusnya sudah bisa ditangani oleh inspektorat jenderal di setiap institusi. “Kalau masih saja ada yang begitu, hilangkan saja inspektoratnya. Makanya ini yang harus didorong pemerintah agar lembaga internal ini bisa efektif,” ujarnya. mohar

 

NERACA

Jakarta-Pengamat ekonomi dan hukum menilai proses penegakan hukum selama ini belum betul-betul melindungi investor yang mau menginvestasikan dananya ke Indonesia. Ketidakpastian hukum ini membuat laju investasi masih rendah. Sementara itu kinerja pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dinilai makin jauh dari target RPJMN 2015-2019.

“Dari kemarin yang ramai diluncurkan itu soal Satuan tugas Saber (sapu bersih). Tapi bentuknya lebih banyak ke proses pelayanan publiknya. Padahal mestinya, apa yang dibuat pemerintah ini harus didukung oleh sistem peradilan juga,”  ujar pengamat hukum investasi Ifdhal Kasim di Jakarta, Sabtu (22/10).

Menurut dia, saat ini laju investasi memang masih berjalan single digit atau dengan kata lain masih cukup rendah mencapai 7%. Padahal, agar proses investasi itu bisa dianggap berdampak ke pertumbuhan ekonomi, minimal bisa mencapai 10%. 

Kondisi ini terjadi, menurut dia, karena investasi itu memerlukan lingkungan hukum yang sehat. Dan perlu penegakan hukum yang bagus termasuk stabilitas politik. Persoalan ini terkait bukan hanya dengan hukum investasi, tapi juga hukum secara keseluruhan.

“Karena seharusnya ada keterpaduan hukum yang bisa membangun iklim investasi yang sehat. Ini masalah besar di Indonesia. Sehingga banyak keraguan bagi investor, karena tak bisa diprediksi. Makanya hingga kini, arus modal yang masuk ke Indonesia relatif masih kecil,” ujarnya. 

Secara terpisah, pengamat ekonomi UI Faisal Basri mengritik kinerja ekonomi pemerintahan Joko Widodo yang pencapaiannya sejauh ini jauh dari target-target di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Perlambatan ekonomi selama tiga tahun terakhir dinilai sebagai buktinya. 

"Laporan pemerintah Indonesia memang hebat, nomor tiga di dunia, tetapi dibandingkan dengan RPJMN justru semakin kacau," ujarnya seperti dikutip  Antara, akhir pekan lalu.  

Apabila mengacu pada RPJMN, pemerintah memasang target rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 6,9% selama periode 2015-2019. Untuk tahun depan, idealnya ekonomi nasional tumbuh 7,1% dan ditargetkan naik menjadi 7,5% pada 2018 dan 8% pada 2019. 

Namun implementasinya, pemerintah hanya berani memasang target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% pada 2017. Sementara pada 2018 dan 2019 hanya naik tipis masing-masing menjadi 5,5% dan 6%.  

Menurut Faisal, perencanaan ekonomi seperti ini tidak bagus. Terlebih, Bank Dunia melaporkan, produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia sejak 2013 hingga 2015 turun signifikan, dari sebesar US$12 ribu menjadi US$10 ribu. 

"Ujung tombak selama ini adalah investasi swasta, bukan dari program pemerintah, namun hal tersebut justru diganggu terus, alhasil pertumbuhan kredit terus turun hingga 6,8%," ujarnya. 

Faisal juga memberikan analogi bahwa, jika ingin menumbuhkan hasil yang bagus belajar seperti atlet: terus berlatih, disiplin, jaga asupan makanan, dan terus berkompetisi. "Contohnya Michael Phelps, yang meraih hasil menakjubkan di olimpiade juga bukan kebetulan, tetapi terus berlatih dan disiplin, begitu juga perekonomian, semua sektor juga harus disiplin, asupan aliran dana juga harus terjaga, tidak bisa hanya fokus di satu sisi saja," katanya.

Dia mengingatkan, negara-negara berkembang di Asia seperti Vietnam dan FIlipina bisa melakukan hal tersebut. Pemerintah Indonesia, seharusnya cepat sadar akan permasalahan yang mengganjal selama ini dan segera dicari penyebab, serta solusinya.

Dengan kondisi hukum yang tak melindungi investor itu, kata dia, pemerintah pun banyak melakukan revitalisasi hukum dengan cara deregulasi yang menghambat proses investasi. "Cuma masalahnya sistem peradilan kita belum berpihak ke investor. Sekalipun ada tim Satgas, kalau sistem peradilan tak berubah dan tak cukup andal memberikan kepastian hukum bagi para investor, maka akan sia-sia,” ujarnya. 

Artinya, menurut dia, kalau pemerintah berjalan sendiri, tapi dibarengi dengan reformasi hukum, terutama di sistem peradilan, maka akan tetap menganggu laju investasi.

Terapi Kejut

Sebelumnya Wakil Presiden Jusuf Kalla berharap, keberadaan Saber Pungli dapat memberikan terapi kejut untuk oknum pemerintahan yang berniat melakukan praktik itu.

"Pemerintah tidak bermaksud menangkap pegawainya, asal jangan berbuat saja. Tapi ini shock therapy agar masyarakat berani untuk terlibat," ujarnya, Jumat (21/10). 

Selama ini, masyarakat kerap geram dengan praktik pungli yang dilakukan oknum petugas pemerintah. Namun, mereka tidak berani untuk melaporkan praktik tersebut. Dengan adanya Satgas berantas pungli, Wapres berharap masyarakat dapat berperan aktif dalam memberantas pungli.

Wapres menilai, ada andil masyarakat dalam maraknya praktik pungli selama ini. Hal itu disebabkan masyarakat yang malas ketika harus berhadapan dengan petugas yang bertugas memberikan pelayanan publik. "Jadi masyarakat itu pada dasarnya membeli waktu, daripada menunggu," ujarnya. 

Wapres mengingatkan,  tidak mudah memberantas seluruh praktik pungli di Tanah Air. Untuk itu dibutuhkan kerja sama yang baik antara masyarakat dengan pemerintah dalam mewujudkannya. "Sebenarnya (Saber Pungli) ini shock therapy untuk masyarakat (agar) lebih terbuka dan berani memprotes, mengemukakan hal itu," ujarnya. 

Komisioner Ombudsman La Ode Ida menyebut, hampir separuh laporan yang masuk ke lembaganya adalah terkait pungutan liar. Sehingga menurut dia, kasus operasi tangkap tangan di Kementerian Perhubungan belum lama ini, bukanlah hal luar biasa.

“Laporan ke Ombudsman itu ada banyak, bahkan hampir 50% adalah yang begini (pungli), tapi kecil-kecil seperti di bidang pendidikan, pelayanan SIM dan lain-lain,” ujarnya. 

La Ode mengatakan, praktik pungutan liar terjadi karena lemahnya pengawasan internal dalam suatu institusi. Pengawasan yang buruk tersebut, juga diperburuk dengan adanya toleransi antara pimpinan instansi yang cenderung korup.

“Nah itu terjadi karena pemimpin tidak terlalu banyak miliki integritas. Pak Tito (Kapolri) misalnya, akan membuat suasana baru di internal Polri, tapi bagaimana di instansi lain, ” ujarnya.

La Ode menuturkan, praktik pungli merupakan bukti pengawasan internal yang tidak efektif. Menurut dia, tugas pengawasan seharusnya sudah bisa ditangani oleh inspektorat jenderal di setiap institusi. “Kalau masih saja ada yang begitu, hilangkan saja inspektoratnya. Makanya ini yang harus didorong pemerintah agar lembaga internal ini bisa efektif,” ujarnya. mohar

BERITA TERKAIT

PRESIDEN JOKOWI: - Anggaran Jangan Banyak Dipakai Rapat dan Studi Banding

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menekankan kepada kepala daerah agar tidak menggunakan anggaran untuk agenda rapat dan…

BPS MENGUNGKAPKAN: - Pertumbuhan Kuartal I Tembus 5,11 Persen

Jakarta-Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,11 persen di kuartal I-2024 ini. Adapun penopang utama pertumbuhan ekonomi…

Inggris Jajaki Berinvestasi di KEK

NERACA London – Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga mengundang para investor dan pelaku usaha di Inggris untuk menjajaki peluang kerja…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

PRESIDEN JOKOWI: - Anggaran Jangan Banyak Dipakai Rapat dan Studi Banding

NERACA Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menekankan kepada kepala daerah agar tidak menggunakan anggaran untuk agenda rapat dan…

BPS MENGUNGKAPKAN: - Pertumbuhan Kuartal I Tembus 5,11 Persen

Jakarta-Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,11 persen di kuartal I-2024 ini. Adapun penopang utama pertumbuhan ekonomi…

Inggris Jajaki Berinvestasi di KEK

NERACA London – Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga mengundang para investor dan pelaku usaha di Inggris untuk menjajaki peluang kerja…