Kabinet Kerja Keras?

Presiden Jokowi telah melakukan perombakan (reshuffle) Kabinet Kerja Jilid II dengan menampilkan sembilan menteri wajah baru, dan empat menteri yang hanya bergeser posisi. Ini merupakan sebuah gambaran realita politik kompromi yang ditempuh Jokowi di tengah banyak tekanan dan kepentingan kekuasaan di lingkungan Istana.

Bagaimanapun, memang tidak mudah mengendalikan kecepatan “kapal besar” Indonesia yang  saat ini berlayar menghadapi badai global. Apalagi dengan konfigurasi kekuatan politik pendukung kekuasaan yang beragam, membuat Presiden sebagai pemilik hak prerogatif tidak mudah mencari figur yang memiliki kompetensi dan pengalaman memadai, sebagai dasar untuk membentuk “the dream team” menghadapi tantangan ekonomi global saat ini.

Kita mengakui, bahwa kondisi realitas kinerja Kabinet Kerja tidak semulus dengan cita-cita mewujudkan program Nawacita. Lihat saja, sejak dilantik sebagai presiden, Jokowi langsung dihadapkan pada persoalan yang sangat kompleks. Ada pelambatan pertumbuhan ekonomi di dunia yang berimbas pada ekonomi nasional, pola dinamika politik di DPR yang terbelah pascapilpres, dan harapan publik yang membumbung tinggi terhadap Jokowi.

Ketika melakukan akselerasi di musim pancaroba tahun pertama menyebabkan Jokowi mengambil inisiatif reshuffle pertama pada Rabu (12/08/2015). Ternyata, problematika masih terus mendera Kabinet Kerja, terutama yang terasa langsung adalah sektor ekonomi dan aneka ragam pelayanan publik bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan sebagainya.

Meski begitu, persoalan politik, hukum, dan keamanan pun belum benar-benar memuaskan. Sudah pasti tak ada keberhasilan instan, pun demikian dengan tata kelola pemerintahan. Kendati demikian, target capaian terutama yang berdampak langsung pada perbaikan harus dirasakan.

Pada tahun pertama Jokowi memimpin, publik menyadari bukan perkara mudah mengatasi masalah di negeri yang hampir semua sektornya bermasalah. Namun fasenya sudah berubah! Lalu memasuki tahun kedua dan selanjutnya adalah tahun pembuktian. Cara kerja pemerintah menjadi ujian kepemimpinan Jokowi- JK.

Karena itu sangat beralasan, perombakan kabinet kali ini akan sangat menentukan arah dan langkah kabinet Jokowi di kemudian hari. Karena dalam konteks ini, penting menakar reshuffle jilid kedua ini. Jika melihat gaya reshuffle Jokowi kali ini, ada beberapa hal yang patut jadi perhatian kita.  

Pertama, Jokowi mengeksplisitkan praktik akomodasi politik dengan memberi ruang pada partai baru bergabung belakangan yaitu Golkar dan PAN. Adalah Airlangga Hartarto yang menjabat menteri perindustrian baru menggantikan Saleh Husin merupakan representasi Golkar di kabinet.

Begitu pula dengan Asman Abnur yang menggantikan posisi menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi menggantikan Yuddy Chrisnandi, merupakan representasi dukungan PAN. Dalam konteks inilah, logika kekuasaan kembali mewujud dalam praktik power sharing alias bagi-bagi kekuasaan karena partai-partai selalu memaknai dukungan ibarat saham yang harus bisa dikonversikan ke dalam jabatan.

Tarik-menarik untuk mengakomodasi pendatang baru ke dalam gerbong kekuasaan inilah yang menjadikan isu perombakan bergulir cukup lama. Beragam manuver persuasi dan bingkai opini di beragam kanal komunikasi turut mewarnai isu reshuffle ini berbulan-bulan. Kedua, Jokowi mengelola keseimbangan politik dengan cara tetap mempertahankan konfigurasi kekuatan yang sudah ada sebelumnya.

Seperti jatah Partai Hanura diberikan ke Wiranto yang ditunjuk menjadi menteri koordinator bidang politik, hukum dan keamanan sebagai kompensasi dicopotnya Saleh Husin sebagai menteri perindustrian. Pun demikian, posisi Ferry Mursidan Baldan (NasDem) yang dicopot sebagai menteri agraria dan tata ruang digantikan Sofyan Djalil, dan posisi strategis lainnya Enggartiasto Lukita menggantikan Thomas Lembong sebagai menteri perdagangan.

Menteri dari PKB pun tetap aman, sekadar berganti orang dari Marwan Jafar ke Eko Putro Sanjoyo sebagai menteri pembangunan daerah tertinggal, desa, dan transmigrasi. Padahal, posisi kementrian yang diberikan ke PKB ini sangat diincar oleh PDIP. Jadi, Jokowi tak mau ambil risiko dengan mengurangi jatah partai-partai pendukung yang sudah ada sejak semula.

Hanya persoalannya, setiap perombakan mengemuka selalu muncul pertanyaan mendasar, sesungguhnya reshuffle ini untuk kepentingan siapa? Jika menggunakan perspektif publik, harusnya perombakan untuk perbaikan kinerja sehingga dapat dirasakan kebermanfaatannya oleh orang banyak. Sementara, jika menggunakan perspektif elite, perombakan akan terjebak pada sandera kuasa.

Modelnya lebih pada pilihan figur representasi dan akomodasi politik. Jika selalu kuasa yang menjadi pertimbangannya, kesan tambal sulam tak terhindari. Misalnya dalam pilihan orang partai yang menjadi menteri, apakah Jokowi masih ingat ucapannya bahwa menteri Kabinet Kerja tak boleh rangkap jabatan dengan posisinya sebagai ketua umum partai politik?

Ke depan, Presiden sudah saatnya menilai kinerja para menteri berdasarkan realisasi pencapaian target visi dan misinya. Lalu apakah para menteri baru ini akan berani bekerja dengan cara out of the box untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dibandingkan negara ASEAN lainnya? Artinya, penilaian kinerja menteri nantinya dititikberatkan pada outputnya, bukan pada kepentingan kekuatan partai politik. The Right Man on The Right Place betul-betul menjadi kenyataan di kemudian hari. Semoga!



BERITA TERKAIT

Ketahanan Ekonomi Nasional

  UU Cipta Kerja sekarang menjadi terobosan pemerintah dalam menanggulangi hiper regulasi penghambat investasi. Artinya, dengan berlakunya UU tersebut, pelaku…

Impian Ekonomi Hijau

Rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur terus berproses dan Pemerintah terus melanjutkan berbagai proyek strategis di kawasan…

Pelayanan Buruk Birokrasi

Pelayanan publik buruk hingga kini terus menjadi sorotan masyarakat, dan tentunya masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pimpinan birokrasi (K/L)…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Ketahanan Ekonomi Nasional

  UU Cipta Kerja sekarang menjadi terobosan pemerintah dalam menanggulangi hiper regulasi penghambat investasi. Artinya, dengan berlakunya UU tersebut, pelaku…

Impian Ekonomi Hijau

Rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur terus berproses dan Pemerintah terus melanjutkan berbagai proyek strategis di kawasan…

Pelayanan Buruk Birokrasi

Pelayanan publik buruk hingga kini terus menjadi sorotan masyarakat, dan tentunya masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pimpinan birokrasi (K/L)…