Tax Amnesty dan Momentum Reformasi

Oleh: Dhoni Siamsyah Fadillah Akbar, Staf Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu *)

Pajak masih merupakan sumber utama penerimaan Negara. Di tahun 2016 penerimaan pajak ditargetkan Rp1.546.664,6 juta dan mencapai 85% dari total pendapatan Negara. Sebenarnya, banyak potensi yang masih digali untuk meningkatkan penerimaan pajak. Data menunjukkan bahwatax ratio Indonesia hanya sekitar 12% di tahun 2014 [1], cukup rendah apabila dibandingkan dengan tax ratio rata-rata Negara-negara anggota OECD yang mencapai 34% [2]. Selain itu kepatuhan masyarakat terhadap pajak masih rendah, dapat dilihat dari jumlah wajib pajak yang terdaftar memiliki NPWP hanya sebanyak 26 juta orang dari total penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta orang. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan potensi pajak yang ada di Indonesia pemerintah berencana untuk mengeluarkan beberapa terobosan kebijakan, salah satunya adalah tax amnesty.

Tax amnesty adalah kebijakan pemerintah memberikan pengampunan pajak kepada wajib pajak yang pernah melakukan pelanggaran perpajakan di masa lalu. Tax amnesty diberikan dengan tujuan untuk mendapatkan kembali basis data pajak yang lebih baik. Disamping itu, mengajak mereka yang pernah melakukan pelanggaran untuk melaporkan kembali pajaknya secara benar sehingga diharapkan meningkatkan kepatuhan terhadap perpajakan di masa depan.

Tax amnesty sendiri pernah diberlakukan di Indonesia pada tahun 1984. Namun saat itu dianggap kurang berhasil karena respon wajib pajak yang rendah dan tidak diikuti dengan reformasi administrasi perpajakan secara menyeluruh [3]. Lalu ada juga kebijakan sunset policy yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di tahun 2008 dimana wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengampunan sanksi administrasi meskipun pajak terutang tetap harus dibayarkan secara penuh. Pada tahun 2015 juga ditetapkan sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak (TPWP) yaitu berupa penghapusan sanksi perpajakan dan administrasi untuk wajib pajak yang belum mematuhi peraturan perpajakan secara memadai [4].

Tax amnesty telah diterapkan di banyak Negara di dunia.  India (1997), Irlandia (1988), dan Italia (1982, 1984, dan 2001/2002) adalah contoh negara yang sukses menyelenggarakan program pengampunan pajak dan berhasil meningkatkan penerimaan Negara secara signifikan. Bahkan Italia berhasil mengembalikan penerimaan Negara sebesar 4 miliar euro. Pemerintah Indonesia perlu untuk belajar dari pengalaman Negara yang telah menerapkan tax amnesty sebagai bahan pertimbangan sebelum melaksanakan program tersebut.

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan kebijakan tax amnesty. Yang pertama adalah dibutuhkan sebuah momentum yang tepat dan sesuai. Jika melihat situasi di Indonesia dewasa ini, sebenarnya momentum tersebut sudah ada. Dari sisi internal, dapat dilihat dari upaya pemerintah melakukan berbagai reformasi di berbagai sektor mulai dari reformasi subsidi BBM dengan melakukan realokasi belanja subsidi ke belanja yang lebih produktif. Hal ini dapat dilihat dari belanja infrastruktur dan berbagai paket kebijakan yang menunjukkan niat pemerintah untuk meningkatan investasi di Indonesia. Hal ini menunjukkan persepsi kepada publik bahwa saat ini Indonesia sedang berbenah menuju ke arah yang lebih baik. Selain itu, faktor lain yang dapat dijadikan sebagai momentum adalah semakin kuatnya penindakan yang dilakukan oleh DJP dengan semakin gencar diberlakukannya gijzeling atau penyanderaan kepada wajib pajak yang tidak patuh. Hal tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menghadapi para pelanggar pajak.

Dari sisi eksternal, adanya perjianjian Automatic Exchange of Information (AEOI) yang akhir-akhir ini digalakkan oleh G20 dan OEC. AEOI sendiri adalah komitmen antar Negara yang tergabung dalam komunitas tersebut untuk saling bertukar informasi dalam mengurangi tingkat penghindaran pajak. Perjanjian ini direncanakan akan mulai diberlakukan pada tahun 2017-2018. Hal ini dapat dijadikan sebuah momentum kuat dan sinyal kepada mereka yang pernah melakukan pelanggaran pajak terutama yang menyelamatkannya ke luar negeri bahwa dana yang mereka larikan tersebut akan terdeteksi oleh pemerintah.

Namun terdapat berbagai hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah untuk memperhatikan dampak yang mungkin timbul dari diberlakukannya kebijakan tersebut. Hal ini karena tax amnesty memang dapat meningkatkan penerimaan dalam jangka pendek dan meningkatkan kepatuhan perpajakan dalam jangka panjang, tetapi jika tidak diprogram dengan baik, tax amnesty tidak akan memberikan dampak yang positif.

Salah satu dampak yang mungkin muncul adalah adanya disinsentif kepada para wajib pajak yang selama ini telah patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Apalagi dengan melihat target pajak yang semakin tinggi, akan muncul persepsi di kalangan para wajib pajak yang telah patuh bahwa mereka akan semakin ditekan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Sebaliknya, mereka yang selama ini melanggar pajak justru malah diberikan pengampunan oleh Negara. Hal tersebut perlu diantisipasi pemerintah misal dengan cara memberikan apresiasi kepada mereka yang selama ini telah patuh membayar pajak. Selain berupa piagam dan penghargaan seperti yang selama ini sudah dilaksanakan oleh DJP, berbagai bentuk insentif juga bisa diberikan kepada wajib pajak yang telah rutin melaporkan dan membayar pajak dalam jangka waktu tertentu untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat di masa depan. Penting bagi pemerintah untuk menunjukkan bahwa mereka yang patuh membayar pajak akan mendapatkan lebih banyak keuntungan secara riil dibandingkan dengan mereka yang kurang patuh. Karena itu, penulis menyarankan selain menyusun skema terkait tax amnesty, pemerintah juga perlu menyusun skema insentif untuk wajib pajak yang selama ini selalu menaati kewajiban perpajakannya. Meskipun akan berdampak terhadap penerimaan dalam jangka pendek, tetapi diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan terhadap perpajakan di masa depan.

Dampak lain yang dapat terjadi adalah munculnya persepsi bahwa kebijakan lain yang serupa dengan tax amnesty akan dikeluarkan di masa depan dalam jangka pendek. Persepsi seperti ini biasanya muncul jika kebijakan tax amnesty dikeluarkan tanpa diikuti dengan peningkatan penindakan peraturan perpajakan. Hal tersebut menyebabkan publik berasumsi bahwa kebijakan tersebut dikeluarkan karena ketidakmampuan pemerintah mengatasi penyelewengan perpajakan. Asumsi seperti itu dapat meningkatkan keinginan wajib pajak untuk melakukan penghindaran dan penyelewengan pajak lainnya dengan harapan mendapatkan tax amnesty di masa depan.

Selain beberapa hal yang telah disebutkan di atas, masih banyak strategi yang bisa digunakan pemerintah untuk meningkatkan keberhasilan program tax amnesty. Pemerintah bisa memberikan pengumuman bahwa para pelanggar pajak yang tidak melaporkan pajaknya sampai programtax amnesty berakhir, namanya akan diungkap ke publik untuk memberikan rasa malu (sanksi moral) kepada para pelaku. Pemerintah juga memperpendek periode pemberian tax amnesty atau bahkan tidak memberikan batasan periode dalam arti pemerintah berwenang untuk menutup program tersebut sewaktu-waktu dengan tujuan supaya para pelanggar pajak ini berusaha sesegera mungkin untuk melaporkan asetnya ke Negara.

Sebenarnya masih banyak cara dan strategi yang bisa dimanfaatkan pemerintah untuk mengoptimalkan kebijakan tax amnesty ini. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah memanfaatkan hal tersebut dan menggunakan momentum reformasi di segala sektor yang sudah terbangun ini untuk mengemas sebuah produk kebijakan yang tepat untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. (www.kemenkeu.go.id)  *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…