Sepak Bola Indonesia, Mau Kemana?

Ada pepatah mengatakan, “Bola itu bundar, sehingga tidak diprediksi kemana arahnya”. Hal yang sama terjadi di dunia persepakbolaan Indonesia. Ada ketidakjelasan arah dalam mengelola olahraga terpopuler sejagat ini.

Neraca. Dari segi prestasi, apa coba yang baru-baru ini direngkuh oleh timnas maupun klub yang berlaga di kancah asia maupun dunia? Pencapaian terbesar timnas ada di tahun lalu yakni berhasil juara di Piala Kemerdekaan. Itupun karena lawannya WO di final. Akan tetapi kini semua melempem, bahkan pernah Persik Kediri dicukur habis di Liga Champions Asia dengan skor 0-15!!! Hal ini sama dengan prestasi negara. Kita bisa lihat, prestasi yang dimiliki adalah prestasi-prestasi kategori negatif. Entah bagaimana ini bisa terjadi begitu detil bahkan sampai akar-akar kejelekannya. Ya, Indonesia adalah negara dengan prestasi hutang luar negeri terbanyak, korupsi terbesar, penggundulan hutan paling cepat, gizi buruk, angka kemiskinan yang besar, dan prestasi terbaik keburukannya yang laen.

Dari segi yang laennya, yaitu perihal SDM (Sumber Daya Manusia). Indonesia merupakan negara penggila bola yang besar, bukan hanya cukup besar. Dengan jumlah penduduk yang banyak, tentunya sekedar memenuhi sebelas pemain bola handal tidak akan sulit. Sayangnya, teori itu tidak terjadi di sini. Indonesia masih saja kekurangan pemain bola yang benar-benar mampu membuat timnas bersaing di kancah asia maupun dunia. Bahkan selalu wacana impor pemain alias naturalisasi pemain asing terus didengungkan.

Sebenarnya kita perlu menyadari satu hal, bahwa banyak anak bangsa yang berbakat. Potensi yang mumpuni yang mereka miliki ini tidak mampu berkembang. Sebuah pencapaian yang luar biasa, di tingkat junior kita masih dapat berbicara di tingkat dunia. Mereka, anak-anak Indonesia seakan mempunyai kemampuan lebih di atas anak-anak negara lain. Namun ternyata di tingkat senior, untuk berbicara di level ASEAN saja sekarang susah bukan main. Banyak yang menuding bahwa kesalahan ada di di system, maupun di proses pembinaan.

Kita bandingkan dengan kondisi negeri ini dalam hal masyarakatnya, wakil rakyatnya, dan pemimpin rakyat. Sebelumnya kita tengok hasil sensus penduduk terbaru melihatkan betapa besarnya kita dari segi jumlah manusianya. Tapi, angka demikian ternyata memperlihatkan betapa besarnya kita dari segi permasalahan yang ditimbulkan oleh banyaknya kepala yang mendiami Indonesia. Ibu kota Jakarta saja sekarang sudah tidak pantas lagi disebut ibu kota negara. Penumpukan penduduk sebanding dengan tingkat pengangguran, kejahatan yang terjadi, banjir, macet, dan carut marut lain yang melanda “ibu kota” kita.

Mengutip kembali kalimat apa yang salah. Coba diteruskan lagi dengan kalimat sistem yang salah. Ya, segala kebijakan yang bermain di Indonesia, orang-orang yang katanya mewakili rakyat di gedung mewah, serta orang-orang yang punya amanah besar di negeri ini ternyata kurang mampu mengayomi dan membentuk sistem atau kondisi bangsa yang lebih baik. Minimal lebih baik dari sekarang.

Terkait juga dengan mentalitas. Kembali ke persepakbolaan nasional, liga kita yang berisi pemain-pemain profesional dan amatir, ternyata dalam pertandingan masih sama saja. Bisa dibilang mereka sama sekali tidak profesional. Tidak sebanding dengan gaji mereka yang sudah bergaji sedemikian tinggi. Pertandingan bola memang menghasilkan pemenang maupun yang kalah. Akan tetapi, kalah yang mereka dapati masih saja kurang bisa diterima dengan besar hati. Selalu kambing hitam yang mereka cari, dan biasanya wasit menjadi korban. Kadang kasihan melihat wasit di negeri ini, yang keselamatannya tidak sebanding dengan asuransi apapun. Kita tahu hal-hal macam tawuran, rusuh, berkelahi, perusakan, pelemparan, dan aksi anarkis lainnya sering terjadi dalam liga Indonesia. Liga yang kini berlabel Super, ternyata juga makin super kerusuhannya.

Seperti masyarakat di negeri ini. Mereka gampang tersulut emosi. Biasanya masa kampanye, masa Pilkada, sering terjadi kerusuhan. Demo ada dimana-mana, aksi penyerangan terjadi sana-sini. Dalam konser musik pun, yang seharusnya diisi suasana meriah harus berganti hujan darah. Ada saling tikam antar tetangga, kasus pemerkosaan, kasus penyelundupan bayi, dan aneka kasus unik yang bertebaran di Indonesia tiap hari bisa kita saksikan di siaran televisi.

Kerusuhan sudah menjadi hal yang lumrah dalam sepak bola Indonesia. Tawuran antar suporter sepertinya menjadi bonus setelah menikmati pertandingan selama 90 menit. Di luar negeri, kerusuhan juga kerap mewarnai pertandingan. Namun, kerusuhan sepak bola luar negeri rata-rata hanya terjadi di luar stadion. Sehingga, pertandingan tidak terhenti dan fasilitas stadion relatif tidak menjadi korban. Ini jelas berbeda dengan sepak bola Indonesia yang suporternya melakukan aksi keributan di dalam stadion. Sebagai contoh, ketika Persitara Jakarta Utara menumbangkan tuan rumah Persiba Balikpapan dengan skor 2-1 pada laga lanjutan liga Super Indonesia (LSI). 5 Desember lalu.Penonton mulai melakukan aksi lempar botol minuman ke arah pemain dan wasit setelah Persitara mencetak gol kedua.

Bahkan, teror terhadap wasit dan ofisial berlangsung hingga pertandingan berakhir. Dua orang penonton hendak mengarahkan tinju ke arah wasit Jajat Sudrajat. Aksi brutal penonton juga kerap merenggut korban jiwa. Anggota Polres Metro Tangerang, AKP Saptomo (45 tahun), menghembuskan napas terakhir saat sedang melerai perkelahian suporter seusai Persikota Tangerang melawan Pro Duta Yogyakarta, Tawuran tersebut dipicu aksi sekelompok massa yang menghadang ratusan suporter Persikota Tangerang. Insiden penembakan tiba-tiba saja terjadi. Akibatnya, empat remaja mengalami luka tembak. Dua kejadian tersebut hanyalah rentetan kerusuhan yang menghiasi lembaran pagelaran liga sepak bola Indonesia.

Sayangnya, stigma negatif terkait kerusuhan tersebut kemudian dialamatkan hanya pada suporter yang memang kerap berlaku anarkis. Cara yang kemudian dianggap menyelesaikan masalah adalah membatasi suporter masuk ke lapangan, bahkan pihak Polda Metro Jaya memutuskan deity Jakarta tersebut digelar tanpa penonton, karena laga yang mempertemukan tim sekota ini rawan kerusuhan.

Meminimalisasi kericuhan dengan membatasi (bahkan melarang) suporter datang ke stadion bukanlah solusi yang bijak. Karena tindakan tersebut, sama halnya tidak mendidik penonton kita menjadi dewasa. Keputusan itu akhirnya dapat menghambat perkembangan sepak bola sendiri. Selain itu, pelarangan tersebut sama saja dengan menyalahkan sepenuhnya peristiwa kerusuhan pada suporter. Padahal, penonton juga bisa diajak bicara untuk ikut mengamankan pertandingan.

Kita bisa melihat pada laga Persebaya Surabaya kontra Arema Malang yang digelar di Stadion Gelora 10 November, Tambaksari, Surabaya. Laga yang diamankan ribuan personel kepolisian tersebut memang sempat terjadi kericuhan. Sebagian suporter, yang tidak kebagian tiket, berusaha merangsek masuk ke stadion. Tapi, ada juga sebagian besar penonton lainnya bisa berlaku bijaksana dengan memilih menikmati pertandingan lewat dua layar di luar stadion.

Masalah kerusuhan suporter tentunya menjadi pekerjaan rumah yang belum kunjung diselesaikan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), sebagai otoritas tertinggi sepak bola Indonesia. PSSI harus segera memperbaiki kualitas pertandingan melalui pembenahan wasit dan panitia penyelenggara. Selain itu, PSSI harus memberikan mekanisme yang tegas pada manajemen suporter yang masih membandel. Kalau saja PSSI mau menyelesaikan persoalan ini, kerusuhan tentunya tidak lagi menjadi sesuatu yang wajar dan lumrah di persepakbolaan Indonesia.

Sebenarnya potensi yang dimiliki jangan sampai lepas ke tangan orang lain. Laksana hal tersebut, kita ingin pemenang-pemenang olimpiade dari Indonesia, entah menang apapun itu, ada penghargaan dari negara. Agar mereka nantinya mampu ikut mengurusi bangsa, bukan mengurusi diri sendiri atau jenjang studi dan karir pribadi. Tapi semata-mata demi “Indonesia Raya”… Harapan yang sama buat timnas, supaya lagu itu terdengar di ajang bergengsi apalagi kalau bukan Piala Dunia…

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…