Mengawal Revisi UU Pilkada Untuk Merawat Demokrasi

Oleh: Muhammad Arief Iskandar

Sistem politik di Indonesia telah menagamanatkan wakil-wakil rakyat (DPR) dalam membahas berbagai undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan berbangsa. Tak terkecuali juga mengatur perikehidupan politik, termasuk dalam merawat sistem demokrasi yang tumbuh pascareformasi.

Reformasi telah banyak mengubah tatanan dalam hidup bernegara. Bila pada era Orde Baru, eksekutif (Presiden) menjadi sangat menetukan (otoriter), kini tidak lagi. Peran DPR sebagai lembaga legilatif telah berkembang, bahkan makin kuat.

Ada tiga peran DPR dalam sistem bernegara saat ini, yakni: pertama, DPR berperan sebagai pengawas dari pemerintah; kedua, bersama dengan pemerintah membuat undang-undang (peran legislasi); ketiga, bersama pemerintah dalam menentukan anggaran (APBN).

Undang-undang di Indonesia merupakan peraturan perundangan tertinggi setelah UUD (UU Sebagai penjabaran UUD). Untuk itu, UU memiliki peran strategis dalam rangka merawat demokrasi yang tengah tumbuh.

Tanpa kehadiran UU yang mampu mengawal demokratisasi, dikhawatirkan justru akan menjadi perangkap pada masa depan.

Demokratisasi di Daerah Demokrasi di daerah tumbuh seiring dengan dimulainya pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Pilkada langsung di daerah baru bisa terjadi pada bulan Juni 2005 atau 7 tahun setelah reformasi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Hal itu merupakan fase baru dalam demokratisasi di daerah setelah pada masa sebelumnya kepala daerah dipilih oleh DPRD setempat.

Pilkada langsung diharapkan membangun demokrasi dengan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara yang memenuhi persyaratan untuk memilih dan dipilih. Harapannya, mereka yang terpilih nantinya mampu mengayomi masyarakat dan melaksanakan pemerintahan yang efektif. Sebuah cita-cita ideal yang perlu untuk terus dibuktikan.

Meski demikian, UU tersebut dinilai masih belum demokratis. Hal itu karena calon peserta pilkada hanya dapat diajukan oleh partai politik maupun gabungan partai politik.

Kondisi tersebut dinilai oleh sejumlah pihak mengebiri hak konstitusional warga untuk dipilih ikut dalam pilkada.

Anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah Lalu Ranggalawe pada tahun 2015 menggugat UU tersebut dan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi mengabulkan dengan keputusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 pada tanggal 23 Juli 2007 yang mengamanatkan perubahan terhadap UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Atas keputusan MK tersebut DPR menyetujui UU No. 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah disahkan.

"Pada waktu itu syarat untuk maju melalui partai politik berat meski tidak diakui ada uang mahar. Maka, MK membuka jalur independen. Pikiran MK waktu itu pintu demokratisasi harus dibuka, jadi sama sekali bukan untuk deparpolisasi," kata Mahfud Md., hakim Mahkamah Konstitusi pada saat itu.

Sejak itu, undang-undang mewadahi calon perseorangan (independen) yang maju pilkada tanpa melalui partai politik. Untuk maju dalam pilkada, seorang calon perseorangan harus mampu menunjukkan dukungan dari publik (masyarakat).

Wacana Arus Balik Perkembangan pemilihan kepala daerah langsung bukan tanpa kendala. Banyak hal yang telah terjadi mewarnai praktik tersebut. Terjadinya gejolak di sejumlah daerah karena hajatan pilkada langsung memang dirasakan. Meski demikian, kondisi tersebut berangsur-angsur membaik seiring dengan pemahaman masyarakat.

"Yang perlu diwaspadai adalah wacana arus balik, bukan untuk makin memperbaiki iklim demokrasi, melainkan mengembalikan demokrasi ke zaman masa silam, terutama karena ego dari partai politik," kata Direktur Eksekutif Ari Nurcahyo.

Wacana arus balik sangat kental dengan kepentingan politik. Pada tahun 2014, seiring dengan memanasnya kampanye pemilihan presiden, wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD setempat menguat.

Wacana tersebut didukung oleh partai-partai politik yang masuk dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang menguasai parlemen saat itu.

Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan hal itu. Putusan tersebut didukung oleh 226 anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Gerindra.

Dengan mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD, KMP diperkirakan para analis politik akan mendominasi kepala daerah. Hasilnya, demokrasi akan terhambat dan oligarki justru menguat di daerah.

Namun, desakan yang kuat dari masyarakat dalam menentang hal tersebut mendorong presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk membatalkan keputusan itu. Alhasil, pemilihan kepala daerah oleh DPRD pun urung dilaksanakan.

Akan tetapi, kini wacana arus balik kembali dirasakan hanya karena egopartai politik. Calon perseorangan yang menandai demokrasi yang lebih maju akan dihambat dengan menaikan syarat dukungan.

Partai politik dinilai ketakutan terhadap menguatnya kualitas calon perseorangan, sementara di internal partai, kader berkualitas sangat jarang.

"Bukan malah memperbaiki kualitas kader parpol, malah menghambat calon perseorangan untuk bersaing," kata peneliti senior Para Syndicate Toto Sugiarto.

Meningkatkan syarat dukungan calon perseorangan bukan isu yang berguna bagi penguatan demokrasi di daerah. Apalagi, saat ini daerah justru kekurangan calon peserta pemilihan kepala daerah. Bahkan, sejumlah daerah hanya memiliki satu pasangan calon (calon tunggal).

Untuk itulah, masyarakat sipil harus terus mengawal agar revisi UU Pilkada tidak memundurkan demokrasi. "Tanpa kita kawal, kita akan dihadapkan kembali arus balik demokrasi," katanya. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…