Suku Bunga Indonesia Dinilai Tak Kompetitif

 

 

NERACA

 

Jakarta – Suku bunga acuan (BI rate) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) sebesar 7,5 persen dinilai oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tidak kompetitif dengan negara lain. Akibatnya tinggi bunga tersebut, membuat dunia usaha tidak berkembang. Hal tersebut seperti diutarakan oleh Ketua KPPU terpilih Syarkawi Rauf di Jakarta, Selasa (28/7).

Akibat tingginya suku bunga itu, Syarkawi menilai membuat pertumbuhan ekonomi melesu. “Salah satu isu bagaimana menurunkan suku bunga bank yang terasa sangat berat bagi dunia usaha utamanya dibanding Singapura hanya empat persen, Malaysia enam persen, Thailand juga lebih rendah,” ungkap Syarkawi.

Menurutnya, jika hal ini terus dibiarkan, maka pada akhir 2015, Indonesia akan kesulitan untuk menghadapi pasar bebas dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), "Pelaku usaha sedikit keteteran menghadapi pelaku usaha lain. Cost of capital saja mereka terbebani," ujar dia.

Padahal, lanjut Syarkawi, cita-cita pemerintah dalam mewujudkan pertumbuhan perekonomian sebesar 7 persen, harus pula didukung oleh persaingan usaha yang sehat. Sehingga, pihaknya akan fokus ke sektor keuangan. "Melalui KPPU kita ingin berpartisipasi paling tidak membantu pemerintah dari sisi persaingan yang diamanatkan undang-undang mendorong efisiensi, meningkatkan produktivitas. Sehingga target pemerintah tahun 2015-2019 untuk mencapai target pertumbuhan tujuh persen tercapai," jelas dia.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi Agus Tony Poputra menilai kebijakan Bank Indonesia (BI) mempertahankan BI rate pada level yang tinggi, kontra produktif dengan upaya keluar dari resesi. Kondisi resesi membutuhkan stimulus bagi dunia usaha untuk mengakselerasi perekonomian agar tidak terjebak dalam lingkaran setan resesi.

Suku bunga kredit yang lebih murah, kata Agus merupakan salah satu stimulus yang menjadi kompensasi atas kenaikan biaya produksi yang terimbas oleh pelemahan Rupiah. Namun, manakala BI rate ditahan pada level yang tinggi, tidak ada insentif bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit dan meningkatkan pertumbuhan kredit. Bahkan, banyak bank saat ini menurunkan target pertumbuhan kredit untuk mengantisipasi peningkatan kredit macet dalam kondisi suku bunga tinggi.

"Kebijakan BI rate tinggi juga akan menimbulkan masalah bila Bank Sentral Amerika Serikat (the Fed) menaikkan suku bunga acuannya. Pada situasi ini, BI secara psikologis akan terdorong untuk menaikan BI rate untuk mencegah aliran dana keluar. Akibatnya, dunia usaha akan semakin tertekan dengan suku bunga yang lebih tinggi," ujarnya.

Alasan utama BI mempertahankan BI Rate, sambung Agus adalah menjaga inflasi dan Rupiah di tengah kecenderungan ekonomi global yang bias. Akan tetapi, penggunaan BI rate untuk mengendalikan inflasi tidak selalu tepat untuk semua situasi. Apabila inflasi berasal dari sisi kelebihan Permintaan (excess demand), maka kebijakan menaikan ataupun mempertahankan BI rate yang relatif tinggi cukup tepat. Walaupun terjadi penurunan output nasional dari kebijakan tersebut namun masih lebih tinggi dari posisi output awal.

"Di sisi lain, apabila inflasi berasal dari sisi penawaran karena tekanan biaya (cost push inflation), maka kebijakan BI tersebut menciptakan dampak yang tidak diinginkan. Meskipun dapat mengendalikan inflasi, BI rate yang tinggi akan menurunkan output nasional lebih rendah dari posisi keseimbangan awal," paparnya.

Fakta yang ada memperlihatkan inflasi Indonesia saat ini lebih dipicu dari sisi penawaran, sebab dalam keadaan resesi permintaan cenderung turun. Kenaikan harga BBM bersubsidi beberapa bulan lalu serta pelemahan Rupiah telah meningkatkan biaya produsen. "Oleh sebab itu, kebijakan BI mempertahankan BI rate yang tinggi kontra produktif dengan upaya mendorong Indonesia keluar dari kondisi resesi," tegasnya. Saat inflasi didominasi sisi penawaran, maka Pemerintah yang seharusnya lebih banyak berperan untuk menurunkan ekonomi berbiaya tinggi.

 

BERITA TERKAIT

TASPEN Optimalkan Srikandi TASPEN untuk Jadi Penggerak Finansial

TASPEN Optimalkan Srikandi TASPEN untuk Jadi Penggerak Finansial NERACA Jakarta - Dalam memperingati Hari Kartini 2024, PT Dana Tabungan dan…

Bank Muamalat Rilis Kartu Debit Nirsentuh untuk Jemaah Haji

Bank Muamalat Rilis Kartu Debit Nirsentuh untuk Jemaah Haji NERACA  Jakarta – PT Bank Muamalat Indonesia Tbk merilis fitur terbaru…

Token fanC Resmi Diperdagangkan di Indonesia

Token fanC Resmi Diperdagangkan di Indonesia NERACA Jakarta - Token fanC aset kripto baru akan resmi diperdagangkan di Indonesia. Token…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

TASPEN Optimalkan Srikandi TASPEN untuk Jadi Penggerak Finansial

TASPEN Optimalkan Srikandi TASPEN untuk Jadi Penggerak Finansial NERACA Jakarta - Dalam memperingati Hari Kartini 2024, PT Dana Tabungan dan…

Bank Muamalat Rilis Kartu Debit Nirsentuh untuk Jemaah Haji

Bank Muamalat Rilis Kartu Debit Nirsentuh untuk Jemaah Haji NERACA  Jakarta – PT Bank Muamalat Indonesia Tbk merilis fitur terbaru…

Token fanC Resmi Diperdagangkan di Indonesia

Token fanC Resmi Diperdagangkan di Indonesia NERACA Jakarta - Token fanC aset kripto baru akan resmi diperdagangkan di Indonesia. Token…