Menunggu Akhir Kontroversi Dana Aspirasi

Oleh: Sri Muryono

Hubungan pemerintah dan DPR RI kini kembali memasuki dinamika baru setelah sejak Januari 2015 menjalani masa-masa cukup mesra dan hangat.

Selama kurun waktu lima bulan itu sidang-sidang atau rapat DPR bersama pemerintah bisa dilakukan dan relatif sesuai jadwal untuk membahas berbagai persoalan. Semua tampak tidak lagi dihadapkan pada perteruan politik mengenai komposisi kepemimpinan DPR.

Kini publik sedang mencermati dinamika politik baru yang kembali menyedot perhatian dan seolah mengingatkan lagi peta politik saat awal pelantikan anggota DPR periode 2015-2019 pada 1 Oktober 2014. Saat itu DPR terbelah dalam dua kekuatan politik, yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan Koalisi Merah Putih (KMP).

Inti dari perdebatan adalah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau yang lebih dikenal dengan UU MD3. UU ini pun disetujui untuk disahkan oleh DPR di akhir masa jabatan periode 2009-2014.

Di tengah perjalanannya, UU ini menjadi muara perseteruan politik yang belum berkesudahan hingga kini. Sebut saja KIH mempersoalkan komposisi pimpinan parlemen. Bahkan penyelesaiannya dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK).

Lima pihak mengajukan permohonan gugatan UU MD3. Gugatan UU MD3 diajukan oleh lima pihak pemohon, yaitu Koalisi untuk Perjuangan Keterwakilan Perempuan atas nama pemohon Rieke Dyah Pitaloka dan Khofifah Indar Prawansa, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), PDIP atas nama pemohon Megawati Soekarnoputri, Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana (Institute for criminal justice Reform/ICJR) serta Febi Yonesta dan JJ Rizal.

MK kemudian mengambil keputusan pada 29 September 2014 dengan menolak permohonan penggugat. Namun sejak Oktober perseteruan tetap terjadi di parlemen hingga Desember 2014 yang mengakibatkan jadwal persidangan tersendat. Baru pada Januari 2015 perseteruan mereda setelah ada kerelaan dan keikhlasan dari KIH terkait komposisi pimpinan parlemen.

Kini perseteruan politik juga kembali muncul yang bersumber dari UU MD3, khususnya pasal mengenai Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau lebih dikenal dengan dana aspirasi.

Nilai dana aspirasi menggemparkan publik, yaitu Rp20 miliar per anggota per tahun sehingga jumlah totalnya sekitar Rp11,2 triliun. Dengan dana aspirasi itu, publik sedang menyoroti bahwa anggota DPR akan menggenggam dana begitu besar untuk daerah pemilihannya.

Berbagai kecaman, kritikan, dan tuduhan diarahkan ke DPR RI. Apalagi dalam sidang paripurna DPR, pekan lalu, mekanisme penggunaan dana itu telah disetujui oleh mayoritas fraksi. Persetujuan atas mekanisme penggunaan dana aspirasi itu semakin memicu sorotan tajam kepada DPR.

Berbagai kritikan dan kecaman terus berlangsung secara terbuka, dari tuduhan intervensi fungsi pengawasan menjadi pelaksana yang semestinya menjadi tugas pemerintah hingga akal-akalan untuk memperoleh proyek pembangunan. Analisis dan prediksi bermacam-macam dan sinisme serta dugaan korupsi terus muncul di berbagai ranah media.

Melihat perdebatan yang muncul, tampaknya inti persoalannya adalah pada angka Rp20 miliar per anggota per tahun atau Rp11,2 triliun untuk 560 anggota DPR per tahun. Kalau saja tak ada angka itu mungkin saja perdebatan dan sorotan publik bisa lain lagi.

Hal ini karena menyangkut uang, apalagi dalam jumlah fantastis. Angka-angka nominal uang rakyat itu mudah memicu perhatian publik. Selama ini ingatan publik masih lekat pada kasus-kasus penyalahgunaan kewenangan yang diduga melibatkan oknum anggota parlemen sehingga bergulirnya dana aspirasi akan sangat mudah menggugah kecaman dan sinisme publik.

Konstitusi DPR sedang dituduh melakukan keputusan yang tidak sesuai konstitusi. Namun Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menolak tuduhan tersebut.

Fahri justru mengatakan, dana aspirasi DPR adalah wujud dari pelaksanaan tugas konstitusi DPR yang sudah diatur dalam UU maupun sumpah jabatan anggota DPR. Penolakan terhadap dana aspirasi berarti menolak konstitusi dan melanggar sumpah jabatan DPR.

"Tekad DPR hanya melaksanakan UU. UU telah mengatur untuk mendengar aspirasi masyarakat. Itu juga merupakan pelaksanan dari sumpah DPR," katanya.

Dalam UU MD3 dan sumpah jabatan ditegaskan kewajiban anggota DPR adalah membela konstituen. "Jika tidak melaksanakan itu jelas pelanggaran konstitusi dan melanggar sumpah sebagai anggota DPR," ujar Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (16/6).

Selama ini, menurut Fahri, memang tidak ada mekanisme bagi anggota DPR untuk menjalankan aspirasi konstituennya. Program UP2DP akan memberi ruang bagi anggota DPR untuk membela konstituennya dan konstituen bisa mendapatkan hak-hak yang dibutuhkan masyarakat di dapil masing-masing.

"Kalau kita bandingkan DPR di era Orde Baru yang memang diatur untuk tidak berhubungan dengan konstituen dan hanya pulang lima tahun sekali ke dapilnya menjelang pemilu, DPR di era reformasi ini diatur agar kembali ke dapilnya sesering mungkin demi menyerap aspirasi masyarakat. Ketika pulang ini masyarakat pun bisa menagih janji-janji anggota DPR demi memperjuangkan kepentingan masyarakatnya," katanya.

Pembiayaan Pembangunan

Kalau DPR tidak bisa membela kepentingan masyarakat di dapilnya, menurut Fahri, apa gunanya ada daerah pemilihan dan janji yang dilontarkan.

"Ini 'kan agar aspirasi masyarakat ada salurannya yang diatur dalam UU. Ini sama saja dengan usulan anggaran lainnya dari kementerian maupun lembaga negara lainnya. Mereka juga ajukan usul kepada DPR, lantas kenapa masyarakat tidak boleh mengajukan usul?" katanya.

Cara ini, menurut dia, justru akan lebih efisien dan sesuai kebutuhan masyarakat. Lagi pula sekarang memang tren dalam sistem penganggaran dan pembiayaan pembangunan di negara-negara demokrasi di seluruh dunia sudah seperti itu.

"Negara demokrasi saat ini menganut sistem pembiayaan dan penganggaran, 'earmark budgeting' atau 'penandaan kuping' di mana anggota parlemen setelah pulang ke dapil menandai program-program yang dibutuhkan dapilnya," kata Wasekjen PKS ini.

Mengenai kekhawatiran bahwa dana aspirasi ini rawan dikorupsi, Fahri pun mengingatkan kembali kasus-kasus korupsi yang terjadi terkait anggaran. Ada anggaran dikeluarkan yang tidak sesuai kebutuhan masyarakat tapi masih terjadi korupsi. Bahkan banyak pembangunan sekolah, rumah sakit, dan laboratorium yang tidak pernah diminta masyarakat tapi masih dikorupsi juga.

"Ingat 'kan kasus mafia anggaran? Banyak rumah sakit, sekolah, pasar, bandara dan lainnya tidak pernah diminta masyarakat tapi dibangun. Terbukti dikorupsi juga. Ini karena semua diatur dari pusat," katanya.

Menurut Fahri, kalau dana aspirasi ini merupakan permintaan langsung masyarakat dan pelaksanaannya justru mudah diawasi masyarakat. Jumlah batas atas Rp20 miliar ini mudah mengawasinya karena masyarakat tahu bahwa setiap anggota DPR memiliki alokasi anggaran di APBN untuk dilaksanakan.

Dana aspirasi ini, kata dia, bukan dana yang dipegang anggota DPR. Ini semua adalah uang rakyat yang ada di bendahara negara dan rakyat diberikan mekanisme untuk mengambil dan menggunakan uangnya sendiri sesuai kebutuhan melalui program ini.

"Kalau dikhawatirkan korupsi, justru ini adalah anggaran yang nomenklaturnya jelas dan gampaung diaudit. Lagi pula ada aparat penegak hukum sampai ke pelosok," katanya.

Nantinya dengan bergulirnya program ini maka akan ketahuan siapa anggota DPR yang aspiratif memperjuangkan rakyatnya atau tidak karena program ini jelas ini adalah cara menangkap aspirasi rakyat yang "jitu", terbuka, dan transparan. "Jangan lupa, anggota DPR justru kemudian jadi aktif mengunjungi dapilnya. Rakyat pun mudah menagih janji anggota DPR," katanya.

Tolak Alasan seperti itu ditolak Fraksi NasDem, Hanura, dan PDI Perjuangan. Bagi fraksi-fraksi itu, Pasal 80 huruf J pada UU MD3 memang menyebutkan bahwa anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan di daerah pemilihan. Namun, pasal tersebut tidak mengatur besarnya dana aspirasi.

Penolakan itu tidak hanya sebatas pernyataan di publik. Wakil Sekretaris Fraksi NasDem Supiyadin mengatakan, fraksi yang dipimpin oleh Viktor Laiskodat ini mengusulkan untuk merevisi UU MD3 dan Peraturan DPR tentang Tata Tertib.

Bagi Fraksi NasDem, dana aspirasi yang diajukan oleh DPR didasarkan pada kesalahan penafsiran UU MD3 itu, yaitu pasal 78 dan pasal 80 huruf (J). Pasal 78 tersebut berbunyi bahwa para anggota dewan akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara Pasal 80 huruf (J) UU MD3 berbunyi "Anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan".

Langkah NasDem didukung Fraksi Hanura DPR RI. Ketua Fraksi Hanura Nurdin Tampubolon menegaskan, dana aspirasi tidak tepat untuk direalisasikan sebab tugas dan kewenangan anggota DPR sudah jelas diatur dalam konstitusi negara, yaitu sebagai fungsi legislasi, pengawasan, dan "budgeting" dengan eksekutif sebagai eksekutor.

Menurut dia, dana aspirasi sangat memungkinkan untuk tidak tepat sasaran, meskipun hal ini ada dalam UU MD3. "Persoalan UU MD3 kami akan usulkan itu diamendemen bersama partai-partai lain," katanya.

Hanura menganggap dana aspirasi belum menjadi prioritas saat ini karena sudah ada dana reses untuk tiap anggota.

Kalaupun nantinya pemerintah akan menyetujui dana aspirasi ini, Hanura akan tetap menolak adanya dana aspirasi dengan pagu Rp20 miliar tiap anggota.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) secara terbuka juga menolak dana aspirasi. Politikus PDIP Hendrawan Supratikno menganggap program itu hanya upaya merealisasikan janji-janji kepada konstituen pada masa kampanye dulu. "Program ini harusnya menggunakan azas kehati-hatian dan tidak terburu-buru. Tapi kenyataannya semua ingin cepat," kata anggota Fraksi PDIP itu.

Politikus senior PDIP Pramono Anung juga meyakini Presiden Joko Widodo akan memiliki komitmen sama dengan mereka soal penolakan dana aspirasi. "Secara tebuka PDIP tidak setuju dan dalam pertemuan dengan presiden, kami sampaikan. Kami yakin tidak perlu ada lobi lagi. Kami yakin, Pak Jokowi memiliki penilaian yang sama," kata dia.

Kini konfrontasi dan kontroversi terhadap dana aspirasi masih hangat bergulir. Perbedaan wacana, penilaian, dan pernyataan antara pihak yang menolak dan yang setuju bertebaran di media seperti berbalas pantun.

Sejauh ini, baru dua fraksi yang memiliki sikap penolakan disertai manuver yang lebih progresif, yaitu NasDem dan Hanura. Keduanya akan memperjuangkan revisi dan amandemen terhadap pasal yang mengatur dana aspirasi di dalam UU MD3. Tampaknya keduanya sadar bahwa bergulirnya kontroversi dan konfrontasi ini bermula dari konten dalam UU itu sehingga untuk menolaknya atau membatalkannya tak cukup hanya wacana dan pernyataan.

Hal ini sesuai hirarki dalam peraturan perundang-undangan bahwa penolakan terhadap isi sebuah undang-undang hanya bisa diwujudkan jika pasal mengenai dana aspirasi itu diubah atau direvisi, bila perlu dihilangkan sama sekali. Cara lain yang memungkinkan ditempuh --jika kondisi mendesak dan sangat penting-- adalah melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Persoalannya apakah cukup argumentasi dan alasan kuat yang mendasarinya? Publik juga mencatat bahwa kontroversi dalam sebuah UU bisa dibawa ke MK. Dalam sejarahnya, MK bukan hanya pernah mencabut atau membatalkan sebuah pasal, namun juga pernah mencabut atau membatalkan seluruh isi UU.

Sejauh ini publik sedang menunggu jalan mana yang akan ditempuh; keputusan mengenai dana aspirasi tetap dilaksanakan dengan sejumlah kompromi politik, UU MD3 direvisi oleh DPR, diterbitkan Perppu atau membawanya ke MK. Waktu akan mencatatnya sebagai sejarah dalam penyelesaian perseteruan terhadap masalah ini. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…