Bisakah Pilkada Tanpa Politik Uang?

Oleh: Illa Kartila

Pemilihan kepala daerah serentak yang meliputi banyak provinsi, kabupaten, dan kota akan segera dilaksanakan mulai Desember 2015. Publik lantas bertanya-tanya apakah pelaksanaan pilkada serentak akan bebas dari politik uang? Hal itu mengingat satu pemilihan kepala daerah (pilkada) saja uang berhamburan ke mana-mana.

Data dari Kementerian Dalam Negeri menyebutkan terdapat 541 daerah otonom di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Jumlah kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2015 saja tercatat 204 daerah, kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2016 sebanyak 100 daerah.

Kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2015, misalnya, sebanyak 204 daerah yang segera menyelenggarakan pilkada serentak, terdiri atas delapan provinsi, 170 kabupaten, dan 26 kota. Kedelapan provinsi itu, yakni Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara.

Politik uang (money politics) adalah suatu upaya memengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan serta tindakan membagi-bagikan uang, baik milik pribadi atau partai untuk memengaruhi suara pemilih (voters).

Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian uang atau barang kepada seseorang karena memiliki maksud politik yang tersembunyi di balik pemberian itu. Jika maksud tersebut tidak ada, pemberian tidak akan dilakukan. Praktik semacam itu jelas bersifat ilegal dan merupakan kejahatan.

Konsekuensinya apabila ditemukan bukti-bukti terjadinya praktik politik uang, para pelaku akan terjerat undang-undang antisuap.

Namun, mantan Ketua Mahkamah Konsitusi (MK) Mahfud Md. menyebutkan hampir semua pilkada diwarnai praktik politik uang. Hal tersebut terungkap pada sengketa pilkada yang ditangani komisioner.

Akan tetapi, sekalipun pada semua pilkada yang disengketakan selalu ada politik uang, hal itu belum tentu membuat gugatan pilkada dikabulkan. Pasalnya, politik uang tidak dapat dibuktikan terkait dengan perolehan suara. "Politik uang juga tidak dapat dijadikan alasan pembatalan pilkada jika terjadi secara sporadis, kecuali bila pelanggarannya sudah kronis, sistematis, masif, dan terstuktur," kata Mahfud.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan pemilihan anggota legislatif, 9 April 2014, terdapat 313 pelanggaran di 15 daerah. Jumlah itu terdiri atas beberapa jenis pelanggaran, di antaranya pemberian uang kepada pemilih sebanyak 104 temuan, pemberian barang 128 temuan, pemberian jasa 27 temuan, dan penggunaan sumber daya negara 54 temuan.

Jumlah pelanggaran di setiap daerah berbeda-beda. Dari 15 daerah, yang tertinggi adalah Provinsi Banten 36 kasus; Riau, Bengkulu, dan Sumatera Utara 29 temuan; Aceh 23 temuan; Jawa Barat 17 temuan; Jawa Tengah 16 temuan; Sulawesi Selatan 15 temuan; Kalimantan Barat 13 temuan; Jawa Timur, Jakarta, dan Sulawesi Tenggara 9 temuan; NTB 8 temuan; NTT 5 temuan.

Indonesia Corruption Watch juga merilis praktik politik uang dari pemilu ke pemilu mengalami peningkatan pascareformasi. Pada pemilu tahun 1999, misalnya terjadi 62 kasus, kemudian pada Pemilu 2004 terjadi 113 kasus, pada Pemilu 2009 meningkat menjadi 150 kasus, dam pada Pemilu 2014 terjadi 313 kasus.

Terkait dengan politik uang dalam pilkada, Pengurus Daerah Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kota Pekalongan menyeru semua pihak untuk tidak melakukan praktik tidak terpuji itu. Menurut Ketua Umum PD DMI Kota Pekalongan Ahmad Slamet Irfan, pilkada tanpa menggunakan politik uang akan menghasilkan kepala daerah yang memiliki integritas.

"Parpol yang bisa mengusung calon kepala daerah, janganlah membebani calon untuk membayar dengan dalih mahar politik dengan dalih memuluskan surat rekomendasi dari pengurus parpol pusat," katanya.

Ia berpendapat bahwa dampak negatif lain dari praktik politik uang adalah calon kepala daerah yang terpilih akan menghalalkan segala cara agar bisa mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan.

"Hal inilah akan berbahaya bagi pembangunan daerah," katanya.

Tidak Mudah Membersihkan politik uang dalam pilkada serentak tahun ini bukan hal mudah. Pengamat politik dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Lutfi Wahyudi dan Budiman, sama-sama meragukan kerja sama KPK, PPATK, Bawaslu, dan KPU.

Menurut Budiman, rata-rata transfer politik uang berbentuk tunai. Mahar politik juga jarang melalui bantuan lembaga keuangan karena pasti terendus PPATK atau KPK. "Tidak efektif dan susah dibuktikan meski sudah menjadi rahasia umum," katanya.

Mestinya, kata dia, jika ada oknum politikus yang bermasalah, kejaksaan atau polisi bisa memberikan ketegasan pada partai bahwa kandidat tersebut bermasalah. "Persoalannya, adakah pihak yang punya kewenangan untuk melakukan hal tersebut?" katanya.

Senada dengan rekannya, Lutfi Wahyudi mengutarakan bahwa jika calon kepala daerah memang tersandung kasus dengan kejaksaan atau polisi, lebih baik ditahan atau ada diberi peringatan tegas oleh penegak hukum. "Selama ini penindakan terhadap calon kepala daerah yang bermasalah, terutama yang berkaitan dengan politik uang, kurang gregetnya," katanya.

Ia lantas mengatakan, "Saya tidak begitu yakin KPK atau PPATK bisa mendeteksi semuanya. Apalagi, pelaksanaan pilkada dilakukan serentak. Memang diperlukan kerja keras jika KPK, PPATK, dan Bawaslu ingin berhasil mengungkap praktik-praktik politik uang tersebut." Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggaraeni mengatakan bahwa karena UU Pilkada tidak mengatur pemberian sanksi pidana terhadap pelaku politik uang, KPU harus mengikutsertakan KPK untuk mengawasi praktik-praktik politik uang dalam pilkada serentak 2015.

"Harus melibatkan semua aparat penegak hukum yang ada dan sangat penting untuk juga melibatkan KPK sehingga praktik politik uang ini dapat diantisipasi," kata Titi.

Ia menambahkan bahwa pembahasan UU Pilkada oleh DPR dan pemerintah tidak dilakukan secara sempurna dan terkesan dipaksakan tanpa melihat kekurangan serta kelemahannya.

Titi menilai politik uang merupakan kejahatan konstitusional yang luar biasa karena dapat mencederai kemurnian suara rakyat dalam pemilu. Pengaturan politik uang dalam UU Pilkada bisa disikapi dengan dua hal. Pertama, pembuat UU harus merevisi pengaturan yang ada dalam UU untuk memperbaiki dan memperkuat penegakan hukum atas praktik politik uang.

Kedua, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus segera melakukan koordinasi dengan pihak penegak hukum yang lain guna mengisi kekosongan hukum tersebut agar setidaknya kejahatan politik uang dalam pilkada dapat dijerat dengan ketentuan pidana umum.

Sementara itu, Direktur Kelompok Kerja (Pokja) 30 Carolus Tuah menyesalkan tidak adanya aturan kepemiluan yang menjangkau perilaku politik berujung politik uang. Semua instrumen, terutama pemberian izin pengelolaan SDA, konsesi proyek, dan penyalahgunaan dana APBD dengan modus hibah dan bantuan sosial (bansos), baru terdeteksi setelah pilkada usai.

Modus demikian, kata dia, ketahuan setelah momen menagih janji politik tiba. Menjadi preseden mengingat banyak kasus korupsi ditangani KPK selepas pilkada. "Pengawasan berjalan tidak efektif. Sistem sekarang menghendaki itu. Politik uang sulit dihilangkan," kata Tuah.

Dalam pilkada serentak akhir tahun ini, sembilan kabupaten/kota di Kaltim turut serta. Wakil Ketua PPATK Agus Santoso menyebutkan ada langkah-langkah yang bakal diperbuat lembaganya untuk mengawal pilkada serentak. Pertama, menelusuri rekam jejak para kontestan bekerja sama dengan Bawaslu dan KPU. Kedua, mencegah transaksi mencurigakan seperti yang selama ini sudah diriset.

Dari riset itu, terdapat tindak pidana pencucian uang (TPPU). Pihaknya mengendus beberapa modus politik uang dalam pilkada. Pertama, indikasi politik uang sejak dua tahun sebelum pilkada. Berikutnya, PPATK mengendus patgulipat antara pengusaha hitam dengan bakal calon. Modusnya, para pengusaha diberikan izin pengelolaan sumber daya alam.

Dari situ, ada "kickback" yang diperoleh para calon. Selain itu, untuk calon berstatus petahana, PPATK menemukan potensi penyalahgunaan APBD dengan modus hibah, bantuan sosial, dan dana pendidikan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengaku berupaya mewujudkan pilkada bersih. Mereka meluncurkan program Pilkada Berintegritas. Pimpinan KPK Johan Budi mengungkapkan bahwa pihaknya memantau para kontestan yang berstatus penyelenggara, sesuai dengan domain KPK.

"Salah satu yang kami lakukan meminta para calon melaporkan LHKPN (laporan harta kekayaan penyelenggara negara)," kata Johan.

Selain itu, lanjut dia, KPK mengawal penandatanganan pakta integritas, baik penyelenggara pilkada maupun para kontestan.

Sayangnya, penyampaian LHKPN kepada KPK sebatas imbauan moral. Tidak ada sanksi kepada pejabat yang abai. Padahal, LHKPN bisa dijadikan upaya pencegahan jika diterapkan dengan serius.

Namun, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy yakin potensi politik uang dalam pilkada serentak dapat ditekan seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Wali Kota dan Bupati (UU Pilkada). Undang-Undang tersebut mengatur sanksi bagi pelaku kecurangan dalam pilkada.

Ia memastikan setiap calon kepala daerah akan dibatalkan kemenangannya jika terbukti melakukan kecurangan, termasuk praktik politik uang. Bahkan, partainya didiskualifikasi.

Seperti ditegaskan Wakil Sekjen DPP PKB itu, pilkada serentak yang dijadwalkan pada tanggal 9 Desember 2015 akan diawasi lebih ketat. "Potensi politik uang tetap ada. Akan tetapi, bukan berarti kita harus mundur. Undang-Undang Pilkada menjadi rambu, menjadi ranjau. Saya kira ini lebih baik," katanya. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…