Mengkritisi Dana Aspirasi

Oleh: Masduki Attamami

Dana aspirasi perlu dikaji sebelum dibagi. Masalahnya, apabila dibagikan menurut daerah pemilihan, dinilai justru akan menimbulkan kesenjangan antardaerah.

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman mengusulkan agar dana aspirasi sebesar Rp11,2 triliun itu tidak serta-merta dibagikan untuk masing-masing daerah pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

"Dana aspirasi harus dikaji lebih mendalam lagi sebab ketika dibagikan menurut daerah pemilihan (dapil) justru akan menimbulkan kesenjangan antaradaerah," kata Irman usai acara peletakan batu pertama pembangunan gedung Kantor DPD RI di Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (11/6).

Menurut dia, pola pembagian dana aspirasi yang sebelumnya direncakan masing-masing anggota DPR RI mendapatkan Rp20 miliar dari Rp11,2 triliun untuk dapilnya, tidak adil dan justru menimbulkan kesenjangan.

Dengan pola demikian, kata dia, dana yang akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu hanya banyak dinikmati daerah yang memiliki perwakilan lebih banyak di DPR RI.

Padahal, lanjut dia, sebanyak 60 persen dari seluruh anggota DPR RI di Senayan berasal dari dapil empat provinsi di Pulau Jawa. Sementara itu, pembangunan di Indonesia hingga saat ini hampir 58 persen telah dilakukan di Jawa, sedangkan daerah lain, seperti Kalimantan baru 8 persen dan Sulawesi 4 persen.

"Jika Rp7 triliun dari Rp11,2 triliun pada akhirnya diperuntukkan bagi dapil-dapil yang ada di Pulau Jawa, lalu kapan kita bangun Papua, Maluku, Kalimantan, dan daerah-daerah perbatasan di Indonesia Timur?" kata dia.

Irman berpendapat bahwa dana aspirasi tersebut justru akan memenuhi rasa keadilan seluruh masyarakat apabila dapat disalurkan secara merata. Misalnya, dibagi per provinsi atau per kabupaten. "Jadi, misalnya per provinsi, sebesar Rp11,2 triliun itu dibagi 34 (provinsi) sehingga setiap provinsi akan menerima sekitar Rp400 miliar. Itu lebih adil," katanya.

Sebelumnya, Ketua Badan Anggaran DPR RI Ahmadi Noor Supit mengungkapkan bahwa DPR berencana mengalokasikan dana sebesar Rp11,2 triliun untuk seluruh anggota DPR sebagai dana aspirasi di RAPBN 2016.

Masing-masing anggota DPR akan menerima dana aspirasi sebesar Rp20 miliar yang disalurkan ke pemerintah daerah untuk digunakan sesuai agenda pembangunan masing-masing daerah.

Dana itu digunakan untuk menyerap aspirasi dari masing-masing daerah pemilihan para wakil rakyat.

Namun, Ketua DPD Irman Gusman menegaskan bahwa pihaknya tidak akan mengusulkan dana aspirasi untuk memprioritaskan pembangunan di daerah pemilihannnya. "Anggota DPD RI tidak akan mengusulkan untuk mendapat dana aspirasi," katanya di Gedung MPR/DPR/DPD Jakarta, Jumat (12/6).

Menurut dia, Indonesia menganut parlemen modern dengan sistem dua kamar, yakni DPR dan DPD. Tugas utamanya adalah legislasi, pengawasan, dan persetujuan terhadap anggaran.

Sebagai lembaga legislatif, menurut Irman, tugas utama DPD di bidang anggaran adalah menyetujui anggaran untuk eksekutif, kemudian melakukan pengawasan pada program kerja yang dilakukan eksekutif. "Tugas seperti ini adalah juga tugas DPR," katanya.

Sebagai lembaga legislatif yang melakukan pengawasan terhadap eksekutif, kata Irman, DPD bukan tempatnya untuk mengusulkan dana aspirasi bagi anggotanya.

Apabila DPD sampai mengusulkan dana aspirasi bagi anggotanya, kata Irman, hal itu tidak sesuai dengan tugas utamanya.

Menurut dia, sikap DPD dalam hal ini adalah melakukan pengawasan terhadap pemerintah daerah di seluruh Indonesia agar melaksanakan pembangun dengan benar.

Tak Beralasan Kuat Sementara itu, anggota Fraksi PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko menilai wacana dana aspirasi senilai Rp20 miliar bagi tiap legislator tidak memiliki alasan kuat karena tidak terkait dengan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran.

"Anggaran Rp20 miliar sebagai dana aspirasi yang dialokasikan melalui anggota DPR dan ditujukan untuk pembangunan daerah pemilihan sesungguhnya tidak memiliki alasan yang kuat," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (11/6).

Ia menjelaskan bahwa fungsi DPR, seperti legislasi, pengawasan, dan anggaran, tidak perlu menjangkau sejauh itu, yaitu legislator menjadi semacam saluran anggaran di daerah pemilihan.

Di sisi lain, menurut dia, penggunaan anggaran yang selama ini seperti tunjangan reses dan sebagainya, belum dapat dimaksimalkan untuk menyerap aspirasi masyarakat di daerah pemilihan.

"Kedua, jika kelak kemudian dana aspirasi itu direalisasikan, kerja-kerja angggota DPR kemudian akan diukur dari bagaimana dana aspirasi itu disalurkan," ujarnya.

Apabila dana tersebut terealisasi, lanjut dia, seorang anggota DPR hanya akan fokus bagaimana dana aspirasi ini tersalurkan.

Menurut dia, tentu akan ada faktor-faktor subjektif di dalamnya, yaitu menyangkut basis pemilihan dan sebagainya. "Sementara itu, sejatinya ketika sudah menjadi anggota DPR, yang bersangkutan sudah terlepas dari sekat-sekat subjektif tersebut dan bekerja untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas," katanya.

Alasan ketiga Budiman menolak dana aspirasi itu, karena dirinya masih percaya bahwa masih banyak anggota DPR yang memiliki kesungguhan untuk bekerja tanpa harus dibekali dengan alokasi anggaran sebesar Rp20 miliar.

Keempat, menurut dia, dengan alokasi Rp20 miliar, anggota DPR terkesan mengambil kerja-kerja eksekutif.

Menurut dia, jika kemudian alasannya untuk kepentingan daerah pemilihan, di sana sudah terdapat pemerintah daerah yang bekerja untuk pembentukan daerah masing-masing. "Belum lagi karena daerah pemilihan yang beragam ada yang dua kabupaten/kota, bahkan ada yang sampai belasan kabupaten/kota dengan beragam persoalan dan kesulitan sendiri-sendiri," ujarnya.

Dengan empat alasan tersebut, dia menegaskan bahwa dana Rp20 miliar tersebut sudah melecehkan nurani dan akal sehat, baik untuk anggota DPR maupun untuk rakyat.

Menurut dia, kerja legislator adalah bagaimana menghasilkan undang-undang yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat secara luas demi kelangsungan bangsa dan negara.

Pendapat yang kurang setuju dengan dana aspirasi juga datang dari Indonesia Budget Center (IBC). Indonesia Budget Center menilai dana aspirasi DPR RI sarat dengan kepentingan politis legislator sehingga berpotensi melemahkan fungsi pengawasan DPR RI.

"Dana aspirasi ini juga berpotensi mengabaikan prinsip 'performance budgeting' (anggaran yang berorientasi pada kinerja) dalam pengelolaannya," kata peneliti IBC Roy Salam melalui pesan singkatnya kepada Antara di Semarang, Rabu (10/6).

Selain sarat dengan kepentingan politis anggota DPR RI, kata dia, dana aspirasi itu belum ada pengaturan yang mendetail mengenai skema operasional pelaksanaan dan pertanggungjawabannya.

Ia mengutarakan bahwa dana tersebut berpotensi memunculkan benturan kewenangan dalam pelaksanaan pengelolaan APBN antara pemerintah dan DPR RI. "Dana aspirasi ini juga berpotensi menjadi sarana bancakan anggaran oleh anggota DPR," katanya yang dibenarkan Direktur Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri.

Atas persoalan tersebut, IBC dan PSHK menyarankan agar DPR sebelum mengajukan dana aspirasi, terlebih dahulu memperjelas pengaturan mengenai transparansi dan akuntabilitas dana tersebut.

Roy dan Ronald memandang perlu badan legislatif itu memperjelas ruang lingkup atau batasan dari segi jumlah dan anggaran, serta tolok ukur kinerjanya.

Harus Dibatalkan Oleh karena itu, Roy Salam menilai usulan peningkatan dana pembangunan daerah pemilihan atau dana aspirasi harus dibatalkan. "Usulan ini harus dipertimbangkan, bahkan lebih baik dibatalkan karena ini tidak jelas arahnya ke mana," kata Roy di Kantor Formappi, Matraman, Jakarta, Kamis (11/6).

Roy mengatakan bahwa dana aspirasi yang hendak diterima anggota DPR RI sebesar Rp20 miliar setiap tahun ini yang belum jelas adalah mekanisme dan tata tertibnya sehingga rawan tumpang-tindih dengan kebijakan eksekutif.

"Jika demikian, akan ada pemborosan kalau program yang akan dikerjakan sama. Pasalnya, ini dianggarkan lebih awal, baru dibuat programnya. Ini kan aneh," katanya.

Ia juga mengatakan bahwa hal itu menyebabkan ketimpangan pembangunan di seluruh Indonesia tetap ada karena ada asumsi dana Rp20 miliar itu dikelola oleh setiap anggota DPR.

"Bagaimana mau merata pembangunan jika satu anggota dewan diberi segitu nilainya, sedangkan perbandingannya sekarang biasanya dapil yang miskin tidak memiliki wakil yang banyak di DPR," katanya.

Sementara itu, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai usulan DPR yang meminta peningkatan dana aspirasi pada awal pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 tidak memprioritaskan kebutuhan pembangunan secara menyeluruh.

"Bagaimana bisa berharap DPR akan kritis membahas anggaran negara secara menyeluruh jika dalam pikiran mereka kepentingan pribadi melalui dana aspirasi daerah pemilihan (dapil) justru yang lebih diprioritaskan," ujar Lucius.

Ia menambahkan bahwa tidak semua anggota DPR paham terkait dengan tujuan dana aspirasi sehingga konsistensi pemaknaan dana aspirasi juga dipertanyakan. Alasan bahwa DPR hanya berperan mengusulkan anggaran pembangunan untuk dapil dan pemerintah daerah yang melaksanakannya menjadi tidak logis jika permintaan besaran anggaran lebih dulu ditetapkan.

"Jika DPR hanya berfungsi sebagai pengusul, bagaimana mungkin RAPBN sudah mulai membicarakan besaran alokasi dana aspirasi per anggota yang totalnya mencapai Rp11 triliun," kata Lucius.

Bukan Pemborosan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menilai permintaan kenaikan dana aspirasi DPR RI bukan sebuah pemborosan karena semua akan kembali kepada masyarakat dalam bentuk program.

"Tidak, karena aspirasi itu dimasukkan ke proyek yang ada. Katakanlah aspirasinya bikin jalan, ya, tunjuklah di mana bikin jalan yang baik itu," kata Wapres usai membuka Rapat Koordinasi Nasional Kepegawaian di Jakarta, Rabu (10/6).

Wapres menjelaskan bahwa pemerintah dan DPR menentukan anggaran yang sudah ada kriterianya untuk pembangunan.

"Sebenarnya begitu anggaran itu diputuskan dalam bentuk undang-undang, itu sudah aspirasi DPR. Jangan lupa kalau bicara aspirasi, semua APBN itu aspirasi dari DPR, juga karena DPR yang membahas dan menyetujui," katanya.

Namun, Wapres belum mengetahui apa esensi dan tujuan dari kenaikan dana aspirasi tersebut.

Jusuf Kalla juga mengatakan bahwa pihaknya menghormati keinginan DPR yang mengusulkan dana aspirasi untuk program pembangunan daerah pemilihan.

Ia menilai pembangunan Indonesia seharusnya sudah masuk di dalam APBN yang telah dibahas dan disetujui DPR serta pemerintah yang merupakan keputusan bersama.

"Kalau ada nanti tersendiri-sendiri, nanti pula seluruh negeri ini bisa aspirasi. Misalnya, DPR tingkat II minta wali kota aspirasi, kemudian DPR tingkat I minta gubernur aspirasi. Tidak terbayangkan nanti bagaimana keadaannya," kata Kalla di Kantor Wapres, Jakarta.

Wapres mengatakan bahwa pembangunan negeri ini sudah sepatutnya diserahkan kepada pemerintah melalui dana APBN.

Ia menjelaskan APBN yang telah disusun bersama pemerintah dan DPR juga meliputi agenda pembangunan yang dibutuhkan masyarakat seluruh Indonesia.

Terkait dengan usulan dana aspirasi untuk daerah pemilihan, Wapres mengatakan bahwa nantinya tidak sesuai dengan tata pembangunan Indonesia.

"Pasti pembangunan dibutuhkan, cuma harus disetujui bersama. Jangan bersifat pribadi, tidak begitu. Nanti Wapres minta juga dana aspirasi Rp1 triliun, nanti Presiden minta Rp2 triliun di Solo. Nanti salah juga itu kan," tandas Kalla.

Sebelumnya, Ketua DPR RI Setya Novanto mengatakan bahwa dana aspirasi adalah mandat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Pasal 80 Huruf j yang menyatakan bahwa hak dan kewajiban anggota dewan adalah mengusulkan serta memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan (dapil). Anggaran akan dimasukkan dalam APBN, kemudian disalurkan melalui APBD.

Menurut Setya, contoh program dapil yang dapat diajukan, seperti penyediaan air bersih, pembangunan/perbaikan/peningkatan sanitasi, pembangunan/perbaikan/peningkatan tempat ibadah, serta sarana dan prasarana keagamaan, pembangunan/perbaikan kantor desa atau kelurahan, serta pengadaan benih dan bibit. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…