Oleh : Firdaus Baderi
Wartawan Harian Ekonomi NERACA
Gara-gara situs arabnews.com menyiarkan berita penganugerahan gelar doktor kehormatan (honoris causa-HC) kepada Raja Arab Saudi, kini muncul kegundahan di kalangan profesor dan guru besar serta majelis wali amanat (MWA) Universitas Indonesia (UI) belakangan ini. Mengapa?
Gelar doktor HC umumnya diberikan kepada seseorang yang memiliki kontribusi luar biasa di bidang ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Pihak Rektor UI tentu memiliki pertimbangan yang matang sebelum memberikan gelar tersebut.
Pihak yang diberi gelar, Raja Abdullah, juga memiliki reputasi a.l. memiliki kontribusi terhadap perkembangan dialog antaragama. Dia mempunyai pandangan yang inklusif terhadap agama lain. Hal ini dibuktikan dengan kunjungan bersejarah dan bertemu dengan Paus Benedictus di Vatikan pada 6 Nov. 2007.
Kemudian, pada 4–6 Nov. 2008, di tempat yang sama, digelar dialog Islam-Kristen. Dialog ini tidak bisa dilepaskan dari prakarsa Raja Abdullah. Dia juga memprakarsai penyelenggaraan dialog antaragama di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, 12 Nov. 2008.
Selain prakarsa dialog antaragama, Raja Abdullah juga melakukan langkah reformasi politik kendati baru sebatas pelaksanaan pemilihan umum dewan kota. Pemilu tersebut memilih separuh anggota dari hampir 180 dewan pemerintahan kota secara nasional, sedangkan sisanya akan ditunjuk oleh pemerintah Arab Saudi. Pada kepemimpinan raja sebelumnya, praktik seperti ini tidak pernah dilakukan.
Sementara kalangan yang menolak penganugerahan gelar tersebut menilai UI tidak mempertimbangkan berbagai praktik di Saudi Arabia yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu kasusnya adalah, perlakuan tidak manusiawi terhadap TKI Ruyati, 54, yang dihukum pancung pada 18 Juni 2008. Adanya fakta ini menurut aktivis LSM dan sejumlah guru besar UI, gelar doktor HC tidak pantas diberikan kepada Raja Abdullah.
Kontroversi terhadap penganugerahan doktor HC kepada Raja Abdullah seharusnya tidak perlu terjadi jika etika diperhatikan. Karena sesuai kelaziman selama ini, pemberian gelar doktor HC, selalu memperhatikan etika akademik.
Salah satu etika yang perlu mendapatkan perhatian adalah komunikasi. Di lingkungan universitas, komunikasi memiliki makna mendalam. Seorang ahli filsafat, Archie J. Bahm, memaknai komunikasi sebagai kegiatan menyampaikan hasil kajian dan temuan ilmiah terhadap pihak lain. Dengan komunikasi ini, kelayakan hasil suatu kajian akan diuji, baik dari sisi kebenaran maupun kejujuran ilmiah.
Proses komunikasi inilah, tampaknya yang menjadi salah satu sasaran kritik pihak yang menentang penganugerahan doktor HC tersebut. Bahkan sebelumnya tersiar rumor penggulingan rektor UI dalam surat kaleng yang diterima sejumlah media, berisi dokumen rekaman percakapan oleh 33 nama sebagai produser, sutradara, para aktor dan aktris utama, peran pembantu hingga suporter. Nama-nama ini merupakan anggota sivitas akademika berasal dari MWA, guru besar, senat akademik, dosen, dan Ikatan Alumni UI.
Kita tentu prihatin. Karena bila praktik demokrasi deliberatif sebagai modus komunikasi di universitas selalu diperhatikan semua pihak, kontroversi itu bisa dihindarkan sedini mungkin.
Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…
Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…
Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…
Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…
Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…
Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…