Transaksional Transformasional, Materialis Spiritualis, Pragmatis Idealis - Oleh: Dr H Sugeng Listiyo Prabowo, M. Pd, Wakil Rektor II UIN Malang

Kepemimpinan pada dasarnya adalah membantu orang lain untuk menjadi lebih baik. Membantu dalam artian mendorong, memotivasi, atau menjadi “pembuka jalan” dan menjadi teladan. Menjadi lebih baik dalam artian tumbuh dan berkembang keseluruhan aspek kehidupannya, tidak hanya sekedar faktor-faktor seperti ekonomi, sosial, dan kecakapan, tetapi juga pada keseluruhan faktor yang terkait dengan kehidupan, seperti kebahagiaan, kebijakan, dan kedewasaan dalam kehidupan.

 

Untuk mendorong kearah yang lebih baik bagi keseluruhan orang yang ada di organisasi tersebut, kemudian terdapat berbagai jalan yang dilakukan oleh para pemimpin. Umumnya pemimpin akan memasang target yang harus dicapainya dalam kurun waktu tertentu. Target tersebut kemudian disebut dengan visi. Untuk mencapai visi tersebut kemudian dibuatlah tujuan-tujuan antara yang harus dicapai agar supaya dapat dipastikan bahwa organisasi telah berjalan diarah yang benar. Untuk menggerakkan orang-orang mencapai visi dan mencapai tujuan-tujuan antara tersebut, kemudian dibuatlah regulasi dan sistem agar supaya lebih mudah bagi pemimpin untuk mengetahui tingkat keberhasilannya, mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul, dan mengembangkannya.

Didalam regulasi tersebut kemudian ditetapkan juga berbagai hal yang berkaitan dengan upaya untuk memotivasi orang-orang di dalam organisasi untuk dapat mencapai visi dan tujuan-tujuan antara tersebut secara lebih efektif dan efisien. Umumnya akan menggunakan faktor-faktor materi untuk memotivasi tersebut, misalnya kenaikan jabatan, bonus berupa uang atau barang atau perjalanan, atau bonus-bonus yang lain yang berupa materi. Demikian pula jika mengalami kegagalan maka akan terkena penurunan jabatan, atau tidak ada kenaikan jabatan, tidak ada kenaikan gaji atau bahkan penurunan gaji, dan lain-lain yang merupakan hukuman yang timbul sebagai akibat ketidak mampuan orang-orang di dalam organisasi tersebut dalam mencapai visi atau tujuan-tujuan antara yang telah ditetapkan oleh pemimpin. Pemimpin sendiri dilahirkan dari sistem itu, kemampuannya memenuhi target yang kemungkinan tidak semua orang dapat melakukannya, membuat karirnya sebagai pemimpin naik, dan kemudian menjadi pemimpin utama di organisasi tersebut.

 

Kepemimpinan sebagaimana model di atas biasa disebut dengan kepemimpinan transaksional. Pemimpin membuat target untuk dicapai para pengikutnya, dan kemudian membuat regulasi dan sistem untuk proses pencapaian tersebut, reward and punisment menjadi motivator untuk menggerakkan orang-orang di dalam organisasi mencapai target tersebut.

 

Beberapa pemimpin mampu menggerakkan orang-orang di dalam organisasi menuju visi yang telah ditentukan melalui penumbuhan kesadaran dalam diri sendiri. Pemimpin dengan menggunakan kharisma yang ada pada dirinya memberikan inspirasi, dan daya dorong kepada orang-orang di dalam organisasi untuk bergerak menuju visi organisasi. Pemimpin memiliki kemampuan untuk menjadikan visi organisasi menjadi visi individu-individu yang ada dalam organisasi. Orang-orang yang ada di dalam organisasi menyadari pentingnya apa yang dikerjakannya, sehingga mereka mengerjakan pekerjaannya dengan ikhlas, karena mengerjakaan pekerjaannya dengan ikhlas, maka kebahagiaan ditempat kerja akan tumbuh. Orang-orang tidak mengejar visi atau target dikarenakan adanya hadiah atau bonus, tetapi mereka merasa bahwa memang penting untuk mengejar visi atau target yang ada dalam organisasi. Kesadaran akan pentingnya mengejar visi atau target di dalam organisasi tersebut tumbuh karena adanya pemimpin yang mampu memberikan kesadaran akan pentingnya mencapai visi tersebut. Pemimpin mentransformasikan kesadaran yang dimilikinya kepada para pengikutnya, sehingga kemudian para pengikut memiliki kesadaran yang sama dengan pemimpinnya.

 

Kepemimpinan model di atas biasa disebut dengan kepemimpinan transformasional, kepemimpinan yang memberikan dorongan kepada pengikutnya dengan menumbuhkan kesadarannya. Menjadikan visi organisasi menjadi sama atau mirip dengan visi individunya, sehingga individu merasa bahwa organisasi adalah kehidupannya.

 

Jika dua model kepemimpinan tersebut dibandingkan terdapat perbedaan yang mencolok, tentang bagaimana seorang pemimpin melakukan upaya terhadap pengikutnya/ bawahannya dalam mecapai visi atau tujuan. Pemimpin yang menggunakan cara transaksional akan melakukan dengan cara memberikan bonus sesuai dengan tingkat kebutuhan para pengikut, jika para pengikut tersebut dapat mencapai/ memenuhi tujuan, tetapi juga akan memberikan hukuman jika pengikut tersebut tidak mampu memberikan kebutuhan. Sedangkan pemimpin yang menggunakan cara transformational akan mendorong para pengikutnya mencapai visi atau tujuan melalui penyadaran pengikutnya terhadap pentingnya bekerja di organisasi tersebut dalam mencapai visi, pemimpin akan menyadarkan para pengikutnya bahwa visi organisasi juga merupakan visi individu, sehingga mencapai visi organisasi, adalah juga bagian dari kehidupan individu-individu dalam organisasi tersebut.

 

Secara empiris kepemimpinan transaksional bukan merupakan cara yang jelek, demikian pula kepemimpinan transformasional juga bukan merupakan cara yang tidak memiliki kelemahan. Keduanya mampu meberikan sumbangsih secara efektif dalam mencapai visi organisasi. Namun dari sisi pengikut, mampu memahami visi organisasi dan mampu menjadikannya sebagai bagian dari kehidupannya adalah suatu kesejahteraan. Kebahagiaan akan timbul disana, dan tentu saja semua orang pada dasarnya ingin mencapai kebahagiaan tersebut, kemampuan pemimpin membahagiakan pengikutnya akan mempengaruhi tingkat keterpercayaan pemimpin, dan seterusnya akan mendorong produktifitas organisasi. Jika dengan produktifitas tersebut kemudian organisasi mengalami keunggulan, maka keunggulan tersebut akan bertahan lama, karena organisasi berisi orang-orang yang berbahagia, didalam dirinya ada kebanggaan dan kepercayaan diri menjadi bagian dari organisasi itu.

 

Namun menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya visi organisasi bagi kehidupan secara individual bukanlah perkara mudah. Seringkali di dalam organisasi para pemimpin berkeinginan menumbuhkan “rasa memiliki” orang-orang yang ada di dalam organisasi. Rasa memiliki ini dalam artian bahwa pemimpin menginginkan para pengikutnya untuk merasa bahwa organisasi tidak sekedar dijadikan tempat untuk bekerja dan mencari uang semata, tetapi juga dijadikan sebagai bagian dari “miliknya” sehingga orang-orang yang ada di dalam organisasi tersebut merawat dan menjalankan organisasi seolah-oleh bahwa organisasi tersebut adalah kehidupannya sehari-hari. Konsep sebagaimana tersebut tentu bukan konsep yang mudah untuk diterapkan oleh pemimpin, diperlukan upaya dan keteladanan luar biasa sehingga para pemimpin mampu membuat para pengikutnya memahami dan bergerak melakukannya.

 

Itulah biasanya konsep tersebut dilaksanakan oleh para pemimpin yang sudah memiliki “jam terbang tinggi”. Bagi para pemimpin yang memiliki keterbatasan waktu dalam kegiatan kepemimpinannya, oleh karena kepemimpinan yang dilakukan dibatasi oleh waktu, biasanya akan menggunakan model yang lebih sederhana yaitu model kepemimpinan transaksional, walaupun juga hasil yang diperolehnya juga tidak memiliki ketahanan sebagaimana kepemimpinan transformasional. 

 

Model kepemimpinan transaksional lebih mudah dalam implementasinya, lebih dapat diketahui hasilnya dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama. Kunci dari model kepemimpinan ini adalah adanya “transaksi” antara pemimpin dan para pengikutnya. Pengikut didorong untuk mencapai visi organisasi dengan dimotivasi oleh hadiah-haidah atau bonus-bonus atau imbalan-imbalan yang disesuaikan dengan tingkat atau level kebutuhannya. Disisi lain para pengikut juga didorong oleh ancaman-ancaman, hukuman-hukuman, atau denda-denda jika tidak mampu memenuhi visi atau tujuan yang telah disepekatinya dengan pemimpin. Namun demikian, pemimpin juga memperlakukan dirinya dengan model reward and punisment tersebut.

 

Model ini lebih mudah untuk diterapkan dengan menggunakan ukuran-ukuran keberhasilan dan sistem rewardand punishment yang jelas. Para pengikut juga dengan mudah termotivasi karena sistem yang jelas dan gambaran akan hadiah yang langsung menyentuh pada kebutuhan dan harapannya dalam kehidupan sebari-hari, serta dengan ketakutan-ketakutan yang dapat diperkirakan akan mengancam kebutuhan dan harapannya dalam kehidupan sehari-hari.

 

Akibat sistem ini kemudian para pengikut dan pemimpin terlibat hubungan yang transaksional dan materialis, yaitu hubungan yang terjadi dengan pamrih pada hal-hal yang bersifat material. Sebagaimana sifat material maka akan bersifat sementara dan berjangka waktu pendek. Motivasi para pengikut akan sangat tergantung dari hal-hal yang bersifat sementara tersebut, sehingga akan sangat mudah untuk turun atau bahkan hilang. Untuk itu, pemimpin harus sangat kreatif membuat sistem untuk mendorong motivasi para pengikut yang mudah sekali untuk turun dan hilang ini.

 

Kondisi ini sangat berbeda dengan model kepemimpinan transformasional yang tidak mengenal reward and punisment, tetapi lebih mengandalkan pada kesadaran diri akan pentingnya mencapai visi organisasi. Para pengikut tidak dipamrihkan pada faktor-faktor meterial, tetapi lebih dipamrihkan pada faktor-faktor spiritual seperti; kesadaran, kebahagiaan, keikhlasan, ibadah secara luas, dan hal-hal lain yang bersifat spiritual. Tentu bukan hal mudah bagi para pemimpin mengaitkan antara pekerjaan dengan spiritualitas di tempat kerja. Juga bukan hal yang mudah untuk membuat ukuran-ukuran tumbuhnya kesadaran dan spiritualitas, namun jika hal ini berhasil dan tumbuh dalam suatu organisasi, maka konsistensi organisasi akan tumbuh, dan dapat bertahan dalam waktu yang lama.

 

Kondisi tersebut merupakan kondisi ideal bagi organisasi. Pemimpin mampu menggerakkan orang-orang di dalam organisasi melalui kesadaran yang ada dalam dirinya sendiri untuk mencapai visi organisasi. Para pengikut juga menjadi orang yang berbahagia di dalam organisasi, karena para pengikut tersebut merasa bahwa apa yang menjadi tujuan hidupnya adalah juga merupakan tujuan organisasi.

 

Namun tentu saja bahwa organisasi seringkali harus juga berjalan pada kawasan pragmatis. Mencapai tujuan dan juga memenuhi kebutuhan materiil para pengikut merupakan tujuan pragmatis yang harus dipenuhi oleh para pemimpin organisasi. Para pemimpin harus memiliki kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan pragmatis guna untuk dapat mencapai idealisme yang akan dibangunnya. Para pemimpin juga harus mengetahui seberapa kebutuhan pragmatisme diantara idealisme yang akan dibangunnya. Ketidak tahuan pemimpin akan hal ini akan berdampak pada tumbuhnya budaya buruk di organisasi dan tidak tumbuhnya kepercayaan para pengikut kepada para pemimpin.(uin-malang.ac.id)

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…