Di tengah suasana menjelang Lebaran, pegawai negeri sipil (PNS) atau pejabat negara rawan menerima pemberian apapun, termasuk parsel, yang dalam aturan hukum pemberantasan korupsi disebut gratifikasi, bila berlawanan dengan kewenangan atau kekuasaannya, karena berpotensi disangka melakukan tindak pidana suap.
Ketentuan itu diberlakukan karena hanya status PNS atau pejabat negara yang memiliki keistimewaan atas kewenangan dan kekuasaan untuk mengubah atau tidak mengubah, melakukan atau tidak melakukan sesuatu sehingga menguntungkan orang lain dengan cara melawan hukum. Sedangkan orang lain (non-PNS) tak memiliki keistimewaan yang hebat seperti itu.
Bahkan untuk menjaga keistimewaan PNS atau pejabat negara, pemerintah mengancam PNS atau pejabat negara yang membandel menerima gratifikasi yang mengarah ke suap dengan ancaman hukuman pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling sedikit 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar (Pasal 12B Ayat (2) UU No 20 Tahun 2001).
Jelas, kedudukan hukum PNS tersebut harus dipertahankan demi menjaga keistimewaan PNS atau pejabat negara. Sebab itu, agar pemberian atau penerimaan parsel tidak mengarah ke gratifikasi, dan supaya menjadi parsel yang antikorupsi, minimal harus diberlakukan syarat yang ketat.
Kita sulit membaca pemberian sesuatu kepada PNS atau pejabat negara tanpa didasari atas kewenangan dan kekuasaan yang disandangnya. Misalnya, siapa yang mau melirik seorang kepala dinas perizinan apabila dia, atas kewenangan dan kekuasaannya, tidak memberi izin pengusaha untuk membangun swalayan. Boleh jadi, jika bukan karena kewenangan atas kekuasaannya, tidak akan ada parsel yang mampir ke rumahnya.
Kemudian, ada ketentuan khusus yang melekat pada PNS, yaitu UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 12B Ayat (1), mengatakan, ’’Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan dengan kewajiban atau tugasnya.’’
Jadi, amat sulit memastikan bahwa parsel tersebut tidak berkaitan dengan jabatan yang melekat pada diri PNS atau pejabat negara yang berlawanan dengan tugasnya. Apakah mungkin seseorang memberikan parsel kepada PNS tanpa pamrih sedikitpun? Lalu sejauh mana nilai parsel yang dianggap suatu pelanggaran gratifikasi?
Adalah tepat, PNS atau pejabat negara perlu mewaspadai dan memilah siapa yang pemberi parselnya. Jika parsel tersebut diberikan oleh orang yang bermasalah, pengusaha hitam, cukong, politikus busuk, preman anggaran, mafia kasus, pejabat korup, dan semacam itu, alangkah baiknya jika parsel itu ditolak. Kelompok itu tidak akan memberikan dengan cuma-cuma. Tentu ada motif di baliknya. Akhirnya, hanya nurani dirilah yang bisa membuat sebuah parsel menjadi wujud kebaikan antarsesama atau malah menjadi benih korupsi.
Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…
Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…
Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…
Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…
Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…
Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…