Memanfaatkan dan Mempolitisir Kebebasan Pers - Oleh: J. Masdarsada, Peneliti Senior, tinggal di Jakarta

Belum lama ini,  berlangsung diskusi publik menyangkut kebebasan pers di salah satu hotel di Jakarta Pusat, yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga survey. Salah seorang pakar yang tampil sebagai pembicara mengatakan bahwa menjelang pelaksanaan Pilpres saat ini pertarungan antara kubu Prabowo dan Jokowi semakin panas dan dahsyat. Bahkan sekedar untuk mencari dukungan pers, para capres seolah-olah ingin menunjukan bahwa mereka berpihak penuh kepada pers. Namun jika dilihat dari visi misi kedua calon, rakyat bisa menilai  mana pihak yang betul-betul  mendukung kebebasan pers tersebut. 

Narasumber atau pembicara yang hadir dalam diskusi publik terlihat benar melakukan proapaganda dengan memanfaatkan dan mempolitisir kebebasan pers. Menurutnya, salah satu capres disebutkan tidak pantas lagi membawa otoritasnya ke publik, karena yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan tugasnya ditengah jalan. Justru yang  membuat koleganya dahulu lebih memilih dan mendukung kubu lawan karena mereka tahu capres tersebut tidak dapat  menyelesaikan tugasnya sampai selesai, melainkan diberhentikan ditengah jalan. Akan tetapi dalam beberapa hari terakhir menjelang debat Capres/Cawapres, justru kubu tesebut menyebarkan copy surat usulan pemecatan tersebut. Surat tersebut ditandatangani oleh sejumlah Jenderal yang tergabung dalam Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Dalam sebuah talk show di salah satu TV, mantan Danpuspom ABRI, yang diminta kalrifikasinya   menyatakan jika dilihat dari draft surat serta tanda tangan sejumlah perwira tinggi yang saat itu masih aktif, surat tersebut adalah sah. 

Sementara itu menurut Ketua Tim Sukses Capres tersebut, surat tersebut memang sengaja disebarkan agar publik mengetahui bahwa Capresnya tidak dipecat tetapi diberhentikan dengan hormat. Terbukti sampai saat ini dia masih menerima hak pensiun dari TNI. Namun anehnya surat pemberhentian dengan hormat serta ketentuan pemberian pensiun terhadap jenderal yang merupakan cucu pendiri BNI 1946 tersebut tidak disebarkan. Hal ini masih mengundang tanda tanya serta rasa penasaran masyarakat, mana yang betul. Jika yang bersangkutan memang tidak pernah dipecat dari dinas militer, berarti pernyataan sejumlah jenderal yang mendukung kubu lawan adalah fitnah semata. 

Publik tentunya akan segera menyangka ini adalah bentuk kampanye hitam secara terstruktur dari kubu lawan untuk melakukan pembunuhan karakter. Demikian juga dengan pembicara dalam diskusi tersebut diatas, akan sangat bijak jika mampu mendasarkan paparannya berdasarkan  data dan fakta yang jelas dan bukan pada isu semata. Sepertinya para jenderal yang berbicara tanpa data maupun pakar psikologi tersebut juga sengaja memanfaatkan kebebasan pers untuk kepentingan politiknya tanpa merasa berdosa bahwa apa yang disampaikannya dimuka umum  adalah fitnah semata. 

Selanjutnya pakar yang menjadi pembicara mengatakan bahwa Capres tersebut adalah pecatan militer karena pelanggaran HAM dan penculikan yang dilakukannya nyata dan riil, tapi dia tidak mau membuat pembelaan dan banding untuk kasusnya. Sehingga secara nyata dia memang bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya terhadap aktivis dan buruh korban 98. Bagaimana mungkin orang yang terlibat peristiwa buruk masa lalu bisa dijadikan panutan, kalau dia sendiri tidak bisa bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang dilakukannya. Pernyataan ini juga menjadikan penulis penasaran, karena para aktivis yang pernah diculik saat ini justru bekerja dibawah kendali capres tersebut. Konon, para aktivis yang diculik di tahun 1997 itu, mengaku dibawah bimbingan jenderal purnawirawan tersebut, mereka semakin terbina rasa “Keindonesiaannya” dan semakin nasionalis.

Sejauh ini isu yang beredar menyatakan bahwa mereka mau bekerjasama dengan yang bersangkutan karena mereka adalah aktivis yang masih bisa hidup sampai saat ini, sedangkan aktivis lainnya tidak diketahui rimbanya. Ada spekulasi yang menyatakan bahwa 13 aktivis yang diduga sudah meninggal karena sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya bukan diculik oleh kelompok yang berada dibawah kendali Capres tersebut. Mereka kemungkinan diculik oleh institusi lain. Karena itu memang perlu ada penyelidikan lebih lanjut, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas hilang 13 aktivis tersebut. Disamping itu, kasus pelanggaran HAM ini juga banyak menyertai kedua kubu pasangan capres-cawapres yang merekrut beberapa pensiunan jenderal sebagai penasehat, timses ataupun vote getternya. Sehingga kasus pelanggaran HAM ini memang harus dituntaskan dan tidak dapat dijadikan bahan propaganda atau bahan kampanye termasuk menjadi bahan pertanyaan dalam debat presiden yang digelar 9 Juni 2014 yang lalu. 

Dalam sesi tanya jawab saat debat Capres hal itu juga ditanyakan, namun jawabannya adalah apa yang dilakukannya dipertanggung jawabkan kepada atasannya. Karena itu penanya disarankan untuk bertanya kepada atasannya saat itu. Setelah didalami ternyata atasannya saat itu, adalah seorang Ketua Umum dari sebuah Partai Politik yang saat ini juga menjadi pendukung koalisi kubu lawan debat tersebut.  

Karena itu menurut penulis dari pada masalah ini terus diungkit terutama menjelang Pemilu seperti saat ini lebih baik jika masalah ini segera diselesaikan melalui jalur yang benar. Apalagi Capres tersebut sudah pernah dihukum sehingga tidak mungkin dihukum kembali atas kasus yang sama. Kalau memang mengalami kendala yang tidak bisa diselesaikan, sebaiknya kita lupakan saja, dan sama-sama berjuang untuk mencapai  masa depan Indonesia yang lebih gemilang. 

Siapapun yang nanti diberi kepercayaan rakyat untuk memimpin Indonesia lima tahun kedepan, dipastikan tidak dapat mengebiri kebebasan pers seperti yang ditakutkan para pembicara, hal itu sudah dibuktikan oleh Presiden SBY yang berlatar belakang militer selama sepuluh tahun memimpin. Jaman sudah berubah bung, demokrasi dan kebebasan pers terus berkembang maju, dan pasti tidak akan kembali mundur kebelakang. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers menyatakan, kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. (haluankepri.com)

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…