Pahami Penyakit Penyerta (komorbiditas) pada epilepsi anak - Epilepsi Berpeluang Hidup Normal

 

 

Epilepsi merupakan masalah neurologi kronis yang cukup banyak dialami anak-anak, akan tetapi masyarakat masih kurang mendapat pengetahuan yang benar tentang epilepsi pada anak.

NERACA

Meskipun anak dengan epilepsi berpeluang untuk dapat hidup normal, pada kenyataannya berbagai masalah dapat menyertai anak dengan epilepsi, salah satunya adalah penyakit penyerta (komorbiditas).

Komorbiditas dapat berupa perkembangan yang terlambat, retardasi mental maupun gangguan sikap dan perilaku. Dengan memahami komorbiditas epilepsi, masyarakat yang memiliki anak penyandang epilepsi diharapkan dapat lebih mendukung mereka agar patuh terhadap pengobatan, melakukan kontrol ke dokter secara teratur serta tetap menjalankan pola hidup sehat. Himbauan ini selaras dengan ajakan yang diserukan di seluruh dunia dalam rangka menyambut World Purple Day (WPD) 2014 yaitu untuk mendukung penyandang epilepsi di seluruh dunia.

“Komorbiditas epilepsi pada anak dapat disebabkan oleh penyebab epilepsi itu sendiri berupa kerusakan atau gangguan perkembangan otak, dapat disebabkan oleh jenis epilepsi itu sendiri atau karena pengobatannya,” tutur neurologi anak, Dr.dr.R.A. Setyo Handryastuti, SpA (K).

Menurutnya komorbiditas yang terkait dengan etiologi, antara lain disabilitas intelektual dan perkembangan terlambat. Sedangkan komorbiditas yang terkait dengan terapinya, yaitu gangguan perilaku, seperti hiperaktif, tantrum, ketidakstabilan emosi, gangguan fungsi hati serta ketidakseimbangan elektrolit.


“Faktor genetik memang berperan dalam epilepsi, akan tetapi tidak semua jenis epilepsi menunjukkan faktor genetik sebagai penyebab. Pada anak dengan gangguan perkembangan otak, pernah mengalami perdarahan di kepala, riwayat radang otak, radang selaput otak dsb dapat terjadi kerusakan sel-sel saraf di otak. Sel-sel saraf yang rusak itulah yang suatu saat dapat menjadi fokus timbulnya kejang pada epilepsi,” tutur dr. Setyo.


Ia mengatakan, keteraturan minum obat sangat penting. Jika obat harus diminum 2 kali sehari, berarti jarak minum obat adalah 12 jam, demikian juga jika dosis obat 3 kali sehari, maka interval pemberian obat adalah 8 jam. Jika kita lupa memberi obat, maka berikan sesegera mungkin begitu kita teringat, jangan menunggu keesokan harinya.


“Yang perlu dipahami oleh keluarga terhadap komorbiditas epilepsi adalah bahwa tidak semua komorbiditas disebabkan oleh efek samping terapi. Sebagian besar komorbiditas disebabkan oleh kerusakan jaringan otak yang menyebabkan epilepsi atau jenis epilepsi itu sendiri,” tuturnya.

Komorbiditas masalah kecerdasan juga dapat disebabkan atau diperberat karena seringnya anak tidak masuk sekolah. Perilaku orangtua yang over-protektif, permisif dapat juga menyebabkan masalah perilaku sehingga anak cenderung menjadi pribadi yang tidak mandiri.

Kepatuhan dan keteraturan minum obat juga sangat mempengaruhi ada tidaknya komorbiditas. Dalam penanganan komorbiditas, dokter perlu bekerjasama dengan psikiater dan profesi lain, seperti psikolog, guru, terapis sehingga penanganan dapat lebih komprehensif.


Pada kesempatan yang sama, Dr.Tjhin Wiguna, SpKJ (K) mengatakan, pada penelitian yang dilakukan oleh Sondang dkk pada tahu 2007 (RSCM) terdapat 44,8% anak dengan epilepsi mengalami gangguan mental, gangguan mood (25,5%, 12 –18 tahun), gangguan cemas (25,5%, 6-12 tahun), gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (20%,6 –12 tahun).

“Berbagai faktor psikososial juga ditemukan dalam penelitian ini yang berkaitan dengan terjadinya masalah perilaku dan emosi, seperti tidak teratur kontrol berobat, kejang tidak terkontrol, dan latar belakang sosial ekonomi yang rendah,” tutur Dr.Tjhin Wiguna.


Mengingat bahwa anak dengan epilepsi seringkali berkormobiditas dengan masalah kesehatan mental maupun gangguan mental, orangtua maupun anggota keluarga sebagai unsur terdekat dengan anak perlu lebih sensitif terhadap setiap perubahan emosi maupun perilaku anak sehingga setiap perubahan dalam kedua aspek tersebut cepat terdeteksi dan dilakukan penanganan sedini mungkin sehingga kualitas hidup anak dapat dipertahankan seoptimal mungkin.

Selain itu, masyarakat juga perlu menyadari bahwa stigma terhadap epilepsi yang ada selama ini merupakan suatu faktor penghambat terhadap perkembangan mental yang optimal bagi seorang anak dengan epilepsi oleh karena itu sudah saatnya kita lebih berempati dengan anak-anak penyandang epilepsi dan mendukung mereka untuk mencapai masa depan yang lebih baik.

BERITA TERKAIT

Hadirkan Inspirasi Cinta Budaya Lokal - Lagi, Marina Beauty Journey Digelar Cari Bintangnya

Mengulang kesuksesan di tahun sebelumnya, Marina Beauty Journey kembali hadir mendorong perempuan muda Indonesia untuk memaknai hidup dalam kebersamaan dan…

Mengenal LINAC dan Brachytherapy Opsi Pengobatan Kanker

Terapi radiasi atau radioterapi, termasuk yang menggunakan Linear Accelerator (LINAC) dan metode brachytherapy telah menjadi terobosan dalam dunia medis untuk…

Masyarakat Diminta Responsif Gejala Kelainan Darah

Praktisi kesehatan masyarakat, dr. Ngabila Salama meminta masyarakat untuk lebih responsif terhadap gejala kelainan darah dengan melakukan pemeriksaan atau skrining.…

BERITA LAINNYA DI Kesehatan

Hadirkan Inspirasi Cinta Budaya Lokal - Lagi, Marina Beauty Journey Digelar Cari Bintangnya

Mengulang kesuksesan di tahun sebelumnya, Marina Beauty Journey kembali hadir mendorong perempuan muda Indonesia untuk memaknai hidup dalam kebersamaan dan…

Mengenal LINAC dan Brachytherapy Opsi Pengobatan Kanker

Terapi radiasi atau radioterapi, termasuk yang menggunakan Linear Accelerator (LINAC) dan metode brachytherapy telah menjadi terobosan dalam dunia medis untuk…

Masyarakat Diminta Responsif Gejala Kelainan Darah

Praktisi kesehatan masyarakat, dr. Ngabila Salama meminta masyarakat untuk lebih responsif terhadap gejala kelainan darah dengan melakukan pemeriksaan atau skrining.…