Tatkala Suara Rakyat Bisa Dibeli - Oleh: Prof Dr Imam Suprayogo, Rektor UIN Malang

Memasuki tahun politik tahun 2014 ini,  hal yang paling mudah dilihat adalah semakin bertambah banyaknya tawaran-tawaran kebaikan dari para calon pemimpin bangsa kepada rakyat. Lewat pamlet, gambar-gambar, slogan-slogan yang dipasang dipinggir-pinggir jalan atau tempat-temnpat strategis, mereka menawarkan diri agar dipilih sebagai calon wakil rakyat pada pemilu legislatif dan atau presiden yang sebentar lagi akan datang.   

Selain melalui media tersebut, para calon juga menggunakan media lain seperti televisi, radio, koran, majalah,  dan bahkan juga secara langsung mengadakan kunjungan ke daerah-daerah calon pemilih. Sedemikian banyak jumlah calon itu, semuanya mendatangi warga masyarakat. Sudah barang tentu, berbagai strategi, penunjukkan sukarelawan, atau disebut sebagai tim sukses  semua digerakkan secara maksimal.

Itulah sebabnya, menjadi calon  wakil rakyat  tidak mudah dan juga sekaligus tidak murah. Bagi orang yang tidak punya modal cukup,  kiranya tidak akan mampu berkompetisi memperebutkan simpati rakyat. Dulu ketika masing-masing partai politik masih menyandang ideologi yang jelas dan berbeda dari partai politik lainnya, masyarakat bisa digerakkan melalui kekuatan idiologi itu. Para pendukungnya dengan suka rela dan bahkan bersedia berkorban  ikut berjuang  memenangkan calon wakil atau calon pemimpinnya.

Pada saat sekarang, keadaannya sudah berbalik. Para pemilih merasa dimanjakan. Rakyat sudah semakin tahu,  bahwa berpolitik juga terkait dengan ekonomi. Dahulu ideologi dan politik  menyatu.  Dalam suasana seperti itu,   rakyat mau berkorban untuk tokoh  politik yang didukungnya. Namun berbeda dengan dulu,  sekarang ini terasa sekali bahwa  ekonomi dan politik yang sedang berjalan seiring.  Oleh karena itu,  konsep berjuang juga berubah menjadi  bertransaksi. Tatkala harus memilih seseorang  sebagai calon wakilnya, maka pertanyaan  yang  harus dijawab  secara jelas terlebih dahulu adalah, mereka akan mendapatkan apa dan berapa.        

Dalam politik yang terjadi sekarang ini ternyata tidak ada yang gratis. Keadaan yang demikian itu sudah mafhum, diketahui secara umum. Manakala terdapat calon wakil rakyat yang tidak  mengeluarkan dana besar, maka justru dipertanyakan, mengapa hal itu bisa terjadi. Kiranya,  hanya orang-orang yang memiliki kelebihan secara khusus dan benar-benar telah dikenal dan dicintai oleh rakyat yang beruntung seperti itu. Tetapi orang seperti itu jumlahnya tidak terlalu banyak dan bahkan mungkin sulit dicari.

Ke depan mestinya, para wakil rakyat itu diharapkan bisa memperjuangkan aspirasi orang-orang yang memilihnya. Oleh karena itu tidak selayaknya, mereka disuruh membiayai sendiri dan bahkan harus membujuk dan membayar kepada para calon pemilih. Secara ideal, maka rakyat atau para calon pemilihlah yang seharusnya membiayai proses pencalonan para wakilnya itu. Keadaan itu tidak sebaliknya,  seperti sekarang ini. Nyata betul bahwa yang berebut itu adalah  calon wakil rakyat. Padahal semestinya, rakyat yang berkepentingan memberi amanah kepada  para calon wakil yang akan  dipercaya untuk  memperjuangkan aspiranya.

Wajah  perpolitikan bangsa ini agaknya masih belum sehat.  Para calon wakil rakyat masih mencari-cari dan bahkan  memperebutkan dengan berbagai cara terhadap suara rakyat. Padahal semestinya rakyat yang mencari siapa yang layak diidolakan untuk mewakilinya. Keadaan berbalik seperti itu, tentu tidak sehat. Manakala  kondisi itu diteruskan, maka   bangsa ini akan semakin jauh dari tujuan yang ingin diraih. Proses politik seperti itu, bukan akan menghasilkan pemimpin atau wakil yang berkualitas, melainkan akan jatuh kepada  siapa saja  yang memiliki uang.

Akibatnya, rakyat tidak saja diperebutkan, tetapi juga diperdagangkan.  Sebagai bahan dagangan, tentu posisinya tergantung pada siapa yang memperdagangkan. Terserah mau dijual kemana, tergantung pada pemiliknya. Tokh,  suaranya sudah dibeli. Manakala hal itu yang benar-benar terjadi, maka bukan berdemokrasi lagi secara murni, melainkan demokrasi yang diperdagangkan. Itulah resiko dari tatkala rakyat mau dibeli suaranya dan bukan berposisi  sebagai pembeli. Wallahu a’lam.  (uin-malang.ac.id)

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…