Mungkinkah Ekonomi Hijau?

Indonesia saat ini sedang berusaha untuk menjalankan komitmen internasional secara serius. Pemerintah telah menargetkan penurunan emisi dengan nilai agregat 75%, dimana yang bersumber dari kemampuan sendiri sebesar 31,89% dan dukungan internasional sebesar 43,2% pada 2030 mendatang.

Diantaranya kalangan pengusaha mendesak pemerintah untuk mengembangkan ekosistem yang mampu menarik investasi masuk ke sektor yang ramah lingkungan. Gagasan ekonomi hijau sebagai muara investasi tampaknya bukanlah hal yang mustahil. Apalagi, pemerintah saat ini memiliki sejumlah perangkat kebijakan fiskal sebagai insentif yang siap diberikan.

Sejauh ini, pemerintah telah memiliki perangkat canggih untuk menggaet minat investor pada bidang ekonomi terbarukan. Seperti tax holiday, tax allowance, PPh ditanggung pemerintah, pembebasan PPN, pembebasan bea masuk, serta pengurangan PBB merupakan aneka jurus yang siap menanti untuk dimanfaatkan oleh investor lokal maupun asing.

Patut diketahui, Indonesia Sustainability Forum (ISF) 2023 baru saja dilaksanakan pada September 2023. Forum tersebut diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi bekerja sama dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Penyelenggaraan forum tersebut menunjukkan komitmen Indonesia sebagai salah satu pusat ekonomi dunia yang berpotensi menjadi negara adidaya iklim.

Terkait kewajiban pajak, UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah mengamanatkan pasal mengenai Pajak Karbon. Kendati penerapannya ditunda hingga tahun 2025, namun hal ini tidak mengurangi komitmen Indonesia dalam implementasi ekonomi hijau.

Pajak Karbon di Indonesia. menurut Wamenkeu Suahasil Nazara, merupakan alat terpenuhinya dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) dengan menurunkan emisi gas. Artinya, pajak karbon dijadikan satu instrumen untuk mendukung implementasi Bursa Karbon.

Tidak hanya itu. Hadirnya Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) menjadi babak baru dalam perdagangan karbon. Bursa Karbon adalah suatu sistem yang mengatur Perdagangan Karbon dan/atau catatan kepemilikan Unit Karbon. PT Bursa Efek Indonesia meluncurkannya sejak 26 September 2023, yang diharapkan menjadi fondasi dasar bagi terciptanya ekosistem perdagangan karbon yang nantinya akan terintegrasi dengan regulasi pajak karbon.

Berdirinya bursa karbon merupakan upaya pemerintah dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan emisi karbon. Upaya ini seiring dengan cita-cita net zero emission pada 2060, yang telah ditandatangani pada 2016 oleh 195 negara anggota PBB melalui Paris Agreement. Hal ini juga menjadi dasar lahirnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon (POJK-14/2023).

Penyusunan POJK-14/2023 dilaksanakan dalam rangka menindaklanjuti amanat Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) untuk menerbitkan beleid turunan mengenai perdagangan karbon melalui Bursa Karbon. Tak hanya bersandar pada UU P2SK, POJK ini terbit dengan menjadikan UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK sebagai landasan penerbitannya.

POJK-14/2023 terdiri dari 9 bab dan 36 pasal. Kesembilan bab tersebut mencakup ketentuan umum, persyaratan perdagangan karbon melalui bursa karbon, Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur ketentuan tindak lanjut terkait perdagangan karbon melalui Bursa Karbon yang secara substansi mengatur ketentuan mengenai Unit Karbon yang diperdagangan melalui Bursa Karbon;

Sebagai implementasi dari POJK, dalam rangka mempersiapkan perdagangan karbon di Bursa Karbon, OJK bersama Kementerian/Lembaga terkait menyelenggarakan sosialisasi secara berkesinambungan. Artinya, perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi GRK melalui kegiatan jual beli unit karbon. Dalam rangka mendorong perdagangan perdana unit karbon di Bursa Karbon, terdapat 99 PLTU batu bara yang berpotensi turut andil sebagai pesertanya. Selain dari PLTU, sektor kehutanan, limbah, migas, pertanian, industri umum, dan kelautan diharapkan segera menyusul.

Jadi, di tengah ketidakstabilan harga BBM akibat guncangan situasi global, transisi energi menuju ekonomi hijau makin menjadi tumpuan harapan Indonesia. Selaras dengan ASEAN Plan of Action for Energy Cooperation (APAEC) 2016-2025, Indonesia bersama negara-negara se-kawasan terus memacu proyek interkonektivitas energi berupa listrik. Untuk itu, kebijakan fiskal berbasis insentif maupun penerapan pajak karbon menjadi langkah nyata dalam mencapai tujuan utama: ekonomi yang stabil dengan dukungan transisi energi hijau yang berkelanjutan. Semoga.

BERITA TERKAIT

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…