Praktik Oligopoli Perbankan Bisa Jadi "Bom Waktu" - WASPADAI KASUS LIBOR TERJADI DI INDONESIA

Jakarta – Kasus Libor (London Interbank Offered Rate) yang melibatkan kalangan perbankan internasional di London, Inggris, sepertinya bisa saja terjadi di Indonesia jika kebijakan Bank Indonesia (BI) tidak tegas terhadap sejumlah bank yang tidak patuh pada suku bunga acuan BI Rate maupun Jakarta Interbank Offered Rate (Jibor). Untuk itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu mengantisipasi perilaku perbankan yang mengarah pada praktik oligopoli dalam penetapan suku bunga di pasar uang antarbank.

NERACA

Pengamat perbankan Lana Soelistianingrum mengatakan, berkaca dari kasus Libor selalu ada kemungkinan bisa terjadi di Indonesia. Dia mengkritisi kebijakan Bank Indonesia (BI) yang mendua. “Artinya, BI selalu bilang BI Rate jadi acuan. Faktanya waktu lelang SBI 9 bulan, yang menaikkan bunganya justeru BI. Ini kan nggak konsisten karena likuiditas terus ditarik. Inilah yang menjadi acuan perbankan,” ujarnya kepada Neraca, Minggu (5/8).

 

Dosen FEUI itu menilai, mekanisme Jibor searah dengan SBI 9 bulan, soalnya bank sentral tidak ikut campur. Dia juga mengingatkan bahwa kasus Libor harus menjadi pelajaran untuk OJK supaya mengantisipasi. Salah satu caranya, sambung dia, adalah mengawasi perilaku perbankan yang cenderung oligopoli dalam penetapan suku bunga di pasar.

 

“Kami  sudah tahu kalau pasar uang antarbank dikuasai bank besar saja. Kalau ini didiamkan maka mereka bisa main mata, dan ujungnya mengatur suku bunga,” tukas dia. Namun dirinya menegaskan, kalau saat ini ke-14 bank besar belum sampai tahap kartel. Karena satu sama lain masih saling mengintip antara satu bank dan lainnya.

 

“Tapi belum sampai kolusi. Jadi masih oligopoli, yakni kalau satu bank menaikkan suku bunga, yang lainnya ikut. Leader-nya bank BUMN. Nah, kasus Libor itu sudah sampai kolusi jadi terciptalah kartel. Sewaktu menentukan suku bunga, seluruh bank memberikan quotation, berapa besaran bunga untuk hari ini,” ujarnya.

 

Yang kini menarik bahan pemberitaan di dunia, adalah dugaan manipulasi suku bunga yang paling legendaris dan paling digunakan sebagai referensi (benchmark) transaksi keuangan internasional yaitu kasus Libor. Paling tidak, sekitar US$3,5 trilliun  transaksi keuangan sedunia menggunakan acuan suku bunga Libor, termasuk oleh pelaku perbankan di Indonesia.

Tidak tanggung-tanggung, tiga otoritas terkemuka dunia termasuk dengan melibatkan kementerian hukumnya, di AS, Jepang dan Inggris melakukan investigasi. Terakhir otoritas di Swiss pun melakuka investigasi serupa. Bahkan investigasi sudah mengarah ke dugaan tindak kriminal. Beberapa bank raksasa dunia menjadi obyek investigasi ini, seperti Barclays, JP Morgan, Deutsche Bank, UBS, RBS, Bank of America dan Citigroups.

Dalam masa investigasi ini, sudah puluhan pula pegawai (trader atau broker) dari beberapa bank tersebut yang di-suspend dan bahkan dipecat. Bahkan kini semakin menunjukkan hasil meski secara hukum belum bisa dianggap sebagai tindakan kriminal. Otoritas finansial di AS dan Inggris sudah menjatuhkan sanksi denda ke Barclays senilai ratusan juta dolar AS, yang merupakan sanksi denda terbesar selama ini yang dijatuhkan ke industri keuangan.

 

Tekanan pada Perbankan

Kepala Ekonom Bank Mandiri, Destry Damayanti, mengatakan praktik yang terjadi di London atas kasus London Interbank Offered Rate (Lebor) yang mengakibatkan salah satu bank terbesar di dunia Barclays dikenakan denda US$450 juta bisa akan terjadi di Indonesia. Pasalnya praktik seperti menaikkan suku bunga bisa terjadi di Indonesia. “Ada kemungkinan kasus Barclays terjadi di Indonesia,” katanya.

Menurut dia, mekanisme pasar yang digunakan pada perbankan bisa mengindikasikan kasus serupa di London. Namun demikian, kalau pun kasus ini terjadi maka perbankan yang tergabung dalam Jakarta Interbank Offered Rate (Jibor) yang terdiri dari 15-20 bank di Indonesia akan melakukan hit (tekanan) kepada perbankan yang menyalahi aturan tersebut. “Kalau ada sesuatu yang aneh terjadi pada pelaporan yang dilaporkan setiap harinya maka ada tekanan dari bank lain,” imbuhnya.

Walau demikian, eksekutif Indef Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika mengingatkan, bagaimanapun untuk mewaspadai kejahatan perbankan lewat suku bunga harus diterapkan, hal itu untuk menghindari kejahatan perbankan yang kini terjadi di Inggris itu.  Karena apapun bisa saja terjadi lewat transaksi di bawah meja.

Tetapi dia meyakini kasus kejahatan seperti yang terjadi di Libor ini sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi di Indonesia. Pasalnya, perbankan di Inggris dan Indonesia sangat jauh berbeda. “Perbankan Indonesia beroperasi memberi pelayanan untuk penyaluran kredit dan deposito saja, dimana itu jauh berbeda dengan pelayanan di Inggris yang lebih kompleks,” ujarnya kemarin.

Mengenai sulitnya menurunkan suku bunga kredit perbankan, menurutnya bukanlah menjadi indikasi kalau perbankan kita juga terindikasi melakukan kejahatan dalam hal suku bunga. Masalahnya, menurut dia, disebabkan oleh pasar perbankan yang oligopoli yang lebih mengedepankan persoalan efisiensi perbankan melalui rasio BOPO.

Meski demikian BI sebagai pembuat regulator, menurut dia,  harusnya dapat mengantisipasi segala kemungkinan dengan berani mengambil tindakan. Karena, saat ini BI hanya sekedar pembuat regulator saja sementara mereka lemah dalam eksekusi.

Namun seorang bankir yang tidak mau disebutkan namanya kemarin, mengatakan penggunaan Jibor belum seperti Libor, sehingga belum akan menimbulkan dampak seperti yang terjadi di London itu.

"Ini terlalu dini untuk mengatakan Jibor nantinya akan berdampak sama seperti Libor. Karena Jibor masih belum secara luas digunakan sebagai benchmark atau acuan tingkat suku bunga pinjaman antarbank. Jadi belum semua bank menggunakan Jibor," katanya.

Menurut dia, BI memang meminta kepada bank-bank sebagai kontributor untuk Jibor. "BI mengatur bahwa bank-bank yang jadi kontributor harus secara tertib meng-contribute rate-nya setiap hari ke dalam sistem. Ini adalah offering rate, jadi setiap hari bisa berubah. Jibor ini mengikuti interbank market rupiah," jelasnya.

Dia mengakui, memang masih ada tantangan dalam implementasi Jibor dalam hal integritas bank-bank yang jadi kontributor. "Ini challenge buat integritas si kontributor, dan ini masih berkembang karena bank-bank di sini masih dengan offering yang mereka mau. Di sini kan belum ada suku bunga Jibor +1 atau +2," paparnya.

Tentang kemungkinan bahwa Jibor nantinya akan bisa berkasus seperti Libor. "Ini tergantung dari kebijakan masing-masing bank, apakah angka itu adalah benar-benar yang ingin di-offer ke pasar, atau sengaja menurunkan suku bunganya supaya bank itu dianggap bagus padahal sebenarnya tidak bagus (likuiditasnya)," ujarnya.

Libor pertama kali diperkenalkan oleh British Bankers’ Association (BBA) pada Januari 1986, jauh sebelum tren bank sentral merepresentasikan stance kebijakan moneternya dalam suatu target suku bunga pasar uang atau policy rate (semacam BI Rate), yang dimaksudkan sebagai acuan suku bunga overnight pasar uang sejak awal 1994 yang dipelopori oleh bank sentral AS, (Federal Reserve).

Sejak saat itu, kuotasi “harga” likuiditas dari beberapa bank raksasa yang dihimpun oleh BBA menjadi reference rate yang “de facto’ paling banyak digunakan dalam transaksi keuangan di internasional.  ria/bari/ahmad/ardi/fb

BERITA TERKAIT

LifeTALK Kunci Menjaga Kesehatan dan Kekayaan di Masa Depan :

Indra Bekti (kanan), bersama Medical Doctor RS Siloam Semarang dr. Trianggoro Budisulistyo, SpS.(K)  (tengah) menjadi pembicara dalam acara LifeTALK “Kunci…

Kartu Debit Nirsentuh Bank Muamalat Untuk Jemaah Haji

Customer service PT Bank Muamalat Indonesia Tbk menyerahkan kartu Shar-E Debit VISA Paywave kepada nasabah disaksikan oleh Regional CEO Jakarta…

CCE 3.0: Dorong Inovasi Lokal untuk Ciptakan Dampak Multidimensional

Jakarta, GoTo Impact Foundation (GIF), organisasi penggerak dampak yang didirikan oleh Grup GoTo, meluncurkan program Catalyst Changemakers Ecosystem (CCE) 3.0 dengan tema #LokalBerdaya. Memasuki tahun ketiga,…

BERITA LAINNYA DI Berita Foto

LifeTALK Kunci Menjaga Kesehatan dan Kekayaan di Masa Depan :

Indra Bekti (kanan), bersama Medical Doctor RS Siloam Semarang dr. Trianggoro Budisulistyo, SpS.(K)  (tengah) menjadi pembicara dalam acara LifeTALK “Kunci…

Kartu Debit Nirsentuh Bank Muamalat Untuk Jemaah Haji

Customer service PT Bank Muamalat Indonesia Tbk menyerahkan kartu Shar-E Debit VISA Paywave kepada nasabah disaksikan oleh Regional CEO Jakarta…

CCE 3.0: Dorong Inovasi Lokal untuk Ciptakan Dampak Multidimensional

Jakarta, GoTo Impact Foundation (GIF), organisasi penggerak dampak yang didirikan oleh Grup GoTo, meluncurkan program Catalyst Changemakers Ecosystem (CCE) 3.0 dengan tema #LokalBerdaya. Memasuki tahun ketiga,…