NERACA
Jakarta – Industri pulp and paper harus mempunyai road map yang jelas karena sangat rentan mempengaruhi hutan Indonesia. Untuk itu, Kementerian Kehutanan akan mendorong rencana Asian Pulp and Paper (APP) untuk tetap menggunakan maksimum 5 % kayu residu dan kayu limbah dari sumber legal.
Menurut Darori, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan, pemerintah akan mewajibkan perusahaan pulp dan kertas seperti APP untuk menggunakan kayu residu dan kayu limbah dari pengembangan hutan tanaman di hutan yang telah terdegradasi dan hutan bekas tebangan (LOA) dalam rantai pasokannya. “Karena ini adalah penggunaan yang paling baik dari sisi lingkungan maupun ekonomi. Sangat penting bagi komunitas global untuk mengerti bahwa ini bukan ‘pembukaan hutan alam’,” jelas Darori di Jakarta, Selasa (5/6).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida, dengan memberlakukan standar internasional Hutan Bernilai Konservasi Tinggi atau High Conservation Value Forest (HCVF) dapat memberikan produk dengan nilai integritas lingkungan dan sosial tinggi kepada pemangku kepentingan.
“Harus diakui kita mempunyai lahan yang subur dengan lokasi strategis di kawasan tropis. Apabila tidak dilakukan konservasi, maka akan berdampak buruk juga terhadap kelangsungan industri yang kami miliki,” ujarnya.
Menurut Liana, produksi pulp dan kertas Indonesia berpotensi mengungguli negara-negara penghasil hutan tanaman produktif seperti Brazil, Amerika Serikat, bahkan China. Hingga kini, produksi pulp Indonesia telah mencapai 6,9 juta ton per tahun, dan kertas yang diproduksi sebesar 11,5 juta ton per tahun.
Meski konsep HCVF pada awalnya didesain dan diaplikasikan untuk pengelolaan hutan produksi, dengan cepat konsep ini menjadi populer dan digunakan dalam berbagai konteks yang lain. Di sektor publik, HCVF digunakan dalam perencanaan pada tingkat nasional dan propinsi, antara lain di negara-negara seperti Bolivia, Bulgaria dan Indonesia. Di sektor sumber daya terbaharui, HCVF digunakan sebagai alat perencanaan untuk meminimalisasi dampak-dampak ekologi dan sosial yang negatif dalam industri yang menggunakan lahan hutan.
Managing Director Sustainability APP Aida Greenbury mengatakan kebijakan HCVF akan segera dilaksanakan. APP akan menghentikan sementara pembukaan hutan selama penilaian HCVF per tanggal 1 Juni 2012 dan akan meninjau serta mengevaluasi kembali perjanjian kerja dengan para pemasok, apabila penilaian HCVF ini tidak dilakukan.
“Kami akan memulai sebuah program yang besar untuk memastikan bahwa pelanggan kami mendapatkan produk dengan nilai integritas lingkungan dan sosial yang tinggi, dan untuk memastikan pencapaian visi bersama kepada komunitas global,” ujarnya.
Terkait dengan rencana ekspansi APP dimasa akan datang, Aida menambahkan bahwa dari sisi bisnis pihaknya selalu mencari peluang baru dan memastikan kebijakan perlindungan hutan alam yang baru ini akan berlaku di semua unit pabrik dan berbagai kegiatan ekspansi perusahaan.
NERACA Palembang – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerima puluhan ribu ekor bening bening lobster (BBL) hasil penyelundupan yang berhasil…
NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Badan Geologi meresmikan kerja sama strategis dengan Eramet Indonesia…
NERACA Bali – Produsen gas industri merupakan salah satu sektor pendukung yang vital bagi perkembangan industri manufaktur. Kapasitas produksi gas…
NERACA Palembang – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerima puluhan ribu ekor bening bening lobster (BBL) hasil penyelundupan yang berhasil…
NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Badan Geologi meresmikan kerja sama strategis dengan Eramet Indonesia…
NERACA Bali – Produsen gas industri merupakan salah satu sektor pendukung yang vital bagi perkembangan industri manufaktur. Kapasitas produksi gas…