Covid-19 dan Resesi Dunia

 

Oleh: Makmun Syadullah, Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu

Situasi yang kita hadapi sekarang mungkin agak berbeda dengan krisis 1998 yang lalu. Dalam buku Manias, Panics and Chrashes: A History of Financial Crises (2005) karya CP Aliber, krisis Asia Timur menyebar hampir sebagian negara di dunia. Krisis ini pertama kali dimulai pada 2 Juli 1997 ketika Thailand mendeklarasikan ketidakmampuan untuk membayar utang luar negerinya. Tindakan berkelompok dari karakteristik Macan Asia Timur (Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Korea Selatan) kemudian membentuk besarnya pinjaman atas mata uang asing, investasi spekulatif pada real estate dan koreksi mata uang terhadap dollar AS. Akibatnya terjadi overvaluation terhadap mata uang kelompok Macan Asia Timur, seiring meningkatnya tingkat harga domestik mereka.

Kini dunia sedang dihadapkan kemungkinan adanya krisis ekonomi akibat Covid-19 yang semakin memburuk. Bahkan International Monetary Fund-IMF menilai  dunia sudah dalam kondisi resesi. Dalam situasi seperti ini sulit untuk memutuskan mana yang lebih menakutkan krisis kesehatan atau krisis ekonomi. Setidaknya hal ini teercermin pada pernyataan Mark Zandi, kepala ekonom di Moody's Analytics, mengatakan apakah percakapan saya dengan para ahli epidemiologi atau percakapan saya dengan para ekonom.  Selanjutnya Mark juga mengatakan jarak sosial adalah jarak ekonomi. Kami memberi tahu orang-orang untuk berhenti pergi ke toko, ke restoran, ke tempat kerja. Kami bersikeras mereka berhenti memasok tenaga kerja mereka, membuat barang-barang mereka. Untuk memperlambat pandemi, kami memaksa resesi, mungkin depresi.

Berbeda dengan krisis keuangan, 1998 di mana kepanikan dapat dihentikan dan masyarakat dapat mencairkan perekonomian. Sedangkan sekarang ini ada kuman yang mematikan dan siapapun  tidak ingin mendekatinya. Akibatnya krisis yang berpotensi terjadi akan jauh lebih buruk. Covid-19 berpotensi berdampak pada “kesenjangan output” - perbedaan antara apa yang bisa dihasilkan oleh ekonomi dan apa yang diproduksi. Solusi untuk kesenjangan output, terutama yang disebabkan oleh runtuhnya permintaan ekonomi, cukup sederhana: gelontorkan uang. Investasikan dalam proyek infrastruktur dan beri keluarga uang tunai. Jika perusahaan dan konsumen tidak akan membelanjakan, maka pemerintah harus membelanjakan atas nama mereka, menciptakan permintaan ekonomi yang diperlukan untuk mendorong perekonomian kembali normal.

Jalan Keluar

Belajar dari kesalahan yang dibuat Amerika Serikat  pada tahun 2008 adalah tidak cukupnya anggaran negara. Amerika meremehkan ukuran kesenjangan output, dan kemudian memberikan stimulus yang terlalu kecil.  Ketika pemerintahan Obama kembali ke Kongres untuk mendapatkan lebih banyak amunisi fiskal, para Republikan menolak, dan pemulihannya tertatih-tatih.

Situasi yang dihadapi sekarang berbeda, jutaan pekerja dipaksa untuk bekerja dan berlindung di rumah, dan pabrik-pabrik dan mesin-mesin tidak beroprasi. Dunia tidak sedang menghadapi krisis keuangan, akan tetapi ada kuman yang mematikan yang siapapun tidak ingin mendekatinya. Akibatnya ekonomi riil menjadi terganggu.

Menurut Zandi, setidaknya akan ada empat gelombang kesengsaraan ekonomi. Gelombang pertama adalah penghentian mendadak, penghentian aktivitas ekonomi yang tidak terduga di seluruh negara. Goldman Sachs memproyeksikan produk domestik bruto akan turun pada tingkat 24 persen pada kuartal kedua tahun ini. Penurunan sebesar ini akan hampir dua setengah kali ukuran penurunan kuartalan terbesar dalam sejarah statistik PDB modern. Gelombang kedua ditandai dengan penurunan PDB, dan pekerja kehilangan pekerjaan. Gelombang kedua ini akan datang dengan sangat cepat, atau mungkin kita sudah berada dalam tahap ini. Gelombang ketiga, semua orang akan panik. Pasar saham yang hancur akan menjadi bencana bagi masyarakat, terutama yang berada di atau dekat masa pensiun. Terakhir, gelombang empat adalah berhentinya investasi. Perusahaan tidak akan pabrik baru; organisasi media akan menahan diri untuk meluncurkan publikasi baru dan seterusnya.

Skenario mimpi buruk adalah bahwa virus tidak terkendali dalam jangka pendek, sehingga langkah-langkah jarak sosial yang ekstrim diperlukan sepanjang tahun. Salah satu kemungkinan adalah bisnis yang gagal. Jika jarak sosial diperpanjang selama berbulan-bulan, tidak ada bailout nasional, usaha kecil akan runtuh, bahkan bisnis dalam skala besar juga tidak akan terhindar. Tidak pula menutup kemungkinan akan merembet ke krisis keuangan, di mana pasar untuk obligasi baik perusahaan swasta maupun pemerintah akan terkena dampaknya.

Permasalahannya kebijakan apa yang harus ditempuh pemerintah untuk menjaga pemulihan perekonomian pasca covid-19? Ini adalah realitas ekonomi yang menakutkan yang akan dihadapi pada masa mendatang. Bank-bank sentral kini mulai menghidupkan kembali atau memperkuat program-program seperti pembelian hutang "pelonggaran kuantitatif" darurat yang bertujuan untuk mempertahankan harga obligasi. Sekedar contoh, Bank Sentral Eropa mulai bermanuver pada suku bunga, meluncurkan program pembelian obligasi € 750 miliar baru sebagai tanggapan terhadap Covid-19 pada 18 Maret. Tentu saja kebijakan moneter saja tidak cukup, diperlukan adanya sinergi kebijakan moneter dan fiskal. Hal ini disebabkan permasalahan yang dihadapi bukan hanya krisis, akan tetapi juga masalah kesehatan. Kedua kebijakan ini benar-benar membutuhkan dana yang cukup besar, apalagi belajar dari kegagalan Amerika Serikat pada tahun 2008 akibat tidak cukupnya anggaran.

 

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…