Merajut Ekonomi Politik

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

Kejadian 22 Mei seolah menjadi sangat menakutkan ketika ada ancaman people power. Padahal, seharusnya 22 Mei adalah tahapan dari pesta demokrasi yang menetapkan pemenang pilpres meski akhirnya diputuskan oleh KPU sehari lebih cepat. Oleh karena itu, muncul pertanyaan apakah 22 Mei itu puncak dari hajatan pesta demokrasi atau justru people power? Muasal ancaman people power tidak terlepas dari klaim kemenangan sepihak dari petarung di pesta demokrasi sementara yang berhak memutuskan pemenang adalah KPU. Ironisnya, salah satu kubu berujar tidak mengakui semua keputusan KPU dan juga tidak akan membawa sengketa dugaan kecurangan yang katanya terstruktur, sistematis dan masif ke MK.

Padahal, prosedural hukum jelas memberikan wewenang kepada MK untuk memutuskan perkara. Oleh karena itu salah satu kubu juga menegaskan tidak akan menandatangani keputusan KPU. Bahkan, tidak mengakui pemerintahan hasil pilpres 2019, termasuk juga tidak membayar pajak, dan menyerukan anggota koalisinya yang menang pileg untuk tidak melenggang ke Senayan. Ironisnya, ketika kerusuhan 22-23 Mei telah berlalu ternyata sengketa pilpres itu dibawa juga ke MK.

Bagaimanapun juga, prosedural pesta demokrasi adalah kewenangan KPU memutuskan semua yang berhak bertarung, baik di pilpres atau pileg. Jadi, legalitasnya adalah paket antara pileg dan pilpres sehingga rancu dan lucu jika kemudian salah satu kubu justru mengklaim mengakui salah satunya atau mengakui legalitas pileg sementara pilpresnya tidak diakui. Argumen yang mendasari adalah dugaan munculnya sejumlah kecurangan. Jika kecurangan itu memang benar adanya maka jalurnya adalah ke MK untuk memberi keputusan terkait sengketa yang ada, namun ironisnya salah satu kubu tidak mengakui dan atau tidak meyakini jika persoalan tersebut di bawa ke MK untuk diadili, sementara di sisi lain salah satu kubu mengaku dan mengklaim menang serta sudah sujud syukur. Oleh karena itu, disayangkan jika pasca pecahnya kerusuhan 22-23 Mei akhirnya kasus sengketa pilpres dibawa juga ke MK untuk dimintakan peradilan dan keadilannya.

Antisipatif

Apalah artinya mengaku menang jika akhirnya tidak dilantik menjadi Presiden? Apalah artinya quick count jika akhirnya juga tidak mengakui, sementara di pilkada Jakarta juga mengakuinya? Padahal, hasil quick count tidak jauh menyimpang dari real count yang berarti siapa pemenangnya sudah bisa diprediksi, meskipun secara prosedural tetaplah harus menunggu keputusan resmi dari KPU. Kalau kemudian belum diumumkan sudah melakukan sujud syukur dan klaim kemenangan maka bisa jadi hitungan yang dilakukan kurang tepat. Oleh karena itu, ke depan seharusnya para petarung pesta demokrasi harus siap menang dan siap kalah, bukan sekedar ngotot harus menang dan jika kalah maka tudingan yang dimunculkan adalah kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif. Terkait ini wajar jika kemudian muncul harapan rekonsiliasi nasional pasca pilpres.

Imbas dari pemaksaan dan ngotot harus menang secara tidak langsung mempengaruhi iklim sospol dan tentu situasi ekonomi juga terdampak. Betapa tidak, perilaku investor menjadi wait and see dan setiap saat bisa berubah menjadi wait and worry. Apalagi ada tekanan untuk melakukan people power dengan menggerahkan massa. Bahkan, beredar rumor akan ada gerakan massa untuk mengepung KPU pada 22 Mei dan memaksakan kehendak untuk mendiskualifikasi salah satu petarung di pilpres. Padahal, menang atau kalah itu berdasar hitungan suara yang masuk, tidak sekedar memaksakan kekuatan atau sekedar ngotot harus menang. Oleh karena itu, beralasan jika iklim sospol pasca pilpres tidak meredam tapi justru semakin memanas dan tentu hal ini tidak bisa terlepas dengan fenomena ngotot harus menang, apapun caranya dan bagaimanapun solusinya.

Demokrasi bukan sekedar pemaksaan harus menang, demokrasi juga mengenal tahapan dan kalkulasi yang kesemuanya mengacu kaidah dan norma, termasuk juga prosedural hukum yang harus ditaati. Jika semua petarung di hajatan pesta demokrasi memaksakan kehendaknya maka matinya demokrasi tinggal menunggu waktu. Oleh karena itu, sangat beralasan jika pelaksanaan pesta demokrasi 2019 memang harus dievaluasi, bukan saja dari para petarunganya yang harus siap menang dan siap kalah tetapi juga penyelenggara pesta demokrasi agar bisa lebih siap dan sehat. Betapa tidak, petugas pesta demokrasi kali ini yang meninggal ratusan jiwa, bukan hanya dari petugas KPPS tetapi juga aparat.

Jadi, beralasan jika muncul banyak rumor dibalik bencana nasional wafatnya pejuang demokrasi. Bahkan, muncul juga tekanan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta atau TGPF, termasuk melibatkan kalangan medis untuk bisa dilakukan otopsi. Hal ini sangat beralasan karena muncul juga rumor tentang racun.

Demokrasi

Memang tidak mudah untuk bisa menerima kekalahan dalam pertarungan demokrasi, apalagi jika telah berulangkali kalah bertarung. Bahkan, hal ini juga menjadi wajar jika sudah banyak modal finansial dan modal sosial yang dikeluarkan. Oleh karena itu, sikap kenegarawanan menjadi sangat penting ketika seseorang ikut bertarung di hajatan pesta demokrasi karena hanya dengan sikap inilah maka seseorang bisa legowo menerima apa yang terjadi.

Bahkan, menjadi sangat lucu jika kemudian kekalahan itu justru bermuara ke perilaku yang inkonstitusional, termasuk misalnya mengancam people power dan juga mengancam tidak akan membayar pajak. Artinya, ancaman seperti ini justru akan menunjukan ketidakdewasaan dalam memahami suatu pertarungan di pesta demokrasi.

Terlepas dari kalkulasi dampak sosial - ekonomi - politik dibalik perilaku people power 22-23 Mei, faktanya KPU tidak gentar terhadap ancaman tersebut dan dukungan aparat sudah sangat yakin memperkuat KPU menghadapi semua ancaman. Meski demikian, tidak bisa diabaikan bahwa peristiwa 22-23 Mei memicu sentimen pasar dan investor sehingga perilaku wait and see bisa berubah menjadi wait and worry. Hal ini diperkuat oleh pernyataan aparat tentang ancaman teror bom yang sudah dapat diantisipasi karena sejumlah teroris yang diduga akan memanfaatkan momentum 22 Mei berhasil diciduk. Pastinya, pasca 22-23 Mei sangat penting untuk merajut ekonomi – politik karena ada tantangan yang lebih kompleks dibanding sekedar ribut suksesi melalui pesta demokrasi.

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…