Isu Pengupahan

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

Peringatan hari buruh 1 Mei lalu masih berkelit dengan upah. Isu tentang kesejahteraan buruh, terutama upah masih menjadi isu menarik, meski kali ini juga terkait isu pekerja asing. Fakta tahun politik yang mengancam investasi juga bisa berpengaruh terhadap realisasinya, termasuk juga ancaman terhadap PHK akibat daya beli yang rendah. Belum lagi belit daya beli akibat inflasi yang terjadi selama ramadhan.  Betapa tidak, upah yang ditetapkan ternyata tidak diimbangi kemampuan dunia usaha bagi pemenuhan, apalagi ada tekanan terhadap nilai tukar rupiah yang berpengaruh terhadap proses produksi karena masih banyak bahan baku diimpor.

Artinya, penetapan upah masih terhambat kemampuan dunia usaha membayarkannya. Di satu sisi, buruh getol menolak pekerja asing yang diyakini merebut peluang. Di sisi lain, krisis daya beli juga memicu dampak signifikan bagi kemampuan dunia usaha. Hal ini semakin diperparah kesulitan mendapat bahan baku, kesulitan keuangan dan juga nilai tukar. Itu semua membuat dunia industri kelimpungan dan akhirnya dengan dalih efisiensi ada ancaman PHK. Yang menjadi pertanyaan bagaimana nasib buruh dan dunia usaha di tahun 2019?

Nasib rakyat pada umumnya dan nasib buruh pada khususnya saat ini mengkhawatirkan terutama terkait dengan jerat inflasi akibat melambungnya harga sembako menjelang ramadhan. Belum lagi adanya bayangan atas rencana PHK di tahun 2019 akibat dampak tahun politik dan nampaknya kecemasan sosial sedang menghantui rakyat. Yang pasti, kesejahteraan kaum buruh terus saja minor dan era otda ternyata tidak mampu membuka sektor industri yang padat karya sehingga pengangguran meningkat dan ironisnya ini justru diikuti ancaman gelombang PHK dan masuknya pekerja asing. Yang tidak kalah menyedihkan ketika pengangguran dan juga korban PHK mencari celah hidup dengan menjadi PKL ternyata mereka terus diburu untuk direlokasi atau digusur dengan dalih keindahan dan ketertiban perkotaan.

Titik Temu

Perburuhan selalu identik dengan potret buram yaitu mulai dari tingkat upah yang relatif rendah, jalinan kerjasama dunia usaha - perburuhan yang tidak harmonis dan bargaining yang selalu dipojokan. Sayangnya ketika tekanan itu semua datang, ternyata kaum buruh masih saja tidak bisa berkutik (apalagi berusaha membela diri).  Jika memang demikian, sampai kapan hak-hak buruh bisa terpenuhi (jika memang tidak ada upaya dari kalangan dunia usaha untuk memenuhinya?). Oleh karena itu, wajar jika buruh menggugat untuk bisa meningkatkan kesejahteraan terkait era otda, termasuk maraknya pemekaran daerah dan terpilihnya kepala daerah baru hasil pilkada 2018 dan hasil pilpres 2019.

Memang tidak mudah untuk mencari titik temu dari dua kepentingan yang berbeda dan inilah arti pentingnya komitmen bersama atas keselamatan dan juga kesejahteraan para buruh (implisit tercapainya kondisi taraf hidup pekerja – buruh yang wajar). Oleh karena itu, salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan cara penetapan standar hidup minimum yang tidak lain adalah sebagai strategi untuk membuka mata pemerintah dan dunia usaha agar lebih memperhatikan nasib buruh. Meski demikian, penetapan ini juga harus memperhatikan kemampuan dunia usaha dan kondisi makro ekonomi, selain juga melihat perkembangan iklim sospol dan politik yang kian memanas pasca pilpres 2019.

Padahal, situasi pasca pilpres bukannya meredup tapi justru semakin memanas karena kedua kubu saling klaim menang di pilpres, sementara KPU masih melakukan hitung manual sampai 22 Mei untuk menetapkan pemenang pilpres. Situasi ini jelas memacu iklim sospol semakin rentan dan dunia usaha bersikap wait and see dan bukannya tidak mungkin akan berubah menjadi wait and worry jika konflik horisontal terjadi, terutama lewat ancaman people power. Jadi, dunia usaha dan kaum buruh akan semakin rentan.

Keyakinan atas itu semua terutama mengacu pada fakta ancaman banyaknya kasus PHK yang terjadi. Potret nasib buruh dan dunia usaha nampaknya setali tiga uang di tahun 2018 dan bukan tidak mungkin akan berlanjut di tahun 2019. Bahkan, kasus kelangkaan bahan baku juga memperkeruh andil nasib dunia usaha. Industri logam di Jawa Tengah terpuruk akibat lonjakan harga bahan baku dan ini menjadi kasus kesekian realitas potret industri di Indonesia, apalagi kini rupiah terpuruk di kisaran Rp.14.000 per US Dollar.

Bahkan, di setahun terakhir, kasus kelangkaan dan kenaikan harga bahan baku menjadi pemicu rontoknya sejumlah industri dan berakibat ketidakmampuan dunia usaha untuk membayar upah buruh. Paling tidak, misal kita bisa melihat dari lonjakan harga kedelai yang memicu dampak makro bagi industri tahu tempe nasional. Oleh karena itu, kasus harga bahan baku, depresiasi rupiah dan dampak krisis finansial global harus secepatnya diantisipasi agar kehancuran industri dan ancaman PHK tidak terjadi. Jika hal ini terjadi maka akan memicu lonjakan pengangguran dan kemiskinan. Jadi, masuknya pekerja asing bisa menambah persoalan perburuhan nasional.

Perkembangan industri nasional kini menghadapi tantangan baru dengan kecenderungan menurunnya daya saing industri di pasar internasional.  Penurunan daya saing ini terkait dengan tingginya biaya atau kurang efisiennya proses produksi. Masalah biaya industri umumnya dikaitkan dengan meningkatnya biaya energi dan ekonomi biaya tinggi terkait layanan birokrasi serta mahalnya harga bahan baku. Di sisi lain, kelemahan struktur industri juga ditunjuk sebagai salah satu penyebabnya. 

Kelemahan struktur industri ini tercermin dari lemahnya keterkaitan antar industri, misal antara industri hulu dan hilir dan antara industri besar dan kecil dan juga belum berkembangnya industri pendukung. Klaster-klaster industri yang ada belum sepenuhnya terbangun juga merupakan indikator lemahnya struktur industri. Menyelamatkan sektor industri nasional kini sangat penting, terutama untuk menjamin kelangsungan hidup sektor industri dan taruhan atas nasib dari jutaan buruh serta encaman PHK massal yang memicu pengangguran - kemiskinan. Jadi,  tahun politik bisa berimbas ke sektor industri dan pekerja asing bisa menjadi ancaman.

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…