Menyorot Rencana Insentif Pajak Super Kegiatan Vokasi

 

Oleh: Edmalia Rohmani, AR KPP Pratama Jakarta Cilandak *)

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memberikan gambaran pokok kebijakan terkait rencana Super Deductible Tax bagi kegiatan pendidikan dan pelatihan vokasi. Menurut bahan paparan Direktur Peraturan Perpajakan II DJP, Yunirwansyah, dalam Seminar Nasional Perpajakan (14/3/2019), subjek penerima insentif ini adalah wajib pajak badan dalam negeri yang melakukan kegiatan pembinaan dan pengembangan SDM, Politeknik, dan/atau Balai Latihan Kerja, melalui penyediaan kegiatan fasilitas praktik kerja untuk siswa dan pemagangan untuk tenaga pengajar.

Bentuk fasilitas yang diberikan adalah tambahan pengurang penghasilan bruto (investment allowance) sebesar 100%. Untuk biaya operasional terkait kegiatan vokasi, tambahan ini dapat dibiayakan pada saat biaya dikeluarkan. Sedangkan, untuk belanja modal dapat dibiayakan melalui mekanisme depresiasi.

Jenis biaya dasar besaran fasilitas antara lain: biaya penyediaan fasilitas teaching factory sebagai tempat praktik kerja dan pemagangan, biaya instruktur sebagai tenaga pembimbing, barang dan bahan keperluan praktik kerja dan pemagangan, serta honorarium atau sejenisnya yang dibayarkan kepada peserta praktik kerja dan pemagangan.

Assessment terkait insentif tersebut direncanakan akan dilaksanakan melalui nota kesepahaman antara Kementerian Keuangan (DJP) dengan kementerian terkait seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi.

Pentingnya Insentif

Skema pengurangan pajak super ini merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh beberapa pihak lantaran diharapkan mampu mendongkrak kegiatan pendidikan dan pelatihan vokasi. Ini merupakan salah satu fungsi regulerend pajak yaitu untuk memberikan kontribusi dalam mengatur, mendorong, dan mengendalikan kegiatan ekonomi.

Saat ini, di era industri digital, kebutuhan akan tenaga kerja yang mahir di bidang teknologi sangatlah tinggi. Namun sayangnya, menurut data BPS (Agustus 2018) tingkat pengangguran terbuka masih didominasi oleh pengangguran muda yang berpendidikan SMK yaitu sebesar 11,24%. Artinya, dibutuhkan akselerasi dalam pemenuhan kebutuhan tenaga kerja yang memenuhi ekspektasi pasar melalui serangkaian pendidikan dan pelatihan vokasi.

Sayangnya, pendidikan dan pelatihan vokasi di Indonesia menemui beberapa tantangan. Pertama, biaya untuk melakukan kegiatan tersebut sangat besar sebab memerlukan perangkat yang bermacam-macam sesuai bidang yang ingin dipelajari. Kedua, terbatasnya anggaran yang diberikan oleh pemerintah untuk pendidikan dan pelatihan vokasi.

Menurut data Nota Keuangan dan APBN 2019, alokasi belanja untuk pendidikan dan pelatihan vokasi adalah sebesar Rp17,2 triliun. Apabila dibandingkan dengan PDB Indonesia tahun 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar Rp14.837,4 triliun, maka persentasenya kurang lebih hanya sebesar 0,1%. Padahal, negara-negara anggota OECD rata-rata mengalokasikan hingga 0,6%.

Melihat kondisi di atas, keterlibatan sektor swasta di bidang pendidikan dan pelatihan vokasi sangat diperlukan. Di satu sisi, penggunaan anggaran yang harus dikeluarkan oleh pemerintah akan lebih efektif dan efisien. Para pelajar yang mengikuti pendidikan dan pelatihan vokasi juga akan mempunyai keunggulan yang lebih kompetitif sebab materi yang diajarkan mendekati realitas dunia kerja.

Namun di sisi lain, perusahaan yang berkontribusi dalam kegiatan vokasi ini akan menanggung lonjakan biaya yang lebih tinggi. Di sinilah fungsi pemberian insentif pajak dalam memberikan keringanan dan motivasi lebih bagi para pengusaha.

Kunci Keberhasilan

Pemberian fasilitas pajak harus didesain secara hati-hati, analitis, terukur, terbatas, dan terevaluasi secara periodik. Pemberian fasilitas pajak terutama dalam jumlah yang besar dan jangka waktu lama akan menggerus penerimaan pajak dalam jangka pendek. Untuk itu, tujuan pemberian fasilitas ini harus mempunyai parameter yang jelas sehingga dapat dilakukan analisis perbandingan antara nilai peningkatan kegiatan vokasi dengan nilai belanja perpajakan yang dirilis oleh pemerintah.

Kita mungkin dapat berkaca dari hasil penelitian yang dilakukan Cedefop (2009) pada negara-negara Uni Eropa yang memberikan berbagai macam insentif pajak di bidang pendidikan dan pelatihan. Pertama, dari hasil penelitian tersebut didapatkan data bahwa biaya pengeluaran pajak yang digunakan untuk pendidikan dan pelatihan di 2003 sangat kecil. Artinya, hanya sebagian kecil saja wajib pajak yang menggunakan insentif pajak di bidang pendidikan dan pelatihan.

Kedua, timbul peluang kebocoran pajak yang perlu diwaspadai akibat tidak adanya pengendalian internal yang baik sehingga pengakuan biaya yang diperbolehkan untuk dikurangkan akan berpotensi terdistorsi dan digunakan untuk membiayakan hal-hal di luar kegiatan vokasi. Hal ini akan memunculkan tantangan otoritas pajak dalam melakukan pengawasan di bidang administrasi dan meningkatkan biaya otoritas pajak dalam melakukan pemeriksaan.

Di sisi lain, muncul pula fenomena deadweight effect pada perusahaan besar yang tanpa diberikan insentif memang telah mempunyai alokasi biaya besar untuk kegiatan ini. Artinya, pada kondisi tersebut pemberian insentif hampir tidak ada pengaruhnya. Sebab itu, para ahli merekomendasikan agar pemberian insentif diberikan kepada industri tertentu yang tepat sasaran, misalnya perusahaan rintisan atau industri berskala kecil dan menengah. Hal ini juga sesuai dengan rekomendasi OECD bahwa dalam membuat kerangka kebijakan fasilitas pajak, pemerintah harus melakukan highlight terhadap penerima manfaat terbesar.

Ketiga, pemberian insentif akan dimanfaatkan secara optimal pada negara dengan tingkat birokrasi rendah. Hal ini selaras dengan hasil survei OECD di Eropa Tenggara (2003) bahwa faktor kedua terbesar bagi investor oportunistis adalah birokrasi. Adapun bagi investor yang rasional faktor birokrasi menempati peringkat keempat.

Keempat, pemberian insentif hendaknya merupakan suplemen yang menunjang program-program utama pemerintah. Dengan kata lain, diperlukan strategi superior berskala nasional yang benar-benar mampu menyerap tenaga kerja setelah menyelesaikan pendidikan dan pelatihan vokasi.

Melalui rancangan kebijakan yang tepat dan terjalin sinergi antarlembaga yang berperan utama di bidang pendidikan dan pelatihan vokasi, pemberian insentif super deductible tax akan benar-benar mendorong peningkatan keahlian SDM Indonesia di era Revolusi Industri 4.0. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

 

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…