Tiga Skenario Kenaikan Harga BBM - Rakyat Miskin Paling Kena Dampak

 

NERACA

 

Apabila pemerintah ingin menjadi sedikit tenang dan tidak menjadi  panik setiap kali ada kenaikan minyak mentah dunia, atau fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar, maka ada tiga skenario yang harus diperhatikan oleh pemerintah.

Hal itu diungkapkan oleh H. Haryo Aswicahyono, pengamat ekonomi dari CSIS dalam diskusi yang diadakan lembaga kajian itu pada awal pekan ini.

Menurut Haryo, skenario pertama, jika harga BBM tidak disesuaikan, maka subsidi akan mencapai sekitar Rp. 550 triliun pada 2020.

Skenario kedua, apabila harga BBM hanya dinaikkan sekali menjadi Rp. 6.000, maka besarnya subsidi akan mencapai 400 triliun pada 2020.

Skenario ketiga  dengan menaikkan harga BBM menjadi Rp 6.000 pada 2012 dan seterusnya naik 9.4%/th maka subsidi BBM akan terhapus pada 2020. 

Menurut Haryo, walaupun sebagian besar masyarakat memahami perlunya penghapusan subsidi, namun ragu terhadap manfaatnya.

Haryo mengatakan  harga minyak mentah dunia akan terus membubung di masa depan.

Berdasarkan  short term  Energy Outlook dari US Energy Information Administration, harga minyak mentah  2012-2013 akan berkisar  pada angka US$106 per barel. Long term  outlook  juga menunjukkan  harga minyak  mentah akan naik  rata-rata 5% per tahun.

Harga minyak mentah  Indonesia (ICP) lebih tinggi  dari WTI sejak Juli 2007 karena penyesuaian  formula  untuk menghitung ICP.

Berdasarkan kajian yang diadakan lembaganya, sebagian besar masyarakat tidak sependapat dengan kebijakan subsidi BBM, karena tidak adil (70% menolak vs 23% mendukung).

Kajian itu menemukan sebagian besar dari mereka kurang setuju/tidak ingin terjadi reformasi subsidi BBM (kenaikan harga BBM) di mana 60% menolak vs  40% setuju.

Sedangkan responden menilai komunikasi pemerintah dinilai buruk (80%) karena tidak ada komunikasi aktif melalui media, kelompok masyarakat, komunikasi tidak jelas, tidak transparan, dan tidak mudah dimengerti, serta tidak ada pelibatan publik.

Dia mengatakan faktor-faktor penting yang menentukan besarnya subsidi BBM adalah naiknya harga minyak mentah, apresiasi nilai tukar, dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berimplikasi pada melonjaknya subsidi BBM pada tahun ini dan tahun-tahun ke depan.

Haryo mengatakan subsidi BBM dinikmati oleh kelompok ekonomi masyarakat yang mampu dan lebih baik dialihkan untuk infrastruktur dan bantuan sosial lainnya.

Di satu sisi Haryo menganggap subsidi BBM perlu dihapus secara bertahap dalam jangka waktu tertentu.  Di sisi lain, sebagian besar masyarakat menyadari bahwa subsidi BBM memang tidak adil, namun ragu terhadap kemampuan pemerintah menangani dampak negatif naiknya harga BBM.

Sementara itu,  Profesor Suahasil Nazara, Ketua Dept. Ilmu Ekonomi FE UI dan Koordinator pokja Kebijakan  Tim Nasional Percepatan Kenanggulangan Kemiskinan mengatakan karakteristik kemiskinan Indonesia adalah miskin dan rentan.  

Menurut dia, pendapatan kelompok miskin harus ditingkatkan. Yang pendapatannya sudah di atas garis kemiskinan harus dijaga agar tidak turun.

Menurut Suahasil, kenaikan harga BBM memicu inflasi yang mengancam daya beli penduduk miskin dan rentan, dan karena itu harus ada perlindungan daya beli.

“Karena dampak inflasi hanya sementara, maka perlindungan daya beli juga harus bersifat sementara,” katanya.

Dia mengatakan mitigasi dampak gejolak ekonomi harus memperhatikan kriteria program darurat guna meredam dampak, dengan memberikan bantuan tunai kepada kelompok miskin dan rentan.

            Mitigasi gejolak ekonomi dengan program lain dapat pula dilakukan, misalnya  Raskin, serta subsidi siswa miskin dengan perbaikan pada sistem yang saat ini dijalankan.

 

Masalah Kronis

Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM)  telah menjadi masalah kronis  di dalam perekonomian Indonesia, karena setiap  beberapa tahun  sekali pemerintah Indonesia  harus menghadapi masalah yang  sama, datang lagi dan kembali lagi.

       Yose Rizal Damuri, peneliti Departemen ekonomi CSIS, mengatakan hal itu dalam diskusi Pengurangan Subsidi BBM: Dampak dan Mitigasi Masalah, Senin, 19/3.

Hal itu karena kenaikan  yang cepat dari harga minyak dunia akibat tingginya kebutuhan dan  menurunnya pasok. Selain itu juga karena nilai tukar  yang cenderung bergerak ke atas dan peningkatan yang cepat dair konsumsi BBM, khususnya  dari  transportasi darat.

Harga jual  yang meningkat mungkin sejenak bisa melonggarkan  masalah anggaran, namun dalam jangka panjang diperlukan  solusi  yang lebih permanen, karena selama harga tidak berubah, masalahnya masih tetap akan muncul.

Keadaan ini juga membuat  mekanisme  berbagai penyesuaian harus dilakukan  secara normal.

Menurut Yose, di banyak negara, termasuk di Indonesia terjadi  ketidakefisienan dalam konsumsi.  Hal itu karena  konsumsi BBM di negara-negara yang  memberi subsidi cenderung  di atas rata-rata.

 

Pajak Lebih Mahal   

Penetapan harga BBM di negara  dengan  subsidi, menghambat warga untuk menerima  penyesuaian. Padahal pemerintah dapat mengurangi  konsumsi BBM, menggunakan  energi alternatif dan mengadopsi  teknologi yang lebih efisien.

Penetapan harga juga  membuat efek psikologis yang serius  terhadap  perekonomian dan  sosial. Kenaikan harga  akan disikapi  secara berlebihan, terutama menyangkut  efek domino dari  kenaikan  harga yang tidak beralasan.

Menurut Yose, Indonesia jauh tertinggal  dalam  mengadopsi bahan bakar dan  energi alternatif, karena  ketiadaan infrastruktur dan  kerangka kebijakan  pemerintah yang jelas.

Selain itu juga tiadanya  insentif  ekonomi bagi teknologi bahan bakar kendaraan. Kendaraan  hibrid  dikenakan pajak dua kali lipat  karena mempunyai dua jenis mesin. Pajak barang mewah  diberlakukan terhadap  kendaraan dengan mesin canggih  yang mengonsumsi  lebih sedikit bahan bakar. Ketika harga BBM masih rendah, tidak seorang pun melakukan  tindakan yang bisa meningkatkan efisiensi.  

Konsumsi bahan bakar minyak, merupakan tinjauan jangka panjang.    Dari grafik tampak bahwa sejalan dengan  peningkatan pendapatan, konsumsi bahan bakar minyak juga meningkat secara cepat. Relasinya eksponensial dengan elastisitas 0,8. Di mana setiap kenaikan 1%  dalam pendapatan  menghasilkan  peningkatan konsumsi bahan bakar minyak.

Sedangkan dengan kenaikan harga di sisi lain akan  mengurangi konsumsi. Elastisitasnya adalah  0,36, di mana setiap peningkatan 1% dalam harga, mengurangi  konsumsi dengan 0,36%.  Pengaruh  dari konsumsi  terhadap pensdapatan di Indonesia  adalah jauh lebih tinggi. Elastisitasnya  adalah 1,37 terhadap  kenaikan harga yang tidak responsif.  Sedangkan secara efeknya, meski pun tidak ada kenaikan harga  minyak dunia, subsidi bahan bakar minyak  akan  pasti naik  di masa depan.

 

Simulasi Konsumsi BBM dan Subsidi

 

Harga Minyak Dunia (US$/barel)  95                           105                         120                135

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Konsumsi Tanpa Perubahan        47,62                     47,62                    47,62                    47,62

Harga Domestik (juta kl)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Konsumsi  Dengan Mengikuti     41,47                     39,19                    35,78                    32,16

Harga Pasar Dunia (juta kl)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Konsumsi dengan Subsidi             47,62                   45,99                   43,54                     41,10

Tetap Rp 2.000/liter (juta kl)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Subsidi Total Jika Harga                  106,425              131,732           175,244                218,756

Tetap Rp 4.500/liter (Triliun)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Subsidi Total dengan                      104,758               101,173           95,796                   90,419

Kebijakan Subsidi Tetap Rp 2.200/lt (triliun)

 

 Konsumsi  bahan bakar minyak  dan subsidi  pada 2014  dengan  asumsi bahwa ekonomi  akan tumbuh 6,5% setahun,  dan konsumsi  sekarang  42 juta kiloliter.

Tanpa penyesuaian harga subsidi  yang dapat mencapai  Rp 106 triliun bahkan jika  harga minyak mengikuti  asumsi  anggaran sekarang.

Kalkulasi  yang dipergunakan  adalah  pola global  dari  konsumsi  bahan bakar. Dengan menggunakan pola konsumsi  Indonesia sekarang, tanpa  penyesuaian  konsumsi harga BBM dapat mencapai  61 juta  kiloliter dengan subsidi Rp 114 triliun, kalau  harga minyak tetap  di harga US$95 per barel.

 (agus)

 

 

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…