Mengejar Target Pajak di Tahun Politik

 

Oleh: Khoerul Arif, Staf Direktorat Jenderal Pajak *)

Hingar bingar pesta demokrasi memang luar biasa. Obrolan politik dari pejabat elit sampai wong alit (rakyat kecil) terjadi di mana mana. Ada yang netral, ada juga pendukung kubu sini atau sana. Mereka sama-sama menjadi pengamat politik dadakan. Topik obrolan, dari pribadi hingga prestasi calon, menarik disimak. Tak ketinggalan, obrolan tentang program kerja jika kelak terpilih.

Masing-masing kubu berupaya membuat program untuk menyejahterakan masyarakat. Intinya program untuk membuat kondisi negara ini menjadi lebih baik. Semua program itu butuh dana. Program kerja sebagus apapun menjadi sia-sia jika dana atau uangnya tidak tersedia.

Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No 12 Tahun 2018 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2019 (UU APBN 2019). Di dalam APBN tersebut terlihat apa saja yang menjadi fokus kerja pemerintah tahun ini. Selain itu, juga terlihat berapa uang yang dibutuhkan agar kerja pemerintah bisa terlaksana. Berapa dan dari mana sumber pendapatan negara kita?

Berdasarkan UU APBN, pendapatan negara direncanakan sebesar Rp2.165 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp1.786 triliun atau 82,5 persennya berasal dari perpajakan. Ya, pajak menjadi instrumen utama dalam sistem pendapatan negara kita.

Partisipasi masyarakat atau kepatuhan wajib pajak (WP) menjadi kunci. Dengan pajak kitalah semua program pemerintah bisa terlaksana. Siapapun pemenang pemilu nanti program mereka butuh uang pajak dari masyarakat.

Merealisasikan target pajak bukan perkara mudah. Direktorat Jenderal Pajak (DJP)  mencatat tren penerimaan pajak tidak pernah mencapai 100% selama tahun 2010 sampai dengan 2018. Tahun 2016, penerimaan pajak hanya Rp1.105 triliun atau 81% dari target. Sementara itu, porsi tertinggi terjadi pada tahun 2011, jumlahnya sebesar Rp743 triliun dari target Rp763 triliun atau 97%. Bagaimana dengan tahun 2018? Satu tahun menjelang pemilu 2019 penerimaan pajak mencapai Rp1.315 triliun (92% dari target). Lalu, bagaimana dengan tahun 2019?

Tantangan dan Terobosan DJP

Penerimaan pajak tahun 2019 ditargetkan sebesar Rp1.577,5 triliun. Namun, beberapa masalah terus menghantui DJP. Sedikitnya ada tiga tantangan yang dihadapi, yaitu: (a) administrasi perpajakan yang belum baik, (b) tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah yang ditandai dengan tingginya sektor informal, dan (c) tingkat korupsi yang masih tinggi. Ini dihadapi pula oleh negara-negara berkembang.  Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Yustinus Prastowo, Direktur Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA), di acara diskusi “Ngaji Pajak” tahun 2016.

Berdasarkan laporan tahunan DJP tahun 2017, disebutkan bahwa jumlah WP berjumlah 39.151.603 WP. Komposisinya sebagai berikut: (i) 90,78% merupakan WP orang pribadi, (ii) 7,95% WP badan, dan (iii) sisanya 1,28% WP bendahara. Di sisi lain, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah angkatan kerja pada Februari 2018 sebanyak 133,94 juta orang. Ini artinya masih banyak orang pribadi belum masuk dalam sistem perpajakan.

Selain itu, kepatuhan WP saat ini masih rendah. Tingkat kepatuhan WP menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) tahun 2017 sebesar 72,64%. Persentase ini lebih baik dari pada tahun sebelumnya yang hanya 60,82%. Kita berharap jumlah WP menjadi lebih banyak dan lebih patuh.

Beberapa terobosan sudah dilakukan oleh DJP. Pengampunan pajak dan pengurangan tarif pajak menjadi 0,5% untuk UMKM adalah contohnya. Terbaru, pemerintah melalui Kementerian Keuangan, mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 210 Tahun 2018 yang mengatur mengenai perpajakan atas perdagangan melalui elektronik (E-Commerce).

Pro kontra muncul mengiringi peraturan yang akan berlaku pada 1 April 2019 nanti. Jika dilihat lebih dalam, aturan tersebut bukanlah sesuatu yang baru. PMK No 210/2018 menegaskan bahwa masyarakat yang mempunyai penghasilan dan telah sesuai peraturan harus memenuhi kewajiban perpajakannya. Selama ini pelaku dagang melalui elektronik cenderung tidak tersentuh aparat pajak dibanding pedagang konvensional. Oleh karena itu, PMK tersebut hadir untuk memberi keadilan. Semua mempunyai hak dan kewajiban yang sama, termasuk dalam hal membayar pajak.

Kebijakan Perpajakan 2019

Mungkinkah target pajak 2019 bisa dicapai oleh DJP? Mungkin iya, mungkin saja tidak. Tahun 2019 merupakan tahun politik yang cukup penting. Pada tahun ini pertama kali diselenggarakan pemilihan presiden, DPR/D dan DPD secara serentak. Tentu gejolak politik yang terjadi akan berimbas pada kinerja ekonomi. Bagus atau tidaknya ekonomi kita akan berimbas pada realisasi penerimaan pajak.

Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, pemerintah telah menyiapkan beberapa kebijakan teknis dalam bidang perpajakan. Pertama, Penguatan fungsi pelayanan (tax service) dalam rangka mendorong terciptanya kepatuhan WP secara sukarela. Sistem perpajakan kita adalah self assesment. WP melaporkan (kepatuhan formal) dan membayar pajaknya sendiri (kepatuhan material).  Keberhasilan self assesment tergantung pada kejujuran dari WP. Di sisi lain, WP cenderung untuk memenuhi aturan perpajakan dengan benar jika DJP dapat menunjukkan kepada publik bahwa pengelolaan pajak dilakukan dengan benar dan sesuai dengan keinginan WP (John Hutagaol, 2013).

Kedua, Peningkatan efektivitas pengawasan dalam rangka meningkatkan kepatuhan WP antara lain melalui implementasi Automatic Exchange of Information (AEoI) dan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Saat ini kita memiliki UU No 9 Tahun 2017 yang mengatur tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Salah satu kendala DJP adalah data yang terbatas. Dengan UU tersebut DJP lebih mudah untuk menganalisa potensi pajak yang ada.

Ketiga, Ekstensifikasi dan peningkatan pengawasan sebagai tindak lanjut pasca program tax amnesty. Program pengampunan pajak dilaksanakan mulai tanggal 1 Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017. Hasilnya, uang tebusan Rp114,54 T, harta yang diungkapkan Rp4.884,26 T. Perlu dilakukan pengawasan yang intensif agar data dan informasi dari pengampunan pajak menjadi berguna.

Keempat, Peningkatan efektivitas fungsi ekstensifikasi melalui pendekatan end-to-end antara lain penanganan sektor informal (UMKM) melaui pendekatan Bussines Develpment Services (BDS). Konsep BDS merupakan salah satu upaya DJP untuk mengembangkan UMKM. Dengan BDS UMKM tidak hanya dituntut untuk membayar pajak melainkan didampingi agar UMKM tetap eksis dan mempunyai profit yang lebih.

Kelima, Pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) secara berkeadilan. Tentu dengan penegakan hukum yang berkeadilan dan proporsional diharapkan WP lebih patuh dan berhati-hati dalam melaporkan pajaknya.

Terakhir, Melanjutkan reformasi perpajakan secara komprehensif baik menyangkut SDM, peraturan perpajakan, teknologi informasi, maupun penyempurnaan proses bisnis. Reformasi perpajakan jilid baru sudah lama dinanti baik oleh insan pegawai pajak maupun wajib pajak. Hal ini karena situasi global dan regional yang terus bergerak dinamis sehingga instansi pajak dituntut untuk bisa mengimbangi arus perubahan tersebut serta menjawab tantangan yang selama ini dihadapi oleh instansi DJP.

Salah satu fungsi pajak adalah redistribusi pendapatan. Pemerintah dalam hal ini DJP bertanggungjawab menjalankan fungsi tersebut. Perlu dukungan nyata dari masyarakat agar fungsi pajak tersebut benar-benar terwujud. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

 

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…