Pengawasan Perbankan dan Harga Minyak

 

Oleh: Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis

 

Sejarah memperlihatkan bahwa harga minyak yang rendah berjalan seiring dengan lemahnya pengawasan perbankan. Hal itu terlihat nyata khususnya di Indonesia pada 1980-an ketika harga minyak menukik turun. Pada April 1979, Presiden Jimmy Carter mengesahkan sebuah perintah eksekutif yang menghapus kontrol pasar terhadap produk minyak bumi pada Oktober 1981, sehingga harga akan sepenuhnya ditentukan oleh pasar bebas. Presiden Ronald Reagan juga menandatangani sebuah perintah eksekutif pada 28 Januari 1981, yang memungkinkan pasar bebas untuk menyesuaikan harga minyak di Amerika. Kebijakan ini mengakhiri penarikan minyak-minyak lama dari pasar dan juga mengakhiri kelangkaan, yang pada akhirnya mendorong meningkatnya produksi minyak.

Pajak minyak di Amerika diturunkan pada Agustus 1981 dan dihapus pada 1988, yang mengakhiri disinsentif terhadap produsen minyak Amerika. Selain itu, ladang minyak Prudhoe Bay di Alaska memasuki puncak produksi, yang memasok Pantai Barat Amerika dengan produksi minyak mentah hingga 2 juta barel per hari. Harga minyak tidak pernah kembali pada tingkat pra-1973, baik secara riil ataupun nominal, bahkan selama banjir minyak 1980-an.

Jatuhnya harga minyak pada 1986 menguntungkan negara-negara konsumen minyak seperti Amerika Serikat, Jepang, Eropa, dan negara-negara Dunia Ketiga, namun di sisi lain juga menyebabkan kerugian bagi negara-negara produsen minyak di Eropa Utara, Uni Soviet, dan OPEC (termasuk Indonesia). Kondisi ini kemudian diikuti oleh kebijakan deregulasi sektor keuangan di Indonesia pada 1988. Paket kebijakan paling fenomenal pada era Soeharto adalah Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 atau Pakto 88. Salah satu ketentuan fundamental  dalam Pakto 88 adalah pendirian bank swasta nasional dipermudah.

Bank Indonesia mencatat pada September 1988, jumlah perbankan nasional hanya 108 bank umum yang terdiri dari enam bank pemerintah, 64 bank swasta, 27 BPD, 11 bank campuran. Total kantor bank umum pada periode itu sebanyak 1.359 unit. Tetapi setelah adanya Pakto 88, pada akhir tahun buku 1988/1999 jumlahnya meningkat menjadi 1.525 unit. Puncak penambahan bank adalah tahun 1994, di mana jumlah bank swasta mencapai 166 unit, bank campuran 40 unit, dan BPR 9.196 unit. Meskipun krisis rupiah dimulai pada bulan Juli dan Agustus 1997, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi muncul pada neraca perusahaan.

Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh devaluasi rupiah terhadap dollar Amerika. Kredit macet meledak dan bank-bankpun mulai mengalami krisis likuiditas dan solvabilitas. Pada saat tekanan terhadap rupiah Indonesia akhirnya terlalu kuat, rupiah diputuskan untuk diambangkan bebas pada Agustus 1997. Dan sejak saat itu mulailah terjadi depresiasi yang sangat signifikan. Pada tanggal 1 Januari 1998, nilai nominal rupiah hanya 30% dari nilai yang pernah dicapai pada Juni 1997. Pada tahun-tahun sebelum 1997 banyak perusahaan swasta di Indonesia yang memperoleh pinjaman luar negeri jangka pendek yang tidak dilindungi terhadap gejolak nilai tukar dalam mata uang dolar Amerika, dan utang sektor swasta yang sangat besar ini ternyata menjadi bom waktu yang menunggu untuk meledak.

Berlanjutnya depresiasi rupiah hanya memperburuk situasi secara drastis. Perusahaan-perusahaan di Indonesia berlomba-lomba membeli dolar sehingga menimbulkan lebih banyak tekanan terhadap rupiah dan memperburuk situasi utang yang dimiliki oleh para perusahaan. Dapat dipastikan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia (termasuk bank-bank, beberapa di antaranya diketahui sangat lemah sekali) akan menderita kerugian yang amat besar. Persediaan devisa menjadi langka karena pinjaman-pinjaman baru untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak diberikan oleh kreditur asing. Mengapa pengawas perbankan tidak mengantisipasi hal ini dan tidak melakukan pengawasan dengan baik? Hal ini dapat terjadi karena pengawasan perbankan pada saat itu menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang bersifat sangat sederhana yaitu pengambilan keputusan berdasarkan berbagai pertimbangan yang sebetulnya merupakan tingkat keputusan yang lebih banyak membutuhkan informasi, dan informasi tersebut dikumpulkan serta dianalisis untuk dipertimbangkan agar menghasilkan keputusan.

Padahal cara dan metode pengambilan keputusan pengawasan perbankan yang harusnya dilakukan pada saat itu ketika harga minyak sangat rendah adalah dengan metode pengambilan keputusan yang bedasarkan ketidakpastian ganda, yang sebetulnya merupakan tingkat pengambilan keputusan yang paling kompleks. Metode ini memerlukan jumlah informasi yang diperlukan yang semakin banyak dibandingkan dengan metode yang diterapkan oleh Bank Indonesia pada saat itu dan selain itu, dalam kondisi informasi yang sudah ada terdapat ketidakpastian. Keputusan semacam ini lebih banyak mengandung risiko dan terdapat keraguan dalam pengambilan keputusannya.

Ketidakpastian ganda terjadi karena, pertama, adanya keragu-raguan bahwa Presiden Soeharto tidak dapat memerintah lagi karena sakit. Kedua, adanya ambivalensi antara Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Peran bank milik pemerintah dalam hal asset dan kredit masih sangat dominan sehingga kepentingan politik kekuasaan semakin meracuni cara berpikir pengambil keputusan. Mereka terjebak dalam  tipe pengambilan keputusan ekpolorasi yang merupakan keputusan yang kurang akan informasi dan tidak ada kata sepakat yang dianut untuk memulai mencari informasi serta tidak tahu dari mana usaha pengambilan keputusan akan dimulai. Sementara Menteri Koordinator Perekonomian dan Gubernur Bank Indonesia hanya terlatih dengan tipe keputusan empiris yang merupakan keputusan yang kurang memiliki informasi namun mengetahui bagaimana memperoleh informasi dan pada saat informasi itu diperoleh (dinamakan keputusan empiris).

Ketidakcermatan ini menyebabkan fungsi koordinasi pengawasan perbankan dan antisipasi risiko dari penurunan harga minyak pada saat itu bukan hanya tidak ada, tetapi juga sangat bersifat destruktif bagi perekonomian Indonesia. Semoga turunnya harga minyak tahun ini dan mendatang tidak melemahkan pengawasan perbankan seperti di masa lalu.

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…