Bencana dan Tanggung Jawab Sosial

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

Refleksi akhir tahun terkait maraknya bencana sepanjang tahun 2018 menjadi tantangan mereduksi dampak bencana secara berkelanjutan. Oleh karena itu bencana tsunami Selat Sunda memicu kerugian yang sangat besar. Penanganan pasca bencana harus secepatnya dilakukan, baik oleh pemerintah pusat, ataupun terutama pemerintah daerah. Tindakan cepat tanggap ini tidak lain dimaksudkan agar sektor riil yang melibatkan peran sektor informal bisa secepatnya bangkit sehingga kinerja perekonomian pasca bencana bisa dilakukan. Di satu sisi ini tentu butuh pendanaan yang tidak kecil dan di sisi lain kendala pendanaan menjadi alasan klasik di semua bentuk penanganan pasca bencana.

Mengacu dari sejumlah bencana bahwa biaya rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa Jogja beberapa waktu lalu meningkat dari Rp. 1,8 triliun menjadi Rp. 5 triliun. Padahal, hibah yang masuk US$ 2,5 juta. Pemerintah juga memberikan jaminan hidup tiga bulan bagi 823.841 pengungsi yang rumahnya rusak berat dan selama sebulan untuk 705.878 jiwa yang rumahnya rusak ringan. Pendanaan yang dianggarkan melalui APBN - hibah. Pembengkakan dana memang beralasan terutama dikaitkan komitmen membangkitkan kinerja ekonomi kerakyatan pasca bencana. Padahal, ada banyak sentra industri yang hancur. Oleh karena itu, kasus bencana tsunami di Selat Sunda juga membutuhkan dana yang tidak kecil dan sinergi dengan semua pihak sangat diperlukan.

Pendanaan

Untuk kasus bencana gempa di Jogja, catatan dari Deplu RI menyebutkan total bantuan sejumlah negara - lembaga asing untuk penanganan korban pasca gempa mencapai US$ 47,7 juta dari 14 negara dan 1,6 juta euro dari tiga negara. Bantuan luar negeri datang antara lain dari Cina US$ 2,0 juta, Kuba dan Arab Saudi US$ 5 juta, Jepang 1,11 miliar yen, AS US$ 2,5 juta, Kuwait US$ 4,0 juta, Australia US$ 5 juta, Korsel US$ 100.000, Kanada US$ 2,0 juta, dan juga Inggris 3 juta pound sterling. Selain itu, ADB memberi bantuan US$ 60 juta yang terdiri dari US$ 10 juta dalam bentuk hibah dan US$ 50 juta berbentuk pinjaman lunak.

Dibalik urgensi pendanaan itu, masyarakat lebih sering mendengar kasus penyimpangan pelaksanaan program dan dugaan penyelewengan dana bantuan. Pada akhirnya, para korban tidak terbantu. Seperti halnya yang terjadi dalam bencana gempa di Yogyakarta - Jawa Tengah lalu, pemerintah dengan bantuan masyarakat internasional, menyiapkan dana triliunan rupiah untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang terkena gempa. Sayangnya, kelemahan dalam pengelolaan terus menggelayuti tubuh pemerintah. Fakta yang ada, sejumlah dana untuk korban juga banyak yang menguap entah kemana. Hal ini tentu tidak bisa terlepas dari fakta maraknya korupsi di republik ini. Artinya, dibalik bencana masih saja ada oknum yang mencari keuntungan sepihak dengan mengabaikan nasib para korban bencana.

Berkaca dari kasus Aceh dan bencana lain di berbagai daerah, maka rehabilitasi bencana harus bisa lebih proaktif agar berbagai kesalahan yang pernah terjadi sebelumnya tidak terulang. Sayangnya, sampai kini ternyata ada indikasi bahwa kesalahan alokasi bantuan juga muncul. Paling tidak, ini terlihat dari pemberitaan dimana masih ada korban yang belum tersentuh bantuan. Oleh karena itu, sangat beralasan jika kemudian ada inisiatif dari korban bencana mengirim berita ke berbagai media tentang belum diterimanya bantuan. Sikap proaktif ini juga diikuti oleh masyarakat luas yang berkenan memberi sumbangan secara moril atau materiil secara langsung kepada korban tanpa melalui jalur posko-posko bantuan yang memang merebak di daerah bencana.

Kontinuitas

Tanpa bermaksud berprasangka buruk bahwa keberadaan posko-posko tersebut memang  di satu sisi memberi kontribusi positif, tetapi di sisi lain ada juga rumor negatif bahwa posko-posko tersebut tidak menyalurkan sumbangan secara tepat. Dibalik kontroversi ini maka beralasan jika kemudian banyak masyarakat yang menyalurkan sendiri bantuannya secara langsung kepada korban. Tindakan ini juga dilakukan sejumlah perusahaan. Ini pada dasarnya menunjukan adanya implementasi riil atas tuntutan atau bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility – CSR). Selain publisitas, fakta menunjukan bahwa komitmen CSR di Indonesia bukan sesuatu yang baru sebab sudah banyak pihak mensosialisasikan CSR bagi perusahaan yaitu selain untuk menjaga nilai kontinuitas, juga membangun legitimasi sosial. Bahkan, ada yang meyakini CSR adalah bagian dari filosofis etika bisnis.

Jones (2001) meyakini bahwa perusahaan perlu melakukan aksi moral, misal penerapan prinsip “golden rule” yang mengajarkan perusahaan memperlakukan masyarakat secara lebih terhormat seperti yang juga diinginkan perusahaan dari masyarakat. Konsep ini secara riil menegaskan bahwa “the right action produces a greatest benefit for the most people”. Terkait ini, Steiner (1994) menegaskan 3 alasan penting dibalik CSR, pertama: perusahaan adalah bagian masyarakat, jadi harus merespon permintaan masyarakat, baik diminta langsung ataupun tidak, kedua: kepentingan bisnis jangka panjang ditopang semangat tanggung jawab sosial itu sendiri karena ada simbiosis antara masyarakat dan perusahaan, dan yang ketiga: aksi tanggung jawab sosial adalah salah satu cara untuk meminimalisasi kritik masyarakat, meski kritik juga penting bagi perusahaan.

Dari kasus ini maka penanganan pasca bencana harus cepat dan sistematis agar kebangkitan sektor riil tidak tertatih dan para korban bisa terpacu semangatnya lagi untuk lebih produktif. Selain itu, kepedulian sosial juga penting untuk memacu geliat ekonomi secara konkret.

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…