Harga BBM Nonsubsidi di RI Lebih Mahal dari AS dan Malaysia: Eksploitasi Konsumen?

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Sejak awal 2018 harga minyak mentah dunia naik pesat dan mencapai puncaknya pada awal Oktober 2018. Harga minyak mentah jenis Brent naik dari 66,57 dolar AS per barel pada awal tahun 2018 menjadi 86,29 dolar AS per barel pada 3 Oktober 2018, atau naik sekitar 29,6 persen selama 9 bulan. Setelah mencapai puncaknya, harga minyak mentah dunia kemudian turun drastis. Harga Brent turun dari 86,29 dolar AS per barel menjadi 57,24 dolar AS per barel, atau turun 33,7 persen dalam waktu dua setengah bulan saja. Penurunan harga minyak mentah dunia ini seharusnya merupakan berkah bagi konsumen BBM di seluruh dunia.

Di Amerika Serikat (AS), harga BBM rata-rata (semua negara bagian) di SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) untuk jenis RON 92, atau setara Pertamax, Shell Super, Total Performance 92 dan sejenisnya, turun dari 2,903 dolar AS per gallon pada 8 Oktober 2018 menjadi 2,369 dolar AS per gallon pada 17 Desember 2018. Harga di SPBU tersebut sudah termasuk pajak BBM rata-rata nasional sebesar 48,8 sen dolar AS per barel. Dengan menggunakan kurs Rp14.500 per dolar AS, maka harga BBM RON 92 rata-rata di SPBU AS tersebut setara dengan Rp9.075 per liter.

Harga BBM di SPBU AS tersebut ternyata jauh lebih murah dari harga BBM sejenis di Indonesia. Harga BBM RON 92 di Indonesia saat ini, termasuk PBBKB (Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor) dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) masing-masing sebesar 5 persen dan 10 persen, berkisar antara Rp9,800 hingga Rp10.800 per liter: ExxonMobil Rp9.800, Pertamina Rp10.400 dan lainnya (Shell, Total, APR) Rp10.800 per liter. APR singakatan dari Aneka Petroindo Raya, perusahaan patungan antara AKR (Aneka Kimia Raya) dengan BP (British Petroleum).

Untuk BBM jenis RON 95, yaitu sejenis Shell V-Power atau Total Performance 95, harga rata-rata di SPBU AS hanya Rp10,700 per liter, juga jauh lebih murah dari harga BBM sejenis di SPBU Indonesia yang dipatok sekitar Rp12,300 per liter, atau 15 persen lebih mahal dari harga di AS.

Kalau kita keluarkan faktor pajak BBM, maka harga BBM net pajak untuk jenis RON 92 di AS hanya Rp7.206 per liter, masih jauh lebih murah dari harga BBM sejenis di Indonesia yang berkisar antara Rp 8.485 per liter (ExxonMobil), Rp9.004 per liter (Pertamina) dan Rp9.351 per liter untuk perusahaan distribusi BBM lainnya. Untuk BBM jenis RON 95, harga rata-rata di AS tidak termasuk pajak BBM hanya Rp8.830 per liter, juga jauh lebih murah dari harga BBM sejenis di Indonesia sebesar Rp10.649 per liter, atau sekitar 20 persen lebih mahal dari AS.

Sebagai tambahan perbandingan, harga BBM RON 95 di tingkat SPBU di Malaysia hanya 2,2 ringgit Malaysia per liter, tidak termasuk pajak BBM karena Malaysia tidak mengenakan pajak penjualan pada komoditas BBM. Dengan menggunakan kurs Rp3.447 per ringgit Malaysia, maka harga BBM RON 95 tersebut setara dengan Rp7.583 per liter, jauh lebih murah dari harga BBM sejenis di Indonesia yang sebesar Rp10.649.

Mengapa harga BBM di AS atau di Malaysia bisa jauh lebih murah dari harga BBM sejenis di Indonesia?

Hal tersebut dapat terjadi karena pemerintah di AS atau di Malaysia bekerja demi kepentingan dan keadilan bagi masyarakat luas. BBM adalah salah satu cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, oleh karena itu konsumen BBM harus diperhatikan kepentingannya agar tidak tereksploitasi oleh kekuatan pasar yang cenderung oligopolistik karena terdiri dari beberapa gelintir perusahaan besar saja.

Di AS yang menganut persaingan (dan pasar) bebas, pemerintahnya sangat memperhatikan, dan mengawasi secara ketat, agar harga pasar terbentuk secara adil, alias tidak ada permainan harga (price fixing). Bagi perusahaan yang ketahuan melakukan price fixing maka harus menanggung konsekuensi serius.

Sedangkan di Malaysia, pembentukan harga BBM turut ditentukan oleh pemerintah sehingga perusahaan distribusi BBM tidak dapat mengeksploitasi konsumen BBM untuk memperoleh laba sebesar-besarnya, atau laba abnormal, alias laba oligopolistik.

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah pemerintah sudah cukup memperhatikan kepentingan konsumen BBM (nonsubsidi) agar tidak tereksploitasi oleh kekuatan pasar? Apakah pemerintah Indonesia sudah berlaku adil terhadap konsumen BBM (nonsubsidi)? Apakah pemerintah dapat menghitung laba perusahaan distribusi BBM di Indonesia yang memasang harga BBM jauh lebih tinggi dari harga di AS maupun Malaysia? (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Kebijakan Strategis Pemerintah Wujudkan Ketahanan Ekonomi Nasional

  Oleh : Azahrin, Mahasiswa FEB Unair   Ketahanan ekonomi nasional telah menjadi prioritas bagi pemerintahan di berbagai belahan dunia,…

Tanpa Oposisi, Bagaimana Mungkin Ada Demokrasi?

  Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa Pemilu 2024 sudah selesai. Siapa presiden dan anggota DPR-nya, sudah tercatat…

Pembangunan IKN Dorong Inovasi dan Meningkatkan Pendidikan

  Oleh : Gavin Asadit, Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Kebijakan Strategis Pemerintah Wujudkan Ketahanan Ekonomi Nasional

  Oleh : Azahrin, Mahasiswa FEB Unair   Ketahanan ekonomi nasional telah menjadi prioritas bagi pemerintahan di berbagai belahan dunia,…

Tanpa Oposisi, Bagaimana Mungkin Ada Demokrasi?

  Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa Pemilu 2024 sudah selesai. Siapa presiden dan anggota DPR-nya, sudah tercatat…

Pembangunan IKN Dorong Inovasi dan Meningkatkan Pendidikan

  Oleh : Gavin Asadit, Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia…