Menekan Inflasi Mengorbankan Petani

Oleh: Sarwani

Dalam ekonomi salah satu hantu yang paling ditakuti adalah inflasi. Berbagai cara dilakukan untuk mengusir ‘genderuwo’ itu, mulai dari mengendalikan harga, menjaga pasokan, mengatur permintaan, memperlancar distribusi, hingga menstabilkan nilai tukar.

Salah satu komponen pembentuk inflasi yang relatif besar di Indonesia adalah harga beras karena ia merupakan makanan pokok hampir seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Ditempatkannya beras pada ‘posisi yang terhormat’ menunjukkan kalau ia penting untuk ‘dikendalikan’ dibandingkan komponen lain seperti gula, garam, minyak goreng, tepung, minuman dalam kemasan, rokok, transportasi, dan pendidikan.

Dengan pendekatan tersebut maka harga beras harus ditekan serendah mungkin agar inflasi bisa dijaga. Caranya; pasokan dibuat selalu cukup agar tidak terjadi lonjakan harga, menetapkan patokan harga eceran tertinggi (HET) beras, menjaga agar harga gabah kering giling tidak naik.

Namun kebijakan ini memakan korban bangsa sendiri sebagai anak negeri, yakni para petani. Mereka tidak menikmati harga keekonomian. Harga beras naik sedikit langsung diintervensi  dengan menggelontorkan beras impor melalui operasi pasar. Kadang terkesan berlebihan, mengimpor beras secara besar-besaran dengan alasan produksi beras diprediksi berkurang.

Kebijakan yang bersifat disinsentif ini membuat petani ogah-ogahan menanam padi. Kalau bukan karena tidak ada pilihan pekerjaan lain, mereka niscaya sudah meninggalkan sawah ladang, hijrah ke kota mencari pendapatan yang lebih layak.

Kebijakan yang keliru ini juga yang menyebabkan banyaknya konversi lahan sawah menjadi perumahan atau kawasan industri, sehingga produksi beras nasional terus merosot.  Rata-rata alih fungsi lahan persawahan mencapai 120.000 hektar per tahun.

Insentif yang diberikan sangat minim. Dana irigasi untuk mengoperasikan dan merawat (operating and maintenance) irigasi nilainya kecil, sehingga banyak irigasi yang dibiarkan rusak. Lahanpun berubah menjadi teknis tadah hujan. Dalam kondisi tersebut maka ia keluar dari jerat peraturan yang melarang konversi lahan.

Sudah harganya dipatok pemerintah, produktivitas petani juga rendah yang membuat produksi padi per hektare relatif sedikit. Berdasarkan Outlook Padi yang dirilis Kementerian Pertanian pada tahun 2016, produktivitas padi Indonesia dalam kurun waktu 2010-2014 sebesar  5,7 ton per hektar,  di atas produktivitas padi dunia sebesar 4,47 ton per hektare. Namun dibandingkan dengan Vietnam lebih rendah. Negara komunis tersebut mampu memproduksi padi  6,67 ton per hektar.

Selain itu, ongkos produksi padi masih tinggi sehingga menghambat upaya pemerintah dalam meraih sasaran sebagai lumbung pangan dunia pada 2024. Biaya untuk menghasilkan padi di Tanah Air lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam, Thailand, China, dan India.

Menurut data  International Rice Research Institute (IRRI), biaya produksi padi di Nusantara pada periode 2016-2017 lebih tinggi 2,5 kali lipat dibandingkan dengan Vietnam. Kongkritnya, ongkos produksi padi di sini sebesar Rp 4.079 per kilogram, sementara di Vietnam  hanya Rp1.619 per kilogram, Thailand Rp2.291 per kilogram, India Rp2.306 per kilogram, dan China Rp3.661 per kilogram.

Dengan struktur biaya seperti itu sangat sulit bagi petani Indonesia mendapatkan margin keuntungan yang bagus. Dengan patokan harga pokok penjualan padi sebesar Rp3.700, petani menelan kerugian  Rp379 per kilogram.

Perlu perbaikan dalam struktur biaya agar dapat ditekan serendah mungkin. Biaya-biaya yang tidak perlu dihapuskan, diberikan subsidi amoniak yang menjadi bahan pembuatan pupuk, dan diberikan kredit pertanian berbiaya murah.

Dengan struktur biaya yang rendah petani Indonesia baru bisa bersaing dengan petani Vietnam dan negara lain. Pemerintah tidak perlu khawatir harga beras akan mengerek inflasi karena komponen pembentuk biaya produksi menjadi lebih rendah. Petani pun masih menikmati margin yang cukup tinggi.

Jika tidak ada perbaikan kebijakan dan mengubah pendekatan maka beras akan selalu menjadi momok yang menakutkan bagi perekonomian. Inflasi akan mudah melambung dan pada akhirnya lagi-lagi petani  harus berkorban demi stabilitas ekonomi yang semu. (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…