Vonis Hakim atas SAT Tolok Ukur Kepastian Hukum

Vonis Hakim atas SAT Tolok Ukur Kepastian Hukum

NERACA

Jakarta - Vonis hakim Pengadilan Negeri Tipikor terhadap mantan Ketua Badan Penyehatan Perbanlan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) merupakan salah satu tolok ukur jaminan kepastian hukum di Indonesia. Bila SAT dibebaskan, hal tersebut membuktikan hakim menghormati kepastian hukum. Namun bila SAT dijatuhi hukuman penjara, hal tersebut bisa dipersoalkan dunia usaha sebagai bukti tidak adanya konsistensi kebijakan negara.

Menurut rencana, majelis hakim Pengadilan Tipikor akan membacakan keputusannya terhadap SAT pada Senin (24/9) yang akan datang. Sebelumnya jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut SAT dengan hukuman penjara 15 tahun ditambah denda Rp 1 milyar subsider enam bulan kurungan. SAT dipersalahkan KPK karena memberikan surat keterangan lunas (SKL) kepada pemegang saham BDNI pada 2004, yang dianggap KPK sebagai penyalahgunaan wewenang serta memperkaya orang lain dan korporasi.

Ekonom senior Fadhil Hasan mengatakan pekan ini bahwa majelis hakim seyogyanya mempertimbangkan aspek-aspek yang lebih luas mengingat kasus ini menjadi perhatian masyarakat, khususnya oleh kalangan dunia usaha. Tindakan SAT sebenarnya menjalankan keputusan politik pemerintah yang sedang berusaha keras bisa keluar dari krisis ekonomi. Pemberian SKL tersebut dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi pengusaha yang koperatif dan telah memenuhi kewajibannya. 

Sesuai data Kementrian Keuangan masih banyak  obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang hingga saat ini tidak koperatif dan sengaja menghindari kewajiban mereka. Pemegang saham BDNI telah membayar kewajibannya sesuai skema MSAA pada 1999. Sesuai UU No 25/2000 debitur BLBI yang telah menandatangani dan memenuhi MSAAdiberikan jaminan kepastian hukum, yang kemudian disusul Inpres No 2 Tahun 2002 bahwa debitur yang kooperatif akan diberikan kepastian hukum.

Kejanggalan

Sebelumnya, Chairman InfoBank Institute, Eko B Supriyanto, dalam analsisisnya membeberkan sejumlah kejanggalan, yang memperlihatkan kelemahan tuduhan jaksa KPK. Beberapa hal yang disoroti Eko, antara lain sebagai berikut:

Pertama, masalah audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam kerangka penyelesaian masalah BLBI-BDNI tersebut, BPK telah melakukan audit pada 2002 dan 2006. Hasilnya, seluruh kewajiban Sjamsul Nursalim (SN) selaku pemegang saham BDNI  sudah dilunasi dan tidak ditemukan masalah. Laporan Audit Investigatif BPK 2017 diminta oleh KPK setelah SAT ditetapkan sebagai tersangka,  hasilnya bertolak belakang dengan dua audit BPK sebelumnya, yaitu terdapat kerugian negara dalam penyelesaian BLBI-BDNI.

Audit investigatif tersebut tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan yang diatur oleh BPK sendiri, yaitu Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017, khususnya butir 21 sampai dengan 26. Sesuai dengan Pasal 6 ayat 5 UU BPK, suatu laporan audit harus memiliki pihak yang diperiksa (auditee) dan harus dikonfirmasi ke auditee-nya, serta harus menggunakan data primer. Tapi dalam Laporan Audit Investigatif BPK 2017 tersebut tidak ada auditee yang diperiksa, dengan sendirinya tidak pernah terkonfirmasi. Data yang digunakan bukan data primer, melainkan data sekunder.

Kedua, masalah misrepresentasi. Ahli hukum perdata Prof Nindyo Pramono dalam kesaksiannya menyatakan bahwa dalam suatu perjanjian perdata, termasuk dalam hal ini Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), penetapan terjadi misrepresentasi atau tidak, harus melalui keputusan pengadilan. Karena dalam hukum perdata suatu misrepresentasi tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan."Jalurnya digugat dahulu di perdata, dibuktikan dahulu misrepresentasi atau tidak," kata Prof Nindyo Pramono.

Ketiga, masalah kerugian negara. Ketika BPPN dibubarkan maka hak tagih beralih ke Kementerian Keuangan. BPPN telah menyerahkan hak tagih atas aset BDNI senilai Rp 4,8T pada 2004, namun kemudian aset tersebut dijual oleh Menteri Keuangan pada 2007 senilai Rp 220 M. Jadi yang menjual aset tersebut bukan SAT ketika menjadi Ketua BPPN, melainkan Menteri Keuangan saat itu.

Keempat, masalah pemidanaan kasus perdata. Pemerintah dan SN sebagai PS BDNI telah terikat perjanjian keperdataan yang dirancang oleh pemerintah sendiri, yaitu MSAA. Sesuai situasi krisis waktu itu (1998), MSAA dirancang dan diterapkan bagi PS bank yang kooperatif dan memiliki aset cukup untuk membayar BLBI.

Kelima, masalah saksi dari petambak. Persidangan kasus SAT ini tidak mendengar kesaksian petambak secara berimbang. Jaksa hanya memanggil saksi-saksi yang bisa memperkuat tuduhan, namun sidang pengadilan ini tidak mendengar saksi para petambak yang diajukan oleh pihak terdakwa.

Keenam, penyelesaian kewajiban diselesaikan dengan MSAA dan disepakati diluar pengadilan (out of court settlement) dan perdata serta sudah di akta notariskan. Plus pemberian SKL secara hukum sudah terpenuhi dengan mengikuti seluruh proses, seperti UU No 25 Tahun 2000 tentang Propenas, Inpres No 8 tahun 2002, Tap MPR X/2001 dan Tap MPR VI/2002. Pemerintah sendirisudah menyatakan SKL-BDNI tidak bermasalah.

Ketujuh, tidak ada gratifikasi – atau penerimaan uang baik dirinya maupun keluarganya ataupun Operasi Tangkap Tangan (OTT). Tidak dituduhkan menerima gratifikasi.

Harus Konsisten

Fadhil Hasan juga menggarisbawahi kekhawatiran Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Haryadi B Sukamdani , bahwa pembongkaran kasus yang sudah lama bisa menimbulkan demotivasi bagi dunia usaha. Hal tersebut tidak produktif di tengah upaya pembangunan nasional yang membutuhkan investasi besar untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja.

Karenanya, ia sependapat dengan appeal berbagai kalangan, khususnya dunia usaha, bahwa sebagai Ketua BPPN, SAT telah menjalankan keputusan politik negara dan pemerintah saat itu untuk menyehatkan perbankan dan hasilnya bisa dirasakan hingga sekarang ini. Bank-bank sehat dan mampu berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Mohar

BERITA TERKAIT

UU Perampasan Aset dan BLBI Jadi PR Prabowo-Gibran

Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka harus melanjutkan agenda pemberantasan korupsi yang sudah dicanangkan…

Kementan Gandeng Polri Tingkatkan Ketahanan Pangan

NERACA Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menggandeng Polri dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan mewujudkan swasembada pangan seperti yang terjadi…

Remotivi: Revisi UU Penyiaran Ancam Kreativitas di Ruang Digital

NERACA Jakarta - Lembaga studi dan pemantauan media Remotivi menyatakan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, dapat mengancam…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

UU Perampasan Aset dan BLBI Jadi PR Prabowo-Gibran

Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka harus melanjutkan agenda pemberantasan korupsi yang sudah dicanangkan…

Kementan Gandeng Polri Tingkatkan Ketahanan Pangan

NERACA Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menggandeng Polri dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan mewujudkan swasembada pangan seperti yang terjadi…

Remotivi: Revisi UU Penyiaran Ancam Kreativitas di Ruang Digital

NERACA Jakarta - Lembaga studi dan pemantauan media Remotivi menyatakan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, dapat mengancam…