Sidang Lanjutan SKL BLBI - Bantah Tuntutan JPU, Penasehat Hukum SAT Ungkapkan Sejumlah Fakta Penting

Sidang Lanjutan SKL BLBI

Bantah Tuntutan JPU, Penasehat Hukum SAT Ungkapkan Sejumlah Fakta Penting

NERACA

Jakarta - Lebih dari 500 lembar, tim penasehat hukum Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) membacakan pledoinya yang mengungkapkan fakta-fakta hukum penting guna membantah tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK kepada SAT mantan Ketua BPPN, dalam Sidang Lanjutan SKL BLBI, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (14/9). Dalam pledoi berjudul “Si tou timou tumou tou”, tim menegaskan penegakan hukum harus beradab dengan mengikuti due process of law untuk menemukan keadilan. Prinsip ini sejalan dengan makna dari “Si tou timou tumou tou” yang merupakan filosofi perjuangan pahlawan nasional Sam Ratulangi bahwa  manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.

Filosofi ini mungkin dimaknai tim penasihat hukum bahwa dalam penegakan hukum harus mengedepankan sisi kemanusian dengan tetap mengunakan hati nurani dan didasarkan pada fakta yang terungkap dipersidangan. Karena pada sidang sebelumnya (Kamis,13/9), SAT juga membacakan pledoinya yang berjudul  “Perjalanan Menembus Ruang Waktu, Ketidakadilan dan Ketidakpastian: Mengadili Perjanjian Perdata MSAA (Master Settlement and Aqcuisition Agreement) BDNI”. Dalam pledoi setebal 110 halaman itu, SAT menegaskan upayanya yang dalam melakukan pembelaan harus kembali ke masa lalu mengumpulkan bukti-bukti dokumen 20 tahun yang lalu dan kembali lagi ke masa sekarang untuk menghadapi sidang ini demi mencari keadilan.

Dalam pledoi tersebut, tim penasehat hukum menilai JPU KPK tak paham dalam proses pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank BDNI. Imbasnya, dakwaan dan tuntutan kepada SAT menjadi keliru.“Tidak ada satupun fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, yang bisa membuktikan bahwa pemberian SKL kepada SN sebagai pemegang saham pengendali BDNI tersebut melawan hukum,” kata anggota Tim Penasihat Hukum SAT, Ahmad Yani, 

Sebab pada tuntutannya ungkap Yani, JPU telah mencampuradukkan antara kedudukan SAT sebagai Sekretaris KKSK dengan Ketua BPPN. SAT baru diangkat sebagai Ketua BPPN sejak 22 April 2002. Keputusan KKSK atau kebijakan Pemerintah terkait PKPS maupun Hutang Petambak sudah terjadi sebelum SAT menjabat Ketua BPPN.

JPU KPK juga telah membuat penyesatan dengan menempatkan posisi SAT lebih tinggi. Padahal secara hukum dan kelembagaan, KKSK memiliki kewenangan lebih tinggi disbanding BPPN.“Itu artinya SAT tidak bisa dituntut telah melanggar hukum formil karena dia hanya melaksanakan perintah KKSK", pungkasnya.

Anggota penasihat hukum lainnya Jamin Ginting mengungkapkan, JPU juga tidak tepat menggunakan UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara yang diundangkan 14 Januari 2004 untuk menyatakan SAT telah melakukan perbuatan melawan hukum. Penggunaan UU ini tidak berlaku pada BPPN karena lembaga ini bersifat lex specialis terhadap segala peraturan perundang-undang yang ada termasuk UU Perbendaharaan Negara. Posisi lex specialis itu dipertegas dan dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung No. 01.P/HUM/1999 yang isinya pada pokoknya menolak uji materi terhadap PP 17/1999 tentang BPPN dengan menegaskan bahwa PP itu merupakan lex spesialis yang dibuat berdasarkan urgensi dan occassional demand. 

Selain itu lanjut dia, pasal 37 UU Perbendaharaan Negara yang didalilkan oleh JPU terkait dengan penghapus-tagihan piutang negara/daerah mensyaratkan adanya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksanaan atas ketentuan tersebut. Adapun PP yang dimaksud/diperintahkan oleh Pasal 37 UU 1/2004 baru terbit pada tahun 2005 sedangkan masa jabatan terdakwa telah berakhir pada 30 April 2004. 

Jamin juga menegaskan, dalil JPU yang menyatakan BPPN tidak mempunyai kewenangan penghapus-bukuan dan/atau penghapus-tagihan berdasarkan PP 17/1999 BPPN adalah tidak berdasar hukum, mengingat ketentuan tentang restruktrurisasi dan penjualan Aset Dalam Restrukturisasi termasuk penjualan Aset Dalam Restrukturisasi di bawah nilai buku kepada pihak lain yang menyebabkan hapus tagih diatur di dalam Pasal 26 ayat (2) jo. Pasal 29 jo. Pasal 53 ayat (1) huruf h PP 17/1999 tentang BPPN.

Fakta selanjutnya yang diungkapkan Jamin adalah perkara sangkaan tindak pidana korupsi yang didakwakan dan dituntut kepada SAT adalah adanya dugaan misrepresentasi oleh SN atas perjanjian perikatan perdata berupa Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) yang dibuat dan ditandatangani oleh Pemerintah cq. BPPN dengan SN. Dalam fakta persidangan terbukti, perjanjian MSAA ternyata telah diubah sebanyak 5 (lima) kali dalam rentang waktu 1998-1999. Kemudian setelah SN menerima Release & Discharge (R&D) pada 25 Mei 1999 tentang pembebasan Kewajiban BLBI dan BMPK, perjanjian ini tidak pernah ada lagi mengalami perubahan karena SN dinilai telah menyelesaikan seluruh kewajibannya yang dibuktikan dengan penerimaan Surat Pembebasan Kewajiban BLBI dan BMPK atau Release & Discharge (R&D) tersebut. 

Penasehat hukum juga membantah bahwa SAT telah melakukan penghapusbukuan hutang petambak plasma sebagaimana yang didalilkan oleh JPU. Dalam persidangan terbukti, persetujuan penghapus-bukuan dilakukan oleh KKSK berdasarkan Keputusan KKSK tanggal 13 Februari 2004. Terdakwa tidak pernah menindaklanjuti perintah KKSK,  karena masa kerja BPPN telah berakhir pada 27 Februari 2004 sesuai dengan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 2004.

“JPU tidak bisa membuktikan adanya perbuatan terdakwa yang mengeluarkan suatu putusan atau penetapan hutang baru petambak sesuai butir 3 Keputusan KKSK tanggal 13 Februari 2004 dan tidak ada juga keputusan terdakwa selaku Ketua BPPN yang menerbitkan suatu Keputusan Ketua BPPN sebagaimana disyaratkan dalam pasal 29 PP 17 tentang BPPN,” ungkap Jamin.

Ia juga menyatakan, SAT tidak terbukti secara hukum melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma PT. DCD dan PT. WM kepada Konsorsium Neptune dari Group Charoen Pokphand sebesar Rp 220 miliar. Dalam fakta persidangan terbukti bahwa penjualan hak tagih hutang petambak dilakukan oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Perseroan)/PPA pada tahun 2007 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 30/KMK.01/2005.

Terkait dengan adanya kerugian negara, Jamin menyatakan jika quad-non LHP BPK tahun 2017 digunakan untuk menghitung kerugian negara, maka tempus delicti dalam audit BPK LHP tahun 2017 timbul akibat penjualan utang petambak sebesar Rp 220 miliar yang dilakukan oleh PT PPA  berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan pada tahun 2007.“Peristiwa ini terjadi setelah terdakwa tidak lagi menjadi Ketua BPPN dan bukan dilakukan oleh terdakwa,” tegasnya.

Fakta baru yang terungkap adalah jika hak tagih utang petambak tidak dijual  PPA pada 2007, maka Pemerintah cq. Menteri Keuangan saat ini masih memiliki aset jaminan lahan petambak yang dijaminkan oleh 11.000 petambak seluas 60 juta m2. Karena berdasarkan perjanjian kredit BDNI dan petambak, masing-masing petambak menjaminkan tanah tambak seluas 6.000 m2. Nilai aset jaminan petambak itu sekarang berkisar Rp 7,9 triliun hingga Rp 12,1 triliun.

Hasbullah, salah satu anggota tim penasihat hukum SAT, menutup pembacaan pledoi dengan mengajukan permohonan agar Majelis Hakim memutuskan terdakwa SAT tak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan pada dakwaan kesatu atau dakwaan kedua JPU. Majelis Hakim menutup persidangan pembacaan pledoi. Sidang selanjutnya untuk pembacaan putusan akan dilakukan pada Senin, 24 September 2018. Mohar

BERITA TERKAIT

UU Perampasan Aset dan BLBI Jadi PR Prabowo-Gibran

Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka harus melanjutkan agenda pemberantasan korupsi yang sudah dicanangkan…

Kementan Gandeng Polri Tingkatkan Ketahanan Pangan

NERACA Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menggandeng Polri dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan mewujudkan swasembada pangan seperti yang terjadi…

Remotivi: Revisi UU Penyiaran Ancam Kreativitas di Ruang Digital

NERACA Jakarta - Lembaga studi dan pemantauan media Remotivi menyatakan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, dapat mengancam…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

UU Perampasan Aset dan BLBI Jadi PR Prabowo-Gibran

Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka harus melanjutkan agenda pemberantasan korupsi yang sudah dicanangkan…

Kementan Gandeng Polri Tingkatkan Ketahanan Pangan

NERACA Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menggandeng Polri dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan mewujudkan swasembada pangan seperti yang terjadi…

Remotivi: Revisi UU Penyiaran Ancam Kreativitas di Ruang Digital

NERACA Jakarta - Lembaga studi dan pemantauan media Remotivi menyatakan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, dapat mengancam…