Penasehat Hukum Nilai Tuntutan Jaksa Lemah, Mantan Ketua BPPN Siap Pledoi

Penasehat Hukum Nilai Tuntutan Jaksa Lemah, Mantan Ketua BPPN Siap Pledoi

NERACA

Jakarta - Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, penasehat hukum mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafrudin A. Temenggung (SAT) menilai, isi tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dibacakan dalam sidang hari ini (Selasa 3/9) lemah karena sama sekali tidak menunjukan keterangan waktu kapan terjadi tindakan pidana korupsi seperti yang didakwakan kepada SAT sebagai terdakwa.

Selanjutnya Yusril mengatakan,“Dalam tuntutan sama sekali tidak ditemukan kapan peristiwa korupsi yang dituduhkan kepada terdakwa itu dilakukan. Padahal ini sangat penting untuk membuktikan telah terjadi tindakan pidana korupsi,” kata Yusril kepada wartawan setelah sidang lanjutan kasus SKL BLBI yang mengagendakan pembacaan tuntutan jaksa.

Hal itu terjadi, lanjut Yusril, karena dalam fakta persidangan memang tidak terbukti SAT telah melakukan kesalahan atau tindak pidana korupsi.“JPU seharusnya dapat membuktikan kapan suatu peristiwa pidana tersebut. Tapi yang dilakukan JPU hanya mengulang-ulang apa yang telah disampaikan dalam surat dakwaan sebelumnya,” kata Yusril.

Dikatakan, seluruh dokumen, saksi dan saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan menunjukkan bahwa turunnya nilai asset karena dijual pada tahun 2007, yakni sekitar tiga tahun setelah terdakwa SAT menyelesaikan tugasnya sebagai Ketua BPPN tahun 2004 dan menyerahkan seluruh tanggung jawabnya kepada Menteri Keuangan.

“Itu artinya, SAT sudah menyelesaikan tugasnya sebagai Ketua BPPN dengan baik dan menyerahkan tanggung jawabnya kepada pada Menteri Keuangan pada tahun 2004, maka hal tersebut tidak dapat dibebankan kepada SAT,”ujar Yusril. 

Sidang akan dilanjutkan pada Kamis (13/9) dengan agenda pembacaan pledoi atau pembelaan oleh terdakwa dan penasehat hukum. 

Tidak ada Misrep Kredit Petani Tambak Dipasena

Sidang sebelumnya, mantan Ketua BPPN Syafrudin Arsyad Temenggung (SAT) menjelaskan bahwa penyelesaian kewajiban pemegang saham bank penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), termasuk pemilik bank BDNI, selalu mengacu pada rekomendasi Tim Pengarah Bantuan Hukum (TPBH) yang ditunjuk oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada 18 Maret 2002. Tim ini dibantu oleh kantor hukum Lubis Ganie Surjowidjojo (LGS).“Dalam rekomendasi kajian TPBH dan LGS tidak disebutkan soal misreprentasi laporan kredit petani tambak Dipasena,” kata SAT sebagai terdakwa dalam menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), dalam sidang lanjutan kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI di Pengadilan Tipikor, Jakarta, (23/8).

Dalam sidang, JPU menanyakan apakah terdakwa mengetahui ada misrep dalam laporan kredit petani tambak dalam kajian hukum BPPN.“Tidak, kredit petambak ini kan baru muncul pada 2017,“ kata SAT.

Terdakwa menjelaskan, dia diangkat menjadi Ketua BPPN pada April 2002, saat mana dia tengah bersiap-siap untuk menjadi duta besar Indonesia di World Trade Organization (WTO).“Saya dipanggil oleh Presiden Megawati dan Menko Dorojatun Kuntjoro-Jakti, kemudian diminta untuk menjadi Ketua BPPN. Saat itu saya jelaskan bahwa saya ditunjuk untuk menjadi duta besar untuk WTO. Tapi presiden minta agar saya bersedia menjadi Ketua BPPN, dan saya minta peryaratan agar diberi arah yang jelas,” kata SAT.

Arahan Presiden dan Menko Perekonomian adalah agar rekapitalisasi perbankan dan restrukturisasi aset-aset obligor BLBI diselesaikan sesuai dengan Master Settlement Acquisation Agreement (MSSA) yang sudah disetujui pemerintah. Pemerintahan sebelumnya ada upaya untuk mengamandemen MSAA ini, namun berdasarkan TAP MPR dan UU Propenas, disebutkan agar penyelesaian kewajiban obligor dikembalikan pada MSAA awal.

Terkait dengan masalah implementasi MSAA pemilik BDNI, menurut SAT, ada tiga rekomendasi tim bantuan hukum yaitu segera menyelesaikan pembayaran tunai oleh pemilik BDNI yang masih tersisa sebesar Rp 422 miliar dari kewajiban Rp 1 triliun, menuntaskan penyerahan aset, melakukan final due dillegence (FDD) terhadap aset yang diserahkan oleh Syamsul Nursalim (SN) sebagai pemilik BDNI. Semua itu bisa dituntaskan, dan bahkan dalam FDD yang dilakukan auditor Ernst and Young (EY), disebutkan bahwa ada kelebihan bayar dari pihak obligor kepada BPPN sekitar lebih dari US$ 1 juta.“Semua sudah kami tuntaskan yang mulia,” kata SAT kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua Yanto.

Menurut SAT, masalah misrep petani tambak ini baru muncul pada 2017, jauh sesudah BPPN dibubarkan pada April 2004. Padahal berdasarkan audit kinerja yang dilakukan BPK pada 2006, disebutkan bahwa BPPN telah menyelesaikan tugasnya. Sebelumnya, berdasarkan audit BPK tahun 2002 terhadap penyerahan aset SN sebagai pemegang saham pengendali Bank BDNI, disebutkan bahwa berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh perjanjian MSAA BDNI sudah closing pada 25 Mei 1999, dan BPPN telah menyatakan bahwa pernjanjian sudah dilaksanakan oleh Syamsul Nursalim. Untuk menguatkan ini, BPPN yang diwakili Farid Haryanto membuat Letter of Statement di depan Notaris Merryana Suryana kembali menegaskan pemenuhan kewajiban MSAA oleh Syamsul Nursalim.

Dalam sidang SAT mengatakan, langkah yang diambil dalam soal utang petani tambak selalu mengacu pada keputusan KKSK yang berlaku. Saat dia baru diangkat sebagai Ketua BPPN pada April 2002, keputusan KKSK yang berlaku adalah keputusan yang diambil pada 18 Maret 2002 yang saat itu diketuai oleh Menko Perekonomian Rizal Ramli. Saat itu diputuskan dari utang 110.000 petani tambak  yang dijamin oleh Dipasena adalah sebesar Rp 4,8 triliun dengan kurs rupiah 9.000 per dollar AS, dan dari jumlah itu utang yang sustainable adalah Rp 100 juta per orang atau dengan total Rp 1,1 triliun. Kemudian Rp 1,9 triliun diminta pembayarannya ke perusahaan ini yaitu PT Dipasena, dan sisanya dihapus.

Berdasarkan data, utang pokok petani ke BDNI yang dijamin oleh Dipasena dan perusahan inti lainnya PTWahyuni Mandira terdiri dari utang valas dan rupiah. Utang dalam bentuk valas US $ 382 juta dan dalam bentuk rupiah Rp 700 miliar. Sebelum krisis, dengan kurs  2.300 per dollar AS, utang dalam bentuk valas ini setara Rp 800 miliar. Namun saat krisis dimana kurs rupiah melemah menjadi 11.250 per dollar AS yang membuat utang petani dalam bentuk valas membengkak dari sebelumnya sekitar Rp 800 miliar menjadi Rp 4,3 triliun dan membuat petani kesulitan membayar cicilan kreditnya.“Karena itu, BPPN sebenarnya menginginkan kredit petani diselesaikan dengan cara restrukturisasi, dimana petani perlu diberi suntikan modal, begitu pula perusahaan intinya,” kata SAT. Mohar

 

BERITA TERKAIT

Kementan Gandeng Polri Tingkatkan Ketahanan Pangan

NERACA Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menggandeng Polri dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan mewujudkan swasembada pangan seperti yang terjadi…

Remotivi: Revisi UU Penyiaran Ancam Kreativitas di Ruang Digital

NERACA Jakarta - Lembaga studi dan pemantauan media Remotivi menyatakan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, dapat mengancam…

Kompolnas Dorong Polri Segera Bentuk Direktorat PPA-PPO

NERACA Jakarta - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mendorong Polri segera mengaktifkan Direktorat Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) dan Pemberantasan Perdagangan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Kementan Gandeng Polri Tingkatkan Ketahanan Pangan

NERACA Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menggandeng Polri dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan mewujudkan swasembada pangan seperti yang terjadi…

Remotivi: Revisi UU Penyiaran Ancam Kreativitas di Ruang Digital

NERACA Jakarta - Lembaga studi dan pemantauan media Remotivi menyatakan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, dapat mengancam…

Kompolnas Dorong Polri Segera Bentuk Direktorat PPA-PPO

NERACA Jakarta - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mendorong Polri segera mengaktifkan Direktorat Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) dan Pemberantasan Perdagangan…