Reformasi Subsidi Berpijak Pada Dasar Politik yang Rapuh

Oleh: Sarwani

Pertamina dan PLN megap-megap menanggung beban kenaikan harga minyak dunia dan penguatan dolar AS di tengah kewajiban dua BUMN untuk tetap menyalurkan energi bersubsidi kepada rakyat.

Pertamina  yang mengimpor BBM untuk menutupi sekitar 60 persen kebutuhan di dalam negeri harus menguras kantong lebih dalam untuk membeli  minyak mentah WTI yang telah melewati 70 dolar AS per barel dan Brent sekitar 80 dolar AS per barel, jauh di atas asumsi APBN 2018 sebesar 48 dolar AS per barel. Sementara PLN  menggunakan BBM untuk menjalankan sebagian besar pembangkit listriknya.

Pertamina dan PLN merupakan ‘korban’ dari kebijakan subsidi energi, namun tidak dapat mengelak tugas yang ditetapkan pemerintah sesuai dengan UU APBN 2018. Pemerintah pun terpaksa menaikkan sekitar 73 persen atau Rp69 triliun anggaran subisidi energi menjadi Rp163,5 triliun dari semula Rp94,5 triliun lantaran harga minyak dunia naik dan rupiah melemah, Kenaikan anggaran subsidi energi tersebut akan diambil dari alokasi belanja non kementerian dan lembaga. Sebelumnya anggaran subsidi energi sebesar Rp94,52 triliun, yang terdiri dari subsidi listrik Rp47,66 triliun, subsidi bahan bakar tertentu Rp9,3 triliun dan subsidi LPG 3 Kg Rp37,55 triliun.

Meski berat subsidi BBM tetap dijalankan, mengapa? Karena ia tidak semata-mata fenomena ekonomi, tetapi juga bersifat politis, sebagai hasil dari upaya-upaya yang ditentukan secara politik untuk mengkompensasi kegagalan pasar, membantu orang miskin, atau untuk mempercepat pembangunan.

Para politisi harus  mempertahankan popularitas mereka untuk tetap berada di Senayan, Mereka mati-matian meneriakkan anti penghapusan subsidi yang bisa menyengsarakan hidup para pemilihnya, paling tidak dalam jangka pendek.

Berbeda dengan DPR, pemerintah beralasan subsidi digunakan untuk menstimulasi sektor yang sedang berkembang yang akan mendorong industrialisasi, meningkatkan arus barang dan tenaga kerja,  memperbaiki kondisi lembaga pelayanan seperti rumah sakit, sekolah, dan pengolahan air bersih yang memerlukan suplai energi, dan memberikan manfaat bagi masyarakat miskin.

Semua  itu benar, namun keuntungan jangka pendek dari subsidi itu tidak sebanding dengan kerugian jangka panjang. Ini juga yang menjadi alasan mengapa subsidi BBM perlu dihapus. Saat harga minyak dunia rendah, konversi energi jadi tidak menarik sehingga penggunaan BBM tetap tinggi yang membuat emisi karbon semakin tinggi juga. Studi OECD menunjukkan jika subsidi BBM untuk industri dan pembangkit listrik dihapus maka emisi CO2 bisa turun 6 persen.

Saat harga minyak tinggi, rupiah melemah, dan penerimaan pajak turun, subsidi BBM yang naik mengurangi prioritas pembangunan di sektor lain termasuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Subsidi BBM juga menjadi hambatan pasar bagi pengembangan energi terbarukan, kalah bersaing dengan minyak bumi dan tenaga nuklir yang lebih murah. Belanja subsidi juga membatasi jumlah modal yang tersedia untuk melakukan investasi pengembangan energi terbarukan. Di tingkat lokal, muncul masalah lingkungan akibat penggunaan batu bara yang mengurangi standard dan harapan hidup penduduk setempat.

Sebenarnya pemerintah dalam beberapa tahun terakhir sudah berhasil membatasi jumlah anggaran untuk subsidi BBM. Secara kasat mata bisa dilihat dari hilangnya Premium di SPBU, namun belum secara total dihapuskan karena pengaruh kekuatan politik yang ingin mempertahankan subsidi BBM. Keberanian pemerintah menghapus sebagian subsidi BBM tanpa reaksi berlebihan dari masyarakat jadi modal untuk melakukan reformasi subsidi lebih lanjut.

Sayangnya dalam RAPBN 2019 justru ada tambahan subsidi BBM dari Rp1.000 menjadi Rp2.000 per liter, ditambah subsidi listrik untuk 1 juta pelanggan 450 VA. Ini menunjukkan sifat politik pemerintah yang rapuh dan menjadi basis yang buruk dalam melakukan reformasi subsidi skala besar. Satu langkah mundur. (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…