Perlu Ketelitian Melangkah dalam Hadapi Perang Dagang

Oleh: Muhammad Razi Rahman

Perang, apa pun bentuknya, lebih baik dihindari sejauh mungkin karena hanya akan menimbulkan penderitaan di kedua belah pihak, begitu juga dengan fenomena yang dinamakan "perang dagang".

Pada saat ini, pemerintahan Amerika Serikat di bawah kendali rezim Presiden Donald Trump berencana akan mengenakan tarif impor 25 persen untuk 818 produk mulai 6 Juli 2018. AS membidik 1.300 jenis produk dari China senilai 50 miliar dolar AS yang akan dikenakan tarif masuk ke negara Paman Sam tersebut.

Pengenaan tarif tinggi perdagangan tersebut juga dilaporkan telah memicu aksi balasan yang juga akan mengakibatkan terjadinya perang dagang antarkedua belah pihak. Hal ini juga akan berdampak terhadap negara-negara lainnya.

Apakah hal itu berdampak signifikan kepada Indonesia? Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim mengatakan bahwa Indonesia harus bersiap menghadapi kemungkinan adanya perang dagang yang dilakukan oleh negara yang punya kekuatan ekonomi.

"Kita berharap tidak akan ada perang dagang dan agar tidak ada pihak yang terlibat dalam perang dagang. Tapi Indonesia seperti negara-negara lainnya juga harus bersiap dengan adanya perang dagang antara negara ekonomi besar," kata Jim Yong Kim saat berkunjung ke Indonesia, Rabu (4/7).

Presiden Bank Dunia menegaskan perang dagang tidak pernah bermanfaat untuk siapa pun karena perdagangan adalah elemen yang paling penting bagi negara berkembang agar dapat tumbuh lebih cepat.

Seksama

Di tingkat legislatif, sejumlah anggota parlemen juga telah bersuara, seperti menghendaki agar pemerintah perlu seksama dalam melakukan perjanjian perdagangan di tingkat internasional.

Anggota Komisi VI DPR Supratman Andi Agtas di Jakarta, Rabu (4/7), mengingatkan bahwa bila pemerintah tidak memiliki keunggulan kompetitif, maka hal ini berpotensi akan merugikan kepentingan nasional dari sisi perdagangan.

Politisi Gerindra mengingatkan bahwa berbagai pihak tentu menginginkan neraca perdagangan Republik Indonesia positif, sehingga seharusnya ditinjau bila ada hal yang mengakibatkan NKRI menjadi konsumtif.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal berpendapat tekanan terhadap kinerja perdagangan Indonesia dan potensi defisitnya lebih besar pada tahun ini.

Faisal ketika dihubungi di Jakarta, Senin (25/6) menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan harga komoditas andalan ekspor Indonesia yang mulai melemah sehingga menyebabkan pertumbuhan ekspor melambat.

Sementara itu, Sekretaris Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, Teknologi dan Lingkungan DPP PKS Handi Risza menyoroti tren defisit neraca perdagangan nasional yang bila dibiarkan begitu saja diperkirakan akan dapat semakin melebar ke depannya.

Handi Risza juga menyatakan bahwa kawasan Uni Eropa dapat menjadi peluang dan solusi terhadap kondisi perang dagang antara AS dan China.

Menurut dia, Eropa merupakan salah satu investor yang berpengaruh di Indonesia sehingga kesempatan tersebut harus benar-benar dapat dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia. Ia juga berpendapat bahwa fenomena jatuh bangunnya Uni Eropa dalam bidang ekonomi dapat dijadikan pembelajaran untuk bangsa Indonesia.

Secara ekonomi, lanjutnya, Eropa dinilai telah mengalami hantaman krisis yang luar biasa, namun sekarang berada dalam proses pemulihan sehingga kemampuan ini yang juga perlu dijadikan pelajaran bagi Indonesia.

Bagi PKS, kerja sama internasional dalam bidang ekonomi adalah sebuah keniscayaan, dan hal terpenting adalah dalam kerja sama tersebut harus saling menguntungkan, taat asas dan berkeadilan.

Defisit

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa neraca perdagangan Indonesia pada bulan Mei 2018 mengalami defisit hingga 1,52 miliar dolar AS.

Kepala BPS Kecuk Suhariyanto dalam paparan kepada media di Jakarta, Senin (25/6) menyatakan bahwa hal tersebut dipicu oleh defisit sektor migas sebesar 1,24 miliar dolar AS dan nonmigas sebesar 0,28 miliar dolar AS. Kecuk Suhariyanto mengemukakan bahwa sebenarnya kinerja ekspor pada Mei 2018 telah meningkat, tetapi ternyata jumlah impor lebih besar.

Berdasarkan data BPS, nilai ekspor Mei 2018 adalah 14,54 miliar dolar AS, atau meningkat 16,31 persen dibandingkan bulan sebelumnya, dan naik 22,28 persen y-o-y. Sedangkan perubahan ekspor Januari-Mei 2018 terhadap Januari-Mei 2017 adalah 20,18 persen.

Untuk impor pada Mei 2018 adalah 17,64 miliar dolar AS, atau meningkat 9,17 persen dibandingkan bulan sebelumnya, dan naik 24,75 persen y-o-y. Sedangkan perubahan impor Januari-Mei 2018 terhadap Januari-Mei 2017 adalah sebesar 24,75 persen.Kepala BPS menyoroti besarnya jumlah impor sektor migas, khususnya pada impor minyak mentah dan hasil minyak yang dinilai meningkat besar.

Terkait fenomena perang dagang, Kepala BPS menyatakan bahwa perdagangan Republik Indonesia ternyata tetap mengalami peningkatan terhadap Amerika Serikat maupun Republik Rakyat China meski kedua negara itu tengah mengalami fenomena perang dagang dengan menaikkan sejumlah tarif bea masuk.

Menurut data BPS, nilai ekspor nonmigas pada Mei 2018 Republik Rakyat China adalah sebesar 278,9 juta dolar AS atau naik 15,37 persen bila dibandingkan dengan April 2018.

Sementara nilai perdagangan ekspor nonmmigas untuk Amerika Serikat adalah sebesar 143,4 juta dolar AS atau naik 10,03 persen pada Mei 2018 ini dibandingkan dengan April 2018.

Sedangkan pada periode Januari-Mei 2018, Tiongkok atau China tetap merupakan negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai 10,24 miliar dolar AS atau naik 15,05 persen y-o-y, diikuti AS (6,87 miliar dolar; 10,91 y-o-y).

Mengkaji Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah mengkaji dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China ke Indonesia.
"Memang perang dagang ini akan berlaku bulan depan. Mulai sekarang, diberi kesempatan menteri perekonomian untuk mengevaluasi apa efek negatif dan positif, kita akan kaji dampaknya untuk menghindari dampak negatif," katanya di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (26/6).

Wapres mengatakan, perang dagang antara Amerika Serikat dan China tentu akan berdampak ke Indonesia, untuk itulah perlu dikaji sejauh mana dampak tersebut bagi perekonomian, dan peluang apa yang bisa dimanfaatkan dalam situasi tersebut.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan perbaikan struktur ekspor nasional menjadi penting untuk mengatasi dampak dari potensi perang dagang yang dilakukan oleh negara maju.

Menko Perekonomian memastikan Indonesia harus mencari peluang dari perang dagang tersebut dan tidak bisa hanya berpangku tangan agar kinerja perdagangan nasional tidak mengganggu proyeksi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Sebelumnya, ekonom senior Mari Elka Pangestu berpendapat integrasi ekonomi regional negara-negara Asia diperlukan untuk mengungguli gangguan proteksionisme bagi pasar eksternal serta kemungkinan perang dagang global.

Mari dalam diskusi yang digelar di kantor Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Rabu (6/6), mengingatkan bahwa fenomena proteksionisme dan kemungkinan perang dagang sedang menjadi pembicaraan dewasa ini. Gejolak tersebut, lanjutnya, dinilai mengganggu perdagangan dunia terutama yang melibatkan pasar negara-negara tradisional.

Untuk itu, diperlukan kehati-hatian dalam melangkah bagi semua negara, termasuk Indonesia, agar tidak merusak manfaat perdagangan global di tengah ancaman perang dagang yang mencekam. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…