Pengembangan Industri Asuransi Perlu Modal Kuat

 

 

 

NERACA

 

Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan upaya pengembangan industri asuransi di Indonesia agar sehat dan kompetitif membutuhkan permodalan yang kuat serta transfer keterampilan dari sumber daya manusianya. “Transfer dari keterampilan dan kemampuan untuk menarik modal dari luar Indonesia menjadi penting. Pelaku industri dalam negeri masih butuh hal tersebut,” kata Sri Mulyani dalam acara "Sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2018 tentang Kepemilikan Asing Pada Perusahaan Perasuransian" di Jakarta, Selasa (22/5).

Mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut menjelaskan keberadaan mitra asing dalam pengembangan industri perasuransian di Indonesia memang diperlukan, namun tidak berarti mereka bebas. Pengaturan mengenai batasan kepemilkian asing pada perusahaan perasuransian tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2018 tentang Kepemilikan Asing Pada Perusahaan Perasuransian.

Kepemilikan asing pada perusahaan perasuransian maksimum 80 persen dari modal disetor perusahaan perasuransian. Batasan ini tidak berlaku bagi perusahaan perasuransian yang merupakan perseroan terbuka. Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah terus berupaya mengombinasikan antara kebutuhan perkembangan industri asuransi dan peningkatan kapasitas pelaku domestik. "Industri asuransi itu main panjang, butuh komitmen modal besar dan harus ditanamkan dalam jangka panjang. Industri asuransi juga butuh keterampilan dari pengelolanya untuk menentukan tingkat risiko dan harga dari risiko tersebut agar nasabah dapat terproteksi dan perusahaan asuransi tetap bertahan," ucap dia.

Selain itu, Sri Mulyani juga mengatakan bahwa upaya membangun industri asuransi tidak hanya untuk sekadar diversifikasi instrumen. Industri asuransi yang dalam dan stabil dibutuhkan untuk ikut memecahkan masalah struktural menyangkut neraca pembayaran dari sektor jasa. "Dengan perkembangan industri asuransi ikut memecahkan neraca pembayaran dari sektor jasa sehingga bisa kontribusi positif dan membuat pondasi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan semakin kuat," kata dia.

Oleh karena itu, Menkeu meminta seluruh pemangku kepentingan memberikan edukasi kepada masyarakat dalam memahami produk asuransi dan menjadi investor dari produk asuransi sesuai kebutuhan masing-masing. Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terdapat 50 perusahaan perasuransian "joint venture" dengan kepemilikan asing di bawah atau sama dengan 80 persen.

Sementara, perusahaan perasuransian "joint venture" dengan kepemilikan asing lebih dari 80 persen tercatat sebanyak 18 perusahaan. PP 14/2018 mengatur bahwa dalam hal kepemilikan asing pada perusahaan perasuransian yang bukan merupakan perseroan terbuka telah melampaui 80 persen, perusahaan perasuransian tersebut dikecualikan dari batasan kepemilikan asing dan dilarang menambah persentasenya.

Aturan turunan dari undang-undang nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian tersebut membatasi kepemilikan asing pada perusahaan asuransi maksimal sebesar 80 persen. “PP ini kemarin diundangkan pada 18 April 2018 dan mengatur bahwa kepemilikan asing di asuransi itu diharapkan maksimal 80 persen dan kepemilikan domestik minimal 20 persen. Itu berlaku untuk yang baru maupun yang sudah jalan tapi kepemilikan asingnya di bawah 80 persen,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara.

Suahasil mengatakan, berdasarkan aturan tersebut perusahaan dengan kepemilikan asing di atas 80 persen masih tetap bisa beroperasi. Akan tetapi, kapasitas bisnis perusahaan tersebut tidak bisa meningkat. "Kalau mau ada ekspansi bisnis itu kita harapkan asingnya maksimal 80 persen, dan domestik minimal 20 persen. Sehingga dengan demikian kalau perusahaan asuransi melakukan ekspansi, menambah modal, dan seterusnya, maka lama-lama kepemilikan asing itu akan sampai ke level 80 persen," ujar Suahasil. 

Ia menilai, seluruh perusahaan asuransi di Indonesia berniat untuk melakukan ekspansi. Hal ini karena peluang usaha asuransi di Indonesia masih sangat besar. Ia menyebut, premi asuransi per kapita rata-rata di Indonesia hanya Rp 1,5 juta per tahun. Padahal, rata-rata pendapatan orang Indonesia per kapita adalah sekitar Rp 50 juta per tahun. “Jadi masih sangat besar peluang untuk ekspansi bisnis. Kita berharap, sambil ada ekspansi perusahaan perasuransian kepemilikan domestik bisa kita tingkatkan terus,” ujarnya.



BERITA TERKAIT

Bank Muamalat Rilis Kartu Debit Nirsentuh untuk Jemaah Haji

Bank Muamalat Rilis Kartu Debit Nirsentuh untuk Jemaah Haji NERACA  Jakarta – PT Bank Muamalat Indonesia Tbk merilis fitur terbaru…

Token fanC Resmi Diperdagangkan di Indonesia

Token fanC Resmi Diperdagangkan di Indonesia NERACA Jakarta - Token fanC aset kripto baru akan resmi diperdagangkan di Indonesia. Token…

BI Catat Term Deposit Valas DHE Capai US$1,9 Miliar

    NERACA Jakarta - Bank Indonesia (BI) melaporkan penempatan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri melalui instrumen Term…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

Token fanC Resmi Diperdagangkan di Indonesia

Token fanC Resmi Diperdagangkan di Indonesia NERACA Jakarta - Token fanC aset kripto baru akan resmi diperdagangkan di Indonesia. Token…

BI Catat Term Deposit Valas DHE Capai US$1,9 Miliar

    NERACA Jakarta - Bank Indonesia (BI) melaporkan penempatan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri melalui instrumen Term…

Kuartal I, BRI Cetak Laba Rp15,98 Triliun

Kuartal I, BRI Cetak Laba Rp15,98 Triliun NERACA Jakarta - PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) secara konsolidasi membukukan…