Oleh: Fauzi Aziz
Pemerhati Sosial, Ekonomi dan Industri
Secara internal, ekonomi Indonesia terus dihantui oleh persoalan efisiensi dan produktifitas sehingga melakukan kegiatan ekonomi di sektor apapun selalu cenderung dihantui oleh biaya ekonomi tinggi (high cost economy). Dampaknya secara makro dan mikronya jelas yakni, daya saing ekonomi nasional relatif rendah bila dibandingkan dengan negara lain.
Oleh sebab itu, ekonomi biaya tinggi di negeri ini seperti cenderung menjadi bersifat laten. Namun, kita tidak boleh bersikap pesimis, meskipun faktanya, jebakan ekonomi biaya tinggi telah berlangsung lama. Di era orde lama, orde baru, dan orde reformasi, ekonomi biaya tinggi selalu ada, dan selalu menjadi keluhan.
Kalau kita sepakat untuk menempatkan Indonesia sebagai emerging economy yang kompetitif di kawasan regional dan global, maka menghapuskan ekonomi biaya tinggi harus diselesaikan secara holistik dari level makro hingga ke level mikro yang sasaran utamanya berdasarkan faktor outcome economy terkonversi ke dalam efisiensi dan produktifitas.
Upaya ini bisa diwujudkan dengan cara mengintrodusir kebijakan teknis yang mampu mempengaruhi dan memperkuat komponen input dengan standar harga yang kompetitif pada setiap rantai proses kegiatan ekonomi dan bisnis. Contoh dalam kasus paling terkini adalah harga gas untuk indus tri dijual 9-11 dolar AS per mmbtu. Padahal standar harga yang kompetitif adalah pada kisaran 4-5 dolar AS per mmbtu.
Kita tahu, gas untuk industri mempunyai 2 fungsi, yakni sebagai bahan baku dan sebagai energi. Dari contoh ini berarti beban industri dari harga gas saja sudah harus membayar 50% lebih mahal, yang di Malaysia atau Singapura sebagai kompetitornya hanya membayar 4 dolar AS per mmbtu. Belum lagi biaya logistik yang bisa mencapai sekitar 17 dari rata-rata biaya produksi, atau secara makro mencapai sekitar 24% terhadap PDB.
Kita tentu tidak mau berlama lama dengan memikul beban berat akibat ekonomi biaya tinggi karena akan merugikan kepentingan banyak pihak. Secara makro, kesempatan bagi pemerintah untuk meningkat kan pendapatan negara dari pajak akan tertekan akibat efi siensi dan produktifitas di tingkat mikro bisnisnya rendah sehingga tingkat keuntungan perusahaan tidak optimal, bahkan ada yang mengalami kerugian.
Dampak ekonomi biaya tinggi, menyebabkan para pengusaha di sektor riil cenderung tidak berminat mengembangkan bisnisnya di sektor-sektor produksi karena tingkat keuntungannya rendah dan return-nya lebih panjang dari setiap investasi yang dila kukan. Mereka cenderung beralih fungsi menjadi lebih memilih mengkapitalisasi aset-nya di pasar uang dan di pasar modal.
Pertumbuhan sektor produksi (tradable sector) akibat ekonomi biaya tinggi tumbuh lambat sejak satu dasawarsa lebih, yakni hanya pada kisaran 4% rata-rata per tahun. Sementara sektor jasa (non tradable) mampu tumbuh rata-rata 7% per tahun pada kurun waktu yang sama. Dalam situasi seperti itu, maka kebutuhan barang dan bahan impor sulit dibendung.
Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi kembali melontarkan gagasan kontroversial dalam…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Pada 2 Mei 2025 adalah kloter pertama pemberangkatan haji Indonesia ke Tanah Suci. Dimana…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Kinerja perekonomian nasional tidak bisa terlepas dari…
Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi kembali melontarkan gagasan kontroversial dalam…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Pada 2 Mei 2025 adalah kloter pertama pemberangkatan haji Indonesia ke Tanah Suci. Dimana…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Kinerja perekonomian nasional tidak bisa terlepas dari…