Kasus Kredit Macet Jangan Dikriminalisasi

NERACA

Jakarta - Kredit macet sudah seharusnya tidak dikriminalisasi dan persoalaan kredit macet tidak dikaitkan dengan persoalan kerugian negara atau korupsi. Demikian pembelaan pribadi Winnie Erwindia, mantan Direktur Utama Bank DKI, dalam persidangkan atas pembiayaan Pesawat ATR 42-500 sebesar Rp80 miliar ke PT Energy Spectrum (PT ES) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (12/2), pekan lalu.

Pembiayaan itu dilakukan oleh Grup Syariah, namun karena pembiayaan itu macet, Winnie Erwindia dituduh merugikan negara. Dalam pembelaan yang dibacakan Winnie di hadapan Majelis Hakim, “Apakah karena PT ES dan bawahan saya tidak memenuhi syarat yang justru saya minta, maka saya harus dihukum. Sedangkan saya tidak mengetahui, bagaimana ini menjadi dibebankan kepada saya, padahal ada hirarki organisasi dan sudah ada prosedur yang harus dipatuhi,” ungkap Winnie, yang berkarir 40 tahun di bank.

Menurut Winnie, yang mengantarkan DKI Juara PON, sebelum meninggalkan Bank DKI, Juli 2010, kredit ke PT ES masih kolektibilitas 2 atau dalam perhatian khusus. Namun, dalam perkembangannya, kredit menjadi macet, dan pada 2011, Bank DKI memberikan kuasa kepada pihak Kejaksaan untuk menjual Pesawat ATR 42-500 tersebut.

“Apakah karena kejadian itu, saya Winny Erwindia menyebabkan kerugian negara PT Bank DKI? Jelas itu jauh dari niat, itikat, dan perbuatan saya. Sekalipun Jaksa telah nyata-nyata menyatakan saya tidak menikmati hasil perbuatan korupsi tersebut. Dipersidangan yang mulia ini, saya menyatakan dengan tegas dan sejujur-jujurnya bahwa saya tidak menikmati uang atau menyalahgunakan wewenang dari pembiayaan pesawat,” lanjut Winnie sambil berlinang air mata.

Secara terpisah, pengamat perbankan Eko B. Supriyanto menilai, kredit yang direstrukturisasi dengan pengammbil-alihan pesawat menjadi milik Bank DKI, dan tidak melepaskan tanggung jawab atau kewajiban PT Energy Spectrum, sudah seharusnya Winnie Erwindia bebas murni dari tuntutan 5 tahun. “Selain karena tidak ada aliran dana, tapi sudah sesuai tanggung jawabnya,” tegas Eko, di Jakarta.

Pembiayaan sesuai prosedur

Awalnya Kejaksaan Agung (Kejagung) pada September 2014 lalu, telah menahan Mantan Direktur Utama Bank DKI, Winny Erwindia atas dugaan tindak pidana korupsi saat masih menjabat Direktur Utama Bank DKI, dalam pembayaran Murabahah (Investment Financing) kepada PT. Energy Spectrum Untuk Pembayaran Pesawat Udara Jenis Air Craft ATR 42-500 Dari Phoenix Lease Pte. Ltd Singapura.

Dalam pembelaanya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (12/2), Winnie mengaku, bahwa pada kasus pengucuran kredit ke PT Energy Spectrum untuk pembelian pesawat udara jenis air craft ATR 42-5000 dari Phoenix Lease Ltd, yang dimulai dari pengajuan permohonan sampai dengan tanda tangan akad Murabahah, telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, hirarki dan tupoksi pihak-pihak terkait.

Menurut Winnie, jika pemberian kredit atau pembiayaan di Bank DKI jumlahnya di atas Rp2 miliar haruslah melalui komite (tingkat) Direksi Bank DKI yang dalam hal ini adalah Komite Pemutus Kredit (KPK) untuk konvensional dan Komite Pemutus Pembiayaan (KPP) untuk Syariah yang terdiri dari Direktur Keuangan, Direktur Pemasaran dan Direktur Utama.

Sedangkan yang bersifat kolektif, Direktur Kepatuhan juga termasuk meski tidak masuk dalam anggota komite, tetapi Direktur Kepatuhan hanya sebagai “Penjaga Pintu Kepatuhan”, sesuai keterangan saksi ahli, yakni Dokter Romeo Rizal yang wajib memberikan pendapat dan disposisinya. “Dalam praktik, saya menghormati dan mempercayai para direktur, khususnya Direktur Kepatuhan sebagai wakil Bank Indonesia,” ujarnya.

Bankir senior ini mengaku tidak akan mengambil keputusan tanpa adanya pendapat dari pada direksi lainnnya. “Saya tidak akan mengambil keputusan tanpa pendapat beliau-beliau. Selanjutnya terhadap suatu permohonan kredit yang diajukan suatu unit kerja, KPP- sesuai dengan jumlah pengajuannya, harus memberikan keputusan yang setiap harinya disemua lini/tingkatan dalam sehari bisa ratusan transaksi,” ucapnya.

Permohonan pembiayaan pesawat penumpang ATR 42-500 oleh PT Energi Spectrum telah dilaksanakan sesuai tupoksi, hirarki proses dan prosedur seperti yang tercantum di pedoman kebijakan prosedur Pembiayaan SK DIR. No. 86 tanggal 24 September 2014.

Di mana dalam kewenangannya saat itu (Dirut) dirinya bersama direktur lainnya selaku KPP dalam pedoman tersebut yakni memberikan pendapat atau masukan.

“Saya bersama direktur lainnya memberikan pendapat atau masukan didalam memorandum pengusulan pembiayaan (MPP) dan kemudian setelah memberikan pendapat atau usulan beserta persyaratan yang ditentukan kemudian MPP dikembalikan ke analis pemasaran untuk dibuat surat persetujuan pembiayaan,” tegasnya.

Ketentuan mengharuskan bahwa terhadap surat persetujuan pembiayaan yang berisi persyaratan-persyaratan yang berasal dari Komite Pemutus Pembiayaan selanjutnya, diberikan kepada calon debitur oleh Group Syariah dan selanjutnya lagi surat persetujuan pembiayaan tersebut, wajib dikembalikan kepada Komite Pemutus pembiayaan yang terkait untuk diperiksa dan diteliti, apakah hal-hal yang dipersyaratkan disetujui dan dapat dipenuhi oleh calon debitur atau tidak.

Sebagaiman faktanya yang terungkap dipersidangan dalam kasus pembiayaan pesawat ATR 42-500, surat persetujuan pembiayaan tidak pernah kembali kepada Komite Pemutus Pembiayaan oleh Group Syariah. “Kalau jaksa mengatakan bahwa saya tidak mau atau tidak pernah menanyakan kekurangan maupun perkembangan terkait proses pembiayaan pesawat tersebut oleh Group Syariah, maka jelas bahwa saya justru melaksanakan apa yang diinginkan oleh jaksa dalam surat dakwaan dan tuntutannya,” pungkas Winnie. [fb]

BERITA TERKAIT

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi NERACA Denpasar - Sebanyak 12 lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat secara ilegal di…

Farad Cryptoken Merambah Pasar Indonesia

  NERACA Jakarta-Sebuah mata uang digital baru (kriptografi) yang dikenal dengan Farad Cryptoken (“FRD”) mulai diperkenalkan ke masyarakat Indonesia melalui…

OJK: Kewenangan Satgas Waspada Iinvestasi Diperkuat

NERACA Bogor-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengharapkan Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi dapat diperkuat kewenangannya dalam melaksanakan tugas pengawasan, dengan payung…

BERITA LAINNYA DI

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi NERACA Denpasar - Sebanyak 12 lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat secara ilegal di…

Farad Cryptoken Merambah Pasar Indonesia

  NERACA Jakarta-Sebuah mata uang digital baru (kriptografi) yang dikenal dengan Farad Cryptoken (“FRD”) mulai diperkenalkan ke masyarakat Indonesia melalui…

OJK: Kewenangan Satgas Waspada Iinvestasi Diperkuat

NERACA Bogor-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengharapkan Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi dapat diperkuat kewenangannya dalam melaksanakan tugas pengawasan, dengan payung…