DEBT COLLECTOR TEROR NASABAH KTA - Stanchart Bank Dihukum Rp 1 Miliar

 

Jakarta – Mahkamah Agung menghukum Standard Chartered Bank untuk membayar ganti rugi Rp 1 miliar kepada nasabah KTA (kredit tanpa agunan) nya, gara-gara bank asing asal Inggris itu menggunakan jasa penagih (debt collector) yang dalam tindakan penagihannya menjurus intimidasi dan teror terhadap nasabah yang bersangkutan.  

NERACA

Dalam pertimbangan hukumnya, MA menilai tindakan Stanchart melakukan penagihan kredit adalah tindakan tidak profesional karena mengutamakan penggunaan pendekatan intimidasi dan premanisme ketimbang pendekatan yang lain. Putusan MA itu ditandatangani oleh Hakim Agung Abdurrahman, Syamsul Ma'arif, dan Habbiburrahman pada 3 Oktober 2013 lalu. Putusan ini baru dipublikasikan dalam laman www.mahkamahagung.go.id pada 12 Agustus 2014. 

Akibatnya, bank asing asal Inggris tersebut harus menerima hukuman membayar ganti rugi sebesar Rp 1 miliar. Ini berawal dari perseteruan Stanchart dengan Victoria SB, nasabah KTA yang mendapatkan penawaran kenaikan limit kredit (top up) dari Stanchart. 

Terhitung 25 Juli 2005, Victoria menerima persetujuan pinjaman Rp 20 juta dengan jangka waktu pembayaran 36 bulan, cicilan Rp 885.471 per bulan. Pada 4 Agustus, Victoria kembali melakukan top up dengan pinjaman awal Rp 41 juta dengan jangka waktu pembayaran 36 bulan, cicilan bulan Rp 1,8 juta per bulan. 

Namun, mulai Mei 2009. Victoria mulai mengalami kesulitan keuangan sehingga pembayaran cicilan macet. Nah, persoalan mulai muncul setelah Stanchart menggunakan jasa debt collector dari pihak ketiga (PT Total Target Nissin) pada September 2009. 

Victoria mengklaim langkah Stanchart ini telah merugikan pihaknya. Karena bank asing itu melalui debt collector telah melakukan intimidasi, penekanan, pengancaman, dan teror. Si debt collector juga menyebarkan ketidakmampuan Victoria membayar utang ke teman-teman kantor sehingga Victoria menjadi malu. Para penagih utang itu juga terus menerus mengirimkan SMS dan menelepon Victoria dengan mengeluakan kata-kata kasar dan mengirimkan faksimili ke kantor Victoria.

Tidak tahan dengan intimidasi dan teror tersebut, Victoria lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Victoria menyebut tindakan Stanchart menagih utang melalui debt collector merupakan perbuatan melawan hukum. 

Victoria menuntut ganti rugi sebesar Rp 5 miliar. Namun PN Jaksel akhirnya mengabulkan gugatannya meski sebagian yakni menghukum Stanchart dan Total Target membayar ganti rugi Rp 10 juta secara tanggung renteng.

Lalu pihak Stanchart mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Bank asing ini gagal, bahkan PT DKI menambah hukuman Stanchart menjadi membayar ganti rugi Rp 500 juta. Stanchart kembali mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA) sebagai langkah terakhir, namun tetap Victoria yang kembali menang. MA menolak kasasi Stanchart dan kembali menambah hukuman bagi Stanchart dan Total Target membayar ganti rugi Rp 1 miliar.

Kasus Stanchart ini dapat mencoreng reputasi bank asing beroperasi di negeri ini. Sebelumnya kasus serupa pernah terjadi di Citibank, yang mengakibatkan nasabahnya meninggal dunia akibat kekerasan debt collector terkait penyelesaian KTA-nya. Citibank akhirnya terkena sanksi dari Bank Indonesia pada waktu lalu. 

Pelajaran Buat Bank

Menurut pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi, kasus yang terjadi pada bank asing itu harus menjadi perhatian bagi sektor perbankan, konsumen dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Ini menjadi pelajaran yang berarti buat perbankan, konsumen dan OJK,” ujarnya saat dihubungi Neraca, Senin (18/8).  

Sularsi mengatakan, untuk perbankan, kasus tersebut harusnya menjadi pelajaran agar jangan menggunakan pihak ketiga (jasa debt collector) tanpa ada perjanjian. Karena, pada dasarnya pinjam meminjam tersebut ada pada pihak pertama (kreditur) dan pihak kedua (debitur). “Kalau sudah terjadi yang seperti ini, maka yang kena getahnya adalah pihak perbankan. Karena pihak pertama meminjam kepada pihak kedua dan dalam surat perjanjian kredit tidak dilampirkan adanya pihak ketiga,” jelasnya.

Buat konsumen, Sularsi menjelaskan kasus ini menjadi pelajaran. Artinya, kata dia, ketika ingin menggunakan produk jasa perbankan yaitu kartu kredit maka yang perlu diperhatikan adalah perjanjian. “Konsumen harus memperhatikan baik-baik perjanjiannya. Meski telat membayar adalah kesalahan dari nasabah, sudah ada sanksinya yaitu nama nasabah  di blacklist dan tercatat dalam sistem informasi debitur (SID) Bank Indonesia. Artinya, nasabah itu  tidak diperkenankan lagi untuk mendapat pinjaman,” katanya.

Untuk OJK, pihaknya juga meminta agar OJK bisa lebih mengawasi dengan ketat. Pasalnya pengaduan yang masuk ke YLKI, sektor keuangan masuk dalam kategori 3 besar. Bahkan, kata Sularsi, pada 2013 sektor perbankan masuk di nomer pertama dengan kasus kartu kredit dan ulah dari debt collector. “OJK punya bidang khusus yaitu soal pengaduan konsumen. Harusnya dalam hal ini, OJK perlu turun tangan agar sama-sama tidak ada yang dirugikan baik perbankan maupun konsumen,” ujarnya.

Secara terpisah, pengamat perbankan yang juga komisaris independen Bank Mandiri Avilliani mengatakan, sesuai dengan aturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, menagih utang menggunakan jasa debt collector memang tidak diperbolehkan, kalau pun menggunakan debt collector harus sesuai dengan aturan dan mekanisme yang sudah ditetapkan oleh BI. “Aturannya sudah jelas, tidak diperbolehkan. Kalau pun menggunakan ada penetapan yang harus dijalankan,” ujarnya.

Kalau pun kasus yang menimpa Standard Chartered Bank (Stanchart) kalah dalam persidangan di Mahkamah Agung (MA) dan kena denda 1 milliar, menurut dia, itu wajar saja karena memang aturannya tidak diperbolehkan. “Jika kena denda wajar saja karena memang aturan dari BI sudah jelas tidak membolehkan,” ujarnya.

Oleh karena itu, saat ini sedang dirancang sebuah lembaga administrasi perbankan  (LAB) yang dinilai lebih paham akal hal perbankan. Dan lembaga ini nantinya akan mengurusi kasus-kasus seperti ini, jadi tidak lagi masuk ke Kejaksaan atau MK. “Kasus di perbankan sangat kompleks, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak kuat untuk meng- handle semua. Jadi nanti LAB ikut membantu menangani kasus yang mencuat diperbankan,” ujarnya.

Kasus ini menurut Aviliani,  setidaknya menjadi warning pagi perbankan untuk mengikuti aturan maupun ketentuan sesuai dengan UU dan Ketentuan BI yang ada, sehingga tidak serta merta melakukan tindakan terhadap debitur maupun nasabahnya. “Kasus ini bisa menjadi perhatian dan perbankan agar lebih taat terhadap aturan yang sudah ada,” tukasnya.

Pendapat senada jga dilontarkan General Manager Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Martha. Dia menilai memang bank di Indonesia harus berhati-hati menggunakan jasa debt collector dikarenakan tindakan yang dilakukan dalam menagih utang kepada para nasabahnya dengan menggunakan kekerasan yang sama sekali tidak dibenarkan. Pedoman untuk menjadi debt collector sudah ditetapkan dalam peraturan BI, salah satu poinnya adalah dilarang menggunakan kekerasan dalam proses penagihan.

Menurut dia, hingga saat ini aturan-aturan soal debt collector sepenuhnya masih dalam pengawasan BI. Peraturan soal persyaratan menjadi debt collector saat ini masih dipegang BI, sehingga BI yang akan melakukan pengawasannya. Dalam rangka perlindungan terhadap konsumen, korban kekerasan yang dilakukan oleh debt collector dapat juga melaporkan kejadian tersebut kepada OJK.

Menurut Steve, solusi yang perlu dilakukan pemerintah dalam hal ini anggota legislatif adalah membuat undang-undang yang mengatur tentang jasa penagihan dan pengamanan. Diharapkan anggota dewan bisa mengesahkan jasa penagihan sebagai salah satu profesi yang dapat diakui oleh masyarakat luas. bari/agus/mohar

 

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…