NERACA
Jakarta – Target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo terbilang berani dan ambisius. Dengan mempertimbangkan berbagai potensi ekonomi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, apakah target ini realistis? Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta menyebut, salah satu modal penting untuk mencapai target tersebut adalah posisi Indonesia di peringkat daya saing dunia atau World Competitiveness Ranking (WCR).
Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan pada peringkat daya saing, dari posisi 34 pada tahun 2023 menjadi nomor 27 di 2024. Indonesia bahkan berhasil mengungguli beberapa negara seperti Jepang, Inggris, dan Turki. Presiden Joko Widodo menyebut, peningkatan ini terjadi berkat UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.
“Peningkatan daya saing sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, mendorong inovasi dan memperluas pasar. Ada banyak hal yang perlu diperhatikan untuk menciptakan persaingan dan mendorong peningkatan daya saing,” terangnya.
Krisna mengatakan, naik dan turunnya peringkat keseluruhan disebabkan oleh performa suatu negara dalam empat faktor, yaitu performa ekonomi, efisiensi pemerintahan, efisiensi bisnis, dan infrastruktur. Masing-masing faktor tersebut terdiri dari lima sub-faktor, yang kemudian terdiri lagi dari berbagai kriteria.
Dari keempat faktor itu, performa Indonesia secara umum menurun pada tahun 2022. Kenaikan yang cukup signifikan terjadi pada periode 2023-24, tepatnya pada faktor efisiensi bisnis. Daya saing Indonesia melambung dari peringkat 31 pada 2022 menjadi peringkat 14 pada 2024. Satu faktor yang menjadi pengecualian dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia belakangan adalah infrastruktur, dimana Indonesia selalu konsisten berada pada tingkat 50 ke atas.
Ekonomi domestik Indonesia mendapat peringkat cukup tinggi, mengingat jumlah PDB yang relatif besar dan pertumbuhannya yang relatif tinggi dibanding negara-negara lain. Indonesia juga, lanjutnya, mendapatkan nilai baik pada harga-harga karena indeks harga yang terjangkau dan inflasi yang terkendali.
Perdagangan mendapat skor rendah karena neraca pembayaran yang negatif. Sementara performa di lapangan kerja terus berkurang, terutama karena youth employment (pengangguran usia muda) masih tinggi. “Penanganan youth employment perlu serius dilakukan, misalnya dengan memanfaatkan program link and match antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Perindustrian,” tambahnya.
Institusi yang efisien mendapatkan peningkatan yang cukup tajam. Data survei menunjukkan peningkatan untuk birokrasi dan kemampuan adaptasi pemerintah serta kinerja bank sentral dalam menjaga rupiah. Survei juga memuji pembiayaan APBN yang dikelola dengan bertanggung jawab.
Meski demikian, korupsi, kepastian hukum dan indeks demokrasi masih berada di peringkat yang rendah. Prosedur dan lama perizinan usaha juga masih menempatkan Indonesia di posisi rendah. Faktor yang juga sangat penting dalam meningkatkan daya saing Indonesia dalam laporan ini adalah di ketenagakerjaan dan pajak. Alasan Indonesia bisa mendapat peringkat yang tinggi di pasar tenaga kerja adalah karena upah dan kompensasi Indonesia yang relatif rendah dibandingkan dengan negara lain.
Demikian juga dengan pajak, di mana Indonesia dikatakan memiliki kebijakan pajak dan pendanaan pemerintah yang baik karena pendapatan pajak yang rendah. Hal-hal ini, meski mungkin baik untuk pola pikir bisnis yang sangat pro pasar, belum tentu sesuatu yang secara umum kita inginkan.
Kepastian hukum dan kesinambungan regulasi juga faktor yang berperan penting dalam memastikan terciptanya iklim usaha yang kondusif. Minat investor untuk menanamkan modal juga sangat tergantung kepada dua hal ini.
Indonesia mendapatkan peringkat tinggi, beberapa alasan diantaranya adalah karena upah dan pajak yang relatif rendah. Padahal, sebagai negara yang ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, penting bagi Indonesia untuk punya upah dan pajak yang cukup. Negara dengan level pajak dan upah yang relatif tinggi mendapatkan daya saing melalui inovasi, infrastruktur dan kepastian hukum, indikator-indikator yang justru Indonesia lemah.
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah wajib membenahi dulu indikator yang menjadi beban daya saing sembari menjaga indikator yang baik. Kenaikan utang dan pajak harus dilakukan dengan teramat sangat hati-hati. Terpenting, belanja negara harus dilakukan dengan efisien. Pemerintah harus menjamin bahwa gemuknya struktur kabinet tidak mengakibatkan efisiensi bisnis dan administrasi pemerintahan yang lebih buruk.
NERACA Jakarta - Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah atau LKPP menyempurnakan katalog elektronik atau E-Katalog menjadi versi 6.0. Menurut…
NERACA Bogor - Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) pada Polbangtan Bogor menerima kunjungan dari Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Ketindan…
NERACA Jakarta - Dengan dukungan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (AKPY) bersama Sawit…
NERACA Jakarta - Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah atau LKPP menyempurnakan katalog elektronik atau E-Katalog menjadi versi 6.0. Menurut…
NERACA Bogor - Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) pada Polbangtan Bogor menerima kunjungan dari Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Ketindan…
NERACA Jakarta - Dengan dukungan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (AKPY) bersama Sawit…