NERACA
Jakara – Direktur Bioenergi di Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, Edi Wibowo mengutarakan pentingnya pengembangan biodiesel yang berkelanjutan, termasuk rencana menuju implementasi B100 di masa depan. Program biodiesel 100 persen (B100) yang berbahan baku minyak sawit mentah (crude palm oil atau CPO) masih dalam tahap penelitian, dan karakteristik bahan bakar ini diharapkan lebih baik dibandingkan alternatif yang ada saat ini.
"Kita sedang mempersiapkan B100, namun masih dalam tahap penelitian untuk memastikan kestabilan dan efisiensinya. Karakter biodiesel dari sawit bisa lebih unggul, namun ada beberapa tantangan teknis yang perlu diatasi sebelum bisa mencapai komersialisasi penuh," ujar Edi.
Edi menjelaskan bahwa pengembangan biodiesel tidak hanya melibatkan Kementerian ESDM, tetapi juga kolaborasi dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perekonomian, dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk perusahaan sawit dan petani. Pemerintah bersama pihak-pihak terkait sedang menyusun kebijakan keuangan dan insentif untuk mendukung komersialisasi biodiesel, khususnya terkait kemitraan antara petani plasma, petani swadaya, dan perusahaan produsen biodiesel.
"Produksi biodiesel sangat bergantung pada kelapa sawit sebagai bahan baku utama. Oleh karena itu, peran petani sawit, baik plasma maupun swadaya, sangat penting. Kemitraan antara petani dan perusahaan harus terus ditingkatkan agar program biodiesel tidak hanya sukses di sektor industri, tetapi juga memberikan manfaat langsung bagi petani sawit," tambahnya.
Edi juga menyinggung pentingnya pengembangan teknologi untuk mendukung penerapan biodiesel di berbagai sektor, termasuk alat berat, mesin diesel, alat pertanian, dan pembangkit listrik. Pemerintah berkomitmen untuk melakukan penelitian yang berkelanjutan guna memastikan transisi yang mulus dari program biodiesel B20, B30, B35, hingga akhirnya B100.
"Seperti sebelumnya, pengembangan biodiesel selalu dimulai dengan uji coba dan penelitian bersama, seperti yang dilakukan pada program B20, B35, dan seterusnya. Kita melibatkan berbagai pihak untuk memastikan keberhasilan program ini, mulai dari aspek teknis hingga sosial, sehingga dapat memberikan dampak positif secara luas," kata Edi.
Genjot Produktivitas
Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam sektor perkebunan sawit yang sebagian besar telah memasuki generasi kedua hingga ketiga. Mula Putra, Koordinator Kelembagaan Direktorat Tanaman Sawit dan Aneka Palma di Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, mengungkapkan bahwa kondisi perkebunan sawit saat ini diwarnai oleh berbagai permasalahan, termasuk penurunan produktivitas dan serangan penyakit.
“Seiring bertambahnya usia tanaman, lahan dan tanaman sawit mulai terkontaminasi oleh berbagai penyakit seperti Penyakit Akar (Blas Disease), Busuk Pangkal Batang (Bud Rot Syndrome), Ganoderma, serta Fusarium Oxysporum yang menyebabkan garis kuning pada daun,” ungkap Mula Putra. Penyakit-penyakit ini umumnya muncul saat perkebunan memasuki tahap replanting yang biasanya dilakukan setelah 25 tahun.
Tantangan utama yang dihadapi saat ini adalah rendahnya penerapan Good Agricultural Practices (GAP), perkembangan penyakit ganoderma, dan keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. "SDM pekebun, baik di tingkat individu maupun kelembagaan, masih terbatas dalam hal kapasitas dan keterampilan," tambahnya.
Selain itu, banyak perkebunan rakyat yang belum memenuhi aspek legalitas seperti kepemilikan sertifikat tanah (SHM), Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), dan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Bahkan, sebagian lahan sawit terindikasi berada di kawasan hutan, yang menambah kompleksitas dari segi legalitas dan keberlanjutan usaha perkebunan.
Pengelolaan lahan sawit rakyat juga masih memiliki kendala lain, seperti kurangnya mekanisasi dan rantai pasok hasil panen yang panjang. Hal ini menyebabkan rendahnya rendemen Tandan Buah Segar (TBS), yang berdampak pada penurunan keuntungan bagi petani sawit.
Untuk menghadapi masalah tersebut, pemerintah berencana mendorong pemanfaatan produk samping kelapa sawit serta meningkatkan pengolahan limbah yang belum optimal. Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) menjadi prioritas dalam memperbaiki kebun yang tidak produktif, disertai perbaikan infrastruktur, intensifikasi kebun, dan penyediaan sarana prasarana yang lebih baik.
Pemerintah juga akan meningkatkan kapasitas SDM melalui program beasiswa dan pelatihan bagi para pekebun. Pendataan melalui STDB akan diperkuat guna memperbaiki tata niaga TBS serta meningkatkan pendapatan petani melalui integrasi tanaman sela, peternakan, dan pemanfaatan limbah sawit.
Mula Putra optimis bahwa dengan langkah-langkah ini, produktivitas perkebunan sawit rakyat dapat mencapai 30-40 ton TBS per hektar dengan rendemen 23-25%. Peningkatan ini diharapkan dapat mendukung program biodiesel berbahan baku minyak sawit serta meningkatkan kesejahteraan petani sawit di Indonesia.
NERACA Jakarta – KAI terus berupaya menghadirkan pengalaman perjalanan yang aman dan nyaman bagi seluruh pengguna LRT Jabodebek, tidak hanya…
NERACA Bandung –Tahapan penanganan perkara tindak pidana metrologi legal yang terjadi di Stasiun Pengisian Bahan Bakar (Umum) SPBU Nomor 34.413.4…
NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Sejalan dengan pernyataan Presiden Indonesia Prabowo Subianto yang…
NERACA Jakarta – KAI terus berupaya menghadirkan pengalaman perjalanan yang aman dan nyaman bagi seluruh pengguna LRT Jabodebek, tidak hanya…
NERACA Bandung –Tahapan penanganan perkara tindak pidana metrologi legal yang terjadi di Stasiun Pengisian Bahan Bakar (Umum) SPBU Nomor 34.413.4…
NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Sejalan dengan pernyataan Presiden Indonesia Prabowo Subianto yang…