Minimnya literasi kesehatan dan kekhawatiran orang tua akan efek samping hingga dampak lumpuh pada anak pasca imunisasi menjadi alasan rendahnya tingkat imunisasi pada anak, termasuk vaksin polio. Merespon hal tersebut, dokter spesialis anak konsultan RSUD Pasar Rebo, dr. Arifianto, Sp. A(K) menjelaskan gejala lumpuh layu yang mendadak dialami anak belum tentu positif polio. “Polio tidak mengalami gejala sama sekali. Namun, orang yang telah terjangkit virus tersebut atau disebut carrier bisa menularkan ke anak yang sehat,”ujarnya di Jakarta, kemarin.
Disampaikannya, sebanyak 95% orang yang terinfeksi polio sebagian besar gejalanya tergolong ringan seperti orang terkena flu atau diare.“Jadi banyak orang yang nggak sadar karena memang nggak bisa dibedakan. Dan dia bisa sembuh sendiri,” kata Arifianto.
Pada tipe kedua, polio akan lebih bergejala. Gejalanya adalah adanya infeksi di selaput otak. Misalnya mengalami kekakuan di leher atau sakit kepala. Namun Arifianto mengatakan gejala ini juga akan sembuh dengan sendirinya sehingga jarang diwaspadai. Pada tahap yang paling berat, polio bisa sampai tahap lumpuh. Itulah sebabnya ada yang dinamakan AFP (acute flaccid paralysis) atau yang biasa dikenal dengan lumpuh layu. Namun kondisi ini masih perlu dipastikan karena belum tentu seseorang yang mengalami lumpuh layu positif polio.
Polio hingga mengalami kelumpuhan juga dibagi menjadi dua, lanjut Arifianto, ada yang hanya di anggota gerak dan ada yang sampai ke sistem saraf pusat. Jika sudah sampai ke batang otak, Polio bisa menyebabkan kematian karena batang otak adalah napas manusia."Itu bukti bahwa Polio bisa bergejala sampai sedemikian beratnya. Itulah kenapa kita ingin seluruh dunia bebas Polio. Jadi kita harus mengajak masyarakat untuk melakukan vaksin ini,” kata Arifianto.
Dirinya juga mengingatkan pentingnya bagi orang tua mengikutsertakan anak=anaknya pada Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio 2024 untuk mencegah polio masuk ke Jakarta.“Penyakit ini sangat terkait dengan temuan virus. Kebetulan yang ditemukan di luar Jakarta dalam kurun waktu dua tahun terakhir adalah virus tipe 2. Tipe ini nggak ada di vaksin tetes sebelumnya. Itulah kenapa vaksin ini juga perlu diberikan untuk melengkapi,”tandasnya.
Lebih lanjut, Arifianto menjelaskan, vaksin Polio sendiri terdiri dari dua jenis yakni tetes dan suntik. Vaksin Polio tetes merupakan vaksin hidup yang dilemahkan sedangkan vaksin Polio suntik adalah vaksin yang sudah dimatikan. Selain itu, perbedaan vaksin ini terdapat pada kandungannya. Pada vaksin Polio tetes yang digunakan di program pemerintah, hanya terdiri dari dua tipe yakni Polio tipe 1 dan 3.
Oleh sebab itu untuk melengkapi tipe 1, 2 dan 3, diperlukan vaksin Polio suntik. Pemberian vaksin suntik diharapkan dapat mempertahankan status Polio tipe 2 yang sudah dinyatakan tidak ada akan seterusnya tidak ada.“Vaksin ini saling melengkapi. Indonesia sempat dinyatakan bebas Polio pada 2014. Ketika sudah bebas Polio, maka yang awalnya tetes semua, ada penambahan yaitu vaksin suntik,” jelas Arifianto.
Arifianto juga menekankan bahwa vaksin ini aman dan sudah digunakan saat sub-PIN tahun lalu di daerah-daerah tertentu. Dengan demikian, vaksin ini pun sudah teruji aman dan efektif. Vaksin Polio yang akan diberikan pada PIN Polio juga minim efek samping. Efek samping yang mungkin saja terjadi misalnya seperti mual dan muntah karena vaksin tersebut diberikan untuk area pencernaan.
Kendati demikian, terdapat kalangan yang tidak bisa menerima vaksin ini. Mereka adalah anak-anak yang didiagnosa positif HIV atau yang mengalami leukemia dan mendapat perawatan kemoterapi. Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio akan diselenggarakan pada 23-29 Juli dan 6-12 Agustus mendatang. Masyarakat bisa mengajak anaknya yang berusia 0 hingga 7 tahun 11 bulan 29 hari untuk mendapatkan vaksin di puskesmas terdekat, rumah sakit hingga posyandu.
Meskipun epilepsi tidak selalu mematikan, tetapi dapat berbahaya jika tidak ditangani dengan baik. Dokter spesialis neurologi Ranette Roza dari Rumah Sakit Pusat Otak Nasional,…
Banyak orang tua beranggapan penyakit autoimun yang diderita seseorang sebagai penyakit menular. Sehingga mereka yang menderita penyakit tersebut dikucilkan agar…
Dokter Edi Hidayat Sp.PD, FINASIM, AIFO-K, FISQua, seorang dokter ahli di Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh mengatakan pola makan…
Meskipun epilepsi tidak selalu mematikan, tetapi dapat berbahaya jika tidak ditangani dengan baik. Dokter spesialis neurologi Ranette Roza dari Rumah Sakit Pusat Otak Nasional,…
Banyak orang tua beranggapan penyakit autoimun yang diderita seseorang sebagai penyakit menular. Sehingga mereka yang menderita penyakit tersebut dikucilkan agar…
Dokter Edi Hidayat Sp.PD, FINASIM, AIFO-K, FISQua, seorang dokter ahli di Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh mengatakan pola makan…