Pengembangan Mikroalga Dorong Hilirisasi Industri Berbasis Agro.

NERACA

Jawa Tengah – Potensi pemanfaatan alga, baik makroalga maupun mikroalga, di Indonesia sangat besar untuk menghasilkan produk-produk bernilai tambah tinggi. Salah satu yang potensial untuk terus dikembangkan adalah mikroalga yang dapat diolah menjadi berbagai bahan baku pangan, obat-obatan, pakan ternak, hingga biofuel.

Pengembangan industri pengolahan mikroalga sebagai sumber daya alam merupakan salah satu bagian dari kebijakan prioritas yang dijalankan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin), yaitu hilirisasi industri berbasis agro. Di samping itu, pemanfaatan bioteknologi merupakan kunci untuk mewujudkan konsep keberlanjutan perlu diadaptasi oleh industri untuk menyelaraskan pembangunannya dengan kelestarian lingkungan.

“Mikroalga sangat prospektif untuk dikembangkan di indonesia karena didukung oleh kondisi lingkungan yang memadai,” jelas Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita saat melakukan kunjungan ke PT Evergen Resources.

Keunggulan yang dimiliki Indonesia untuk pengembangan mikroalga meliputi banyaknya sinar matahari dan suhu yang hangat serta lahan yang cukup. Mikroalga merupakan sumber bahan baku untuk produk makanan, kosmetik dan suplemen, bahan bakar ramah lingkungan untuk pesawat, hingga crude oil. Mikroalga juga menyerap CO2 sehingga dapat dimanfaatkan oleh industri dalam pengelolaan emisi.

Salah satu upaya pengembangan bioteknologi mikroalga di Indonesia telah diinisiasi oleh perusahaan PT Evergen Resources. Perusahaan yang berlokasi di Kendal, Jawa Tengah ini mengolah mikroalga Haematococcus pluvialis yang dapat menghasilkan astaxanthin. Zat tersebut adalah karotenoid yang berguna sebagai pelindung dari oksidasi polyunsaturated fatty acids (PUFA), dapat meningkatkan respons imun, dan menjaga dari efek negatif sinar ultraviolet.

Evergen melakukan kultivasi mikroalga dengan sistem photobioreaktor tertutup untuk memproduksi AstaLuxe™. Produk ini memiliki antioksidan tinggi yang diaplikasikan pada produk suplemen kesehatan, obat-obatan, kosmetik, makanan dan minuman, hingga produk pakan ternak.

Lebih lanjut, astaxanthin memiliki potensi dengan penggerak pasar antara lain, peningkatan jumlah konsumen dengan kesadaran akan kesehatan yang menginginkan produk antisoksidan alami. Kemudian, populasi dunia semakin memiliki umur yang panjang, sehingga terjadi peningkatan produk anti-aging, meningkatnya diet vegan dan diet berbasis tanaman yang berasal dari produk-produk mikro dan makroalga, serta berkembangnya teknologi kultivasi mikroalga dan proses ekstraksi dalam meningkatkan efisiensi produksi.

Namun demikian, tantangan dalam pengembangan astaxanthin juga masih cukup besar. Misalnya biaya produksi dan R&D yang tinggi sehingga menyebabkan terbatasnya daya beli konsumen dan perluasan pasar. Selanjutnya, rentannya kontaminasi dalam produksi sehingga membutuhkan quality control yang berlapis, serta pasar yang cukup kompetitif dengan pemain kunci perusahaan yang berasal dari negara-negara dengan teknologi maju.

“Karenanya dibutuhkan kolaborasi yang strategis antara pemerintah, institusi pendidikan, lembaga riset, dan industri dalam rangka percepatan pengembangan produk dan kebijakan penetrasi pasar,” jelas Agus.

Agus juga mendorong agar perusahaan dapat juga mengembangkan mikroalga untuk diolah menjadi produk-produk lain, misalnya menjadi biofuel. “Untuk pengembangan menjadi biofuel, dibutuhkan dukungan dari industri penggunanya, misalnya Pertamina untuk penyediaan fasilitas produksi dan penyimpanan,” jelas Agus.

Direktur Jenderal Industri Agro, Putu Juli Ardika menambahkan, PT Evergen Resources memulai produksi astaxanthin dari nol sejak tahun 2012. Pasar astaxanthin sendiri terus berkembang, dengan pasar terbesar masih terdapat di Amerika Utara dan Eropa. “Di Indonesia, belum ada kompetitor untuk industri penghasil astaxanthin, dan produsennya juga kurang dari 10 perusahaan di dunia,” jelasnya.

Founder sekaligus CEO PT Evergen Resources, Siswanto Harjanto, menjelaskan, perusahaan fokus pada pengolahan mikroalga karena merupakan bahan yang alami dan berkelanjutan. Sebagai superfood, kekuatan astaxanthin dapat mencapai 500 kali dari manfaat vitamin E dan 6.000 kali lebih kuat dari vitamin C.

Saat ini, pabriknya memiliki kapasitas terpasang sebesar 192.000 Liter/bulan dengan utilisasi mencapai 80%. Selanjutnya, Evergen berencana untuk melakukan scale up di tahun depan untuk mengembangkan sulfate polysaccharides serta fukosantin.

Siswanto menambahkan, salah satu tantangan dari pengembangan astaxanthin adalah harga yang belum ekonomis. Evergen membutuhkan dukungan kebijakan pemerintah untuk perluasan pasarnya dan juga dalam pengembangan mikroalga menjadi produk lain, misalnya biofuel.

 

BERITA TERKAIT

Potensi Kearifan Lokal di Sentra IKM Terus Diangkat

NERACA Jakarta – Program pengembangan industri kecil dan menengah (IKM) dengan pendekatan One Village One Product (OVOP) di sentra IKM merupakan strategi…

Dorong Implementasi Making Indonesia 4.0

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian terus menggencarkan implementasi Peta Jalan Making Indonesia 4.0 di sektor industri manufaktur untuk mendorong perusahaan-perusahaan…

Pasar Komoditas Perkebunan dan Hortikultura di Jepang Cukup Tinggi

NERACA Jepang - Wakil Menteri Pertanian (Wamentan), Sudaryono menilai, kebutuhan untuk komoditas perkebunan maupun hortikultura di Jepang cukup tinggi. Oleh…

BERITA LAINNYA DI Industri

Potensi Kearifan Lokal di Sentra IKM Terus Diangkat

NERACA Jakarta – Program pengembangan industri kecil dan menengah (IKM) dengan pendekatan One Village One Product (OVOP) di sentra IKM merupakan strategi…

Dorong Implementasi Making Indonesia 4.0

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian terus menggencarkan implementasi Peta Jalan Making Indonesia 4.0 di sektor industri manufaktur untuk mendorong perusahaan-perusahaan…

Pasar Komoditas Perkebunan dan Hortikultura di Jepang Cukup Tinggi

NERACA Jepang - Wakil Menteri Pertanian (Wamentan), Sudaryono menilai, kebutuhan untuk komoditas perkebunan maupun hortikultura di Jepang cukup tinggi. Oleh…