Aspek Pajak Aksi Korporasi Merger dan Akuisisi

 

Oleh : Hartono, Penyuluh Ahli Madya KPP Perusahaan Masuk Bursa*)

 

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencatat tren jumlah notifikasi merger dan akuisisi dalam empat tahun terakhir cenderung meningkat. Sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada 2019, tercatat ada sejumlah 123 (serratus dua puluh tiga) notifikasi. Sementara itu, peningkatan jumlah notifikasi merger dan akuisisi meningkat di tahun 2020 menjadi 196 (serratus sembilan puluh enam) notifikasi dan pada tahun 2021 menjadi 233 (dua ratus tiga puluh tiga) notifikasi. Saat pandemi Covid-19 mereda tahun lalu, hingga November 2022 tercatat ada 300 (tiga ratus) notifikasi.

Merger dan akuisisi memiliki makna dan proses yang berbeda. Merger merupakan aksi korporasi antara dua atau lebih perusahaan yang meleburkan diri, bergabung menjadi satu perusahaan baru, atau mempertahankan salah satu dari perusahaan yang melebur. Dalam prosesnya, terdapat peralihan aktiva dan pasiva kepada perusahaan yang menerima penggabungan, namun para pemegang saham tetap eksis sebagai pemegang saham.

Sementara itu, akuisisi dimaknai sebagai upaya pengambilalihan saham perusahaan.  Prosesnya, pihak pembeli mengambil alih saham mayoritas dari pemegang saham lama yang mengakibatkan peralihan kendali kepada pemegang saham yang baru, namun tidak terdapat peralihan aktiva dan pasiva. Namun, kepemilikan saham beralih kepada pemegang saham yang baru.

Ada beberapa contoh perusahaan Indonesia yang melakukan merger, misalnya penggabungan bank syariah milik bank BUMN yakni Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia. Sedangkan contoh akuisisi misalnya usaha Grup Djarum yakni PT Global Digital Niaga alias Blibli.com yang mengakuisisi 51% saham PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC).

Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan ketentuan Nomor 74/POJK.04/2016 tentang Penggabungan Usaha Atau Peleburan Usaha Perusahaan Terbuka yang mengatur tata cara, studi kelayakan, penilaian untuk pengalihan dan perlindungan, serta keterbukaan informasi bagi para pihak yang terkait. Pihak terkait antara lain meliputi karyawan, manajemen, kreditur, pemegang saham, dan masyarakat.

Aspek Perpajakan dan Insentif

Aksi korporasi merger dan akuisi merupakan transaksi pengalihan dan penyerahan aktiva dan pasiva yang menimbulkan keuntungan, sehingga terdapat konsekuensi kewajiban perpajakan bagi pemiliknya. Keuntungan atau laba merupakan objek PPh, sedangkan penyerahan merupakan  objek PPN. Setidaknya terdapat empat jenis pajak yang harus mendapatkan perhatian dari para pemegang saham dan manajemen perusahaan.

Atas peralihan dan penyerahan terdapat tiga jenis pajak yang diadministrasikan pemerintah pusat yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PPh Final 4 ayat (2) dan PPh atas selisih keuntungan karena merger. Selanjutnya, ada satu jenis pajak yang diadministrasikan pemerintah daerah kabupaten atau kota, yaitu Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas pengalihan hak tanah dan atau bangunan.

Setidaknya terdapat empat jenis insentif PPN yang dapat dimanfaatkan dalam aksi korporasi ini. Pertama, pengalihan aktiva (BKP) dalam rangka merger tidak terutang PPN. Pasal 1A ayat (2) huruf d UU PPN mengatur bahwa pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan BKP untuk tujuan setoran modal pengganti saham tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak.

Kedua, Faktur Pajak masukan perusahaan sebelum merger tetap dapat dikreditkan. Faktur pajak masukan yang diperoleh perusahaan dari transaksi pembelian yang belum sempat dilaporkan atau dikreditkan sebelum melakukan merger, masih tetap boleh dikreditkan oleh perusahaan yang menerima pengalihan. Pasal 9 ayat (14) UU PPN menyebutkan bahwa dalam hal terjadi pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, pajak masukan atas BKP yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh perusahaan (Pengusaha Kena Pajak) yang mengalihkan, dapat dikreditkan oleh perusahaan yang menerima pengalihan sepanjang faktur pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan pajak masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.

Ketiga, adanya kelonggaran waktu pengkreditan faktur pajak masukan. Pemerintah memberikan kelonggaran waktu untuk pengkreditkan faktur pajak atas transaksi BKP dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) paling lama 3 bulan setelah faktur pajak di buat. Hal ini diatur dalam pasal 63 Peraturan Menterian Keuangan Nomor PMK-18/PMK.03/2020 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.

Ketentuan tersebut mengatur bahwa faktur pajak masukan harus dikreditkan pada masa yang sama dengan faktur pajak dibuat, namun faktur pajak masukan yang belum sempat dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya paling lama tiga masa pajak setelah berakhirnya masa pajak saat faktur pajak dibuat.

Keempat, dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak tetap dapat dikreditkan. Seusai Peraturan Dirjen Pajak No. PER-16/PJ/2021 Tentang Dokumen Tertentu Yang Kedudukannya Dipersamakan Dengan Faktur Pajak Tidak semua transaksi BKP atau JKP harus diterbitkan faktur pajak. Dokumen tersebut setidaknya memuat Nama, NPWP dan alamat penjual dan pembeli, terdapat jumlah PPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut atau dilunasi.

Contoh dokumen tertentu antara lain seperti Pemberitahuan Impor Barang (PIB), pemberitahuan ekspor barang (PEB), struk pembayaran, tiket, bukti tagihan, surat setoran pajak (SSP), nota penjualan, surat perintah penyerahan barang, dokumen Penetapan Pabean dan cukai, Surat Ketetapan Pajak  dan lain sebagainya.

Insentif PPh dan BPHTB atas Aksi Korporasi

Pada dasarnya, PPh dikenakan atas keuntungan. Oleh karena itu, keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagaimana diatur dalam UU PPh pasal 4 (1) huruf d angka 3 merupakan objek pajak PPh. Pengenaan PPh terhadap selisih keuntungan dari nilai buku dengan nilai transaksi.

Sesuai ketentuan dalam pasal 10 (3) UU PPh, Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.

Menteri Keuangan dapat menetapkan penggunaan nilai buku dalam proses peralihan harta ini. Peralihan harta dengan nilai buku menyebabkan tidak adanya keuntungan sehingga tidak ada tambahan beban pajak yang harus bayar dalam aksi korporasi merger. Hal ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. PMK 52/PMK.010/2017 yang diubah terakhir dengan PMK No. 56/PMK.010/2021 dan Peraturan Dirjen Pajak No.PER-03/PJ/2021 yang diubah terakhir dengan PER-11/PJ/2022 yang mengatur tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Dan Perolehan Harta Dalam Rangka Penggabungan,Peleburan,Pemekaran, Atau Pengambilalihan Usaha.

Perusahaan dapat mendapatkan fasilitas ini dengan cara mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat perusahaan terdaftar sebagai Wajib Pajak. Setelah melakukan penelitian, Kanwil DJP dapat menetapkan penggunan nilai buku dalam proses peralihan harta dalam rangka merger tersebut. 

Mengenai BPHTB, harta yang dialihkan pada umumnya termasuk tanah dan bangunan. Pengalihan hak tanah dan atau bangunan menimbulkan konsekuensi terkait jenis kewajiban pajak, yaitu PPh Pasal 4 ayat (2) final bagi  pihak yang mengalihkan dan BPHTB bagi pihak yang menerima pengalihan. Jumlah pajak yang harus disetor sebelum penandatanganan akta pengalihan hak sebesar 2,5% untuk PPh pasal 4 (2) final dan BPHTB sebesar 5% dari dasar pengenaan pajak yaitu nilai transaksi atau nilai wajarnya.

Akuisisi dapat dilakukan di bursa maupun diluar bursa saham. Dalam hal transaksi penjualan saham dilakukan di bursa, dikenakan PPh final sebesar 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan. Untuk penjualan saham pendiri perusahaan yang listed di BEI, selain dikenai PPh Final 0,1% ditambah PPh Final 0,5%. PPh final artinya, atas transaksi penjualan saham dikenakan pajak tanpa memperhitungkan untung atau rugi penjualan tersebut.

Aturan teknis pemotongan PPh final atas transaksi penjualan saham ini merujuk pada Pasal 4 ayat (1) KMK 282 Tahun 1997. Ketentuan ini mengatur pengenaan PPh final yang dilakukan dengan cara pemotongan PPh oleh penyelenggaraan BEI melalui perantara pedagang efek saat pelunasan transaksi penjualan saham.

Sedangkan untuk penjualan saham yang tidak melalui bursa, atas keuntungan dari transaksi penjualan tersebut digabung dengan penghasilan lain untuk dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh sesuai tahun pajak transkasi dan dikenakan tarif umum PPh berdasarkan pasal 17 UU PPh. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi .

BERITA TERKAIT

Indonesia Perkuat Peran Global Lewat Konferensi ke-19 PUIC

  Oleh: Laras Indah Sari, Pemerhati Kebijakan Internasional   Indonesia kembali menegaskan posisinya sebagai kekuatan diplomasi strategis di dunia Islam…

Strategi Peningkatan Daya Beli Upaya Penguatan Ekonomi Nasional

    Oleh : Jodi Mahendra, Pengamat Kebijakan Publik     Pemerintah terus berupaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah…

Menyoal Hitung Kerugian Negara Kasus Tom Lembong

    Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Akuntan Forensik   Ketika Tom Lembong ditersangkakan merugikan keuangan negara Rp578 miliar melalui…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Perkuat Peran Global Lewat Konferensi ke-19 PUIC

  Oleh: Laras Indah Sari, Pemerhati Kebijakan Internasional   Indonesia kembali menegaskan posisinya sebagai kekuatan diplomasi strategis di dunia Islam…

Strategi Peningkatan Daya Beli Upaya Penguatan Ekonomi Nasional

    Oleh : Jodi Mahendra, Pengamat Kebijakan Publik     Pemerintah terus berupaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah…

Menyoal Hitung Kerugian Negara Kasus Tom Lembong

    Oleh: Dr. Wirawan B. Ilyas, Akuntan Forensik   Ketika Tom Lembong ditersangkakan merugikan keuangan negara Rp578 miliar melalui…